Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan yang Kembali
Suara pintu kaca ruang kerja Arga terbuka pelan. Bima masuk tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi hitam di tangan.
“Ga, istirahat bentar, ah. Sejak tadi lo bengong di depan laptop, kayak lagi mikirin apa aja,” celetuk Bima sambil menaruh satu gelas di depan Arga.
Arga menatapnya sekilas. “Gue gak bengong.”
Arga menghela napas, menutup laptopnya. “Lo ada apa ke sini?"
Bima duduk santai di kursi depan meja Arga. “Ada masalah. Tapi bukan masalah proyek yang biasa.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, nada suaranya menurun, "Dinda”
Arga langsung diam. Satu nama itu cukup untuk membuat suasana ruangan jadi berat.
“Dan?” suaranya datar, tapi matanya tajam.
“Dia udah balik dari Eropa.”
Arga mengangkat alis tipis. “Terus?”
Bima meneguk kopinya dulu sebelum menjawab. “Dan kabarnya dia bakal ikut kerja sama di proyek Batavia Tower. Dari pihak investor luar, mereka masukin namanya buat posisi konsultan arsitek.”
Arga gak langsung merespons. Tangannya menggenggam gelas kopi, matanya menatap ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya.
“Dia masih main di bidang arsitektur, ternyata,” gumam Arga pelan.
“Iya,” jawab Bima. “Dan dari kabar yang gue dapet, kemungkinan besar dia bakal datang ke rapat beberapa hari ke depan.”
“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibir Arga. Ia tidak terlihat terganggu, tapi Bima yang sudah lama mengenalnya tahu betul, itu ekspresi Arga saat pikirannya mulai rumit.
“Lo bakal baik-baik aja, kan?” tanya Bima, kali ini dengan nada lebih lembut.
Arga memutar cangkir di tangannya. “Gue profesional. Gue kerja buat Maheswara Grup. Gue udah nikah dan Dinda bukan urusan gue.”
Bima mengangkat kedua tangan. “Sip, bos besar. Tapi…” ia menyandarkan punggung, bibirnya tersenyum menggoda. “Kalau istri lo tau mantan lo mau kerja bareng, kira-kira gimana, ya? Lo udah cerita belum?”
Arga mendelik. “Belum.”
“Dan lo mau cerita?”
“Gue akan cerita.”
Bima bersiul pelan. “Wih, biasanya lo ogah ngomong apa pun yang nggak penting. Sekarang udah mulai mikirin perasaan istri.”
“Bima.” Suara Arga pelan tapi tajam.
“Oke, oke,” Bima mengangkat tangannya, menahan tawa. “Gue cuma heran aja. Dulu, lo bahkan kayak benci banget sama dia. Sekarang, lo bahkan ngatur waktu biar bisa pulang bareng istri lo.”
Arga menatapnya datar. “Lo selesai?”
“Belum.” Bima bersandar lagi, kali ini nada suaranya sedikit lebih serius. “Gue tau Dinda bagian dari masa lalu lo, tapi Alya itu beda, Ga. Gue gak pernah liat lo segitu tenangnya di rumah kayak sekarang.”
Arga gak menjawab, tapi tatapan matanya berubah sedikit lembut. Ia tahu Bima gak salah.
Bima meneguk kopi terakhirnya lalu berdiri. “Udah sore, Bro. Gue balik dulu, lo juga mending pulang. Lagian kalo lo pulang telat, kasian Alya. Kayaknya dia tipe yang nungguin lo makan bareng.”
Arga hanya menatapnya, tapi ujung bibirnya terangkat tipis. “Lo ngomong banyak banget hari ini.”
“Efek bos gue mulai berubah jadi manusia normal,” sahut Bima sambil berjalan keluar.
Begitu pintu tertutup, Arga bersandar di kursinya. Pandangannya kosong menatap langit senja di luar jendela.
“Dinda, ya...” gumamnya pelan. Ada sekilas bayangan masa lalu, tapi kini rasanya hambar. Bukan lagi luka, hanya kenangan yang pernah hidup.
Dan entah kenapa, pikirannya justru tertuju pada satu sosok, Alya.
Sore itu, Arga memutuskan untuk langsung pulang. Jalanan Jakarta yang mulai padat tak mengubah niatnya. Ia hanya ingin sampai rumah lebih cepat.
Ketika mobilnya berhenti di halaman, langit sudah berubah jingga keemasan. Dari dalam rumah, terdengar suara panci dan langkah kaki kecil di dapur.
Alya.
Ia masuk, melepas jas kerjanya di gantungan, lalu berjalan ke arah ruang makan.
Alya tengah menyiapkan dua piring makan, gerakannya tenang seperti biasa. Rambutnya tertutup rapi oleh kerudung krem polos, dan aroma masakan yang lembut memenuhi ruangan.
“Mas udah pulang?” tanyanya pelan tanpa menoleh.
“Udah.” Arga duduk di kursi. “Masak apa?”
“Sup ayam sama tumis buncis. Gak sempat bikin yang ribet, tadi ada laporan panti yang harus aku selesaikan,” jawab Alya sambil menatapnya sekilas.
Arga memperhatikan wajahnya. Ia tampak lelah, tapi tetap dengan senyum kecil yang entah kenapa selalu membuat rumah itu terasa hidup.
“Gimana kerjaan di panti?” tanya Arga, mencoba memulai obrolan.
“Alhamdulillah, lancar. Anak-anak di sana senang sekali waktu aku datang. Mereka baru selesai kegiatan hafalan.”
Arga mengangguk kecil, lalu diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Ada hal yang mau gue bilang.”
Alya berhenti menyendok nasi. “Apa?”
“Dinda pulang dari Eropa.”
Alya menatapnya, tidak kaget, hanya menunggu penjelasan lanjutannya.
“Dia kemungkinan akan ikut kerja di proyek Batavia Tower. Pihak investor luar yang ngajuin namanya,” lanjut Arga, suaranya tetap tenang tapi nadanya berat. “Gue cuma gak mau lo dengar dari orang lain.”
Alya tersenyum tipis. “Terima kasih sudah bilang langsung padaku, mas.”
Arga menatapnya, sedikit heran karena ekspresinya terlalu tenang. “Lo gak apa-apa?”
“Untuk apa aku harus apa-apa?” jawab Alya lembut, menatapnya dengan tatapan teduh. “Setiap orang punya masa lalu, mas Arga. Yang penting bagaimana mas bersikap sekarang.”
Arga terdiam, bibirnya menekan rapat.
Alya kembali berkata, suaranya lebih pelan namun tegas, “Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik... kan begitu?”
Arga menatapnya lama, sampai akhirnya ia mengalihkan pandangan dan berdehem kecil. “Gue profesional. Gue cuma kerja.”
Alya mengangguk. “Dan aku percaya, suamiku adalah lelaki yang baik.”
Hening sebentar.
Lalu Alya menambahkan, “Aku juga tahu mas gak suka diatur, tapi aku harap mas pulang makan malam, seperti ini. Aku suka kalau rumah ini gak sepi.”
Ucapan sederhana itu justru membuat dada Arga terasa hangat. Ia menatap Alya sekilas ada sesuatu di matanya, rasa kagum yang ia sendiri tak ingin akui.
“Baiklah,” gumamnya pelan. “Gue usaha-in.”
Malam itu, mereka makan bersama tanpa banyak bicara, tapi suasananya berbeda. Ada ketenangan yang menggantung, semacam kedekatan yang tidak diucapkan, hanya terasa.
Arga sadar, entah sejak kapan... rumah ini tak lagi sekadar tempat pulang? Meski gengsinya masih cukup tinggi.
Karena di dalamnya, ada Alya, sosok yang pelan-pelan mengubah makna “pulang” itu sendiri.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣