Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PEMBALASAN
POV Kemala.
"Erina, masih pantaskah aku anggap kau keluarga?
Kau akan hancur. Aku akan balas semua perbuatanmu.
Bukan semata-mata karena kamu ingin merebut harta warisan orang tuaku, tapi karena kamulah penyebab orang tuaku meninggal. Aku akan membalasmu, Erina! Aku akan balas hingga kamu memohon kematianmu sendiri!"
Flashback.
Menjadi anak semata wayang dari Subagja Jumantara dan Indira Larasati adalah kebahagiaan terbesarku. Meskipun aku orang kampung, tapi aku punya segalanya.
Harta dan juga kasih sayang yang penuh dari orang tuaku.
Kemala Kusuma Jumantara, begitulah orang-orang memanggilku. Anak semata wayang dari pemilik perkebunan teh dan juga peternakan sapi di daerah puncak, Bogor.
Namun meskipun Aku punya segalanya, ibu dan bapak selalu mengajarkan kesederhanaan. Bahkan aku di sekolah di sekolah umum agar bisa berbaur dengan teman-teman sebaya tanpa memandang status sosial.
Bapak bisa saja menyekolahkanku ke luar negeri saat itu, namun selain tidak mau jauh dari putrinya, dia juga ingin aku belajar arti mengenal kehidupan dan arti dari sebuah kesederhanaan.
Kehidupan kami sangatlah sempurna. Yah, meskipun banyak saudara atau keluarga bapak dan Ibu yang terus merongrong. Salah satunya Mang Sukardi-adik dari bapak yang harus beberapa kali keluar masuk penjara karena mengkonsumsi obat-obat terlarang, minuman keras bahkan berjudi. Istri dari Mang Sukardi sendiri sampai tidak tahan hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai.
Bapak sampai malu, tapi biar bagaimanapun, mamang Sukardi adalah adik kandungnya. Begitupun dengan tante Erina, adik dari ibu yang memiliki gaya hidup tinggi. Dia sudah lama pindah ke kota, mengambil perumahan cluster bersama suaminya. Aku sendiri jarang bertemu, hanya sesekali jika acara keluarga. Namun dari ibu, aku tahu jika Tante Erina sering menghubunginya dan meminta uang.
Tante Erina jarang membawa suaminya jika pulang ke puncak. Mungkin malu atau mungkin suaminya tidak tahu jika istrinya sering meminta uang pada kakaknya. Entahlah... Aku tidak peduli saat itu.
Bapak dan Ibu tidak pernah mempermasalahkan meskipun saudara-saudaranya menjadi benalu. Namun kebaikan mereka malah dimanfaatkan. Hingga puncaknya, saat perdebatan malam itu. Malam dimana Tante Erina, Mang Sukardi serta bapak dan ibu terlibat obrolan serius dan menimbulkan sedikit perdebatan di ruang tamu.
"Aku adikmu, Mbak. Aku punya hak dong untuk mendapatkan bagian dari perkebunan itu," ujar Tante Erina.
"Enak saja, aku yang lebih berhak, Erina. Aku adik
Dari Kang Subagja!" seru Mang Sukardi tidak mau kalah.
Bapak yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara.
Mengatakan sesuatu yang membuat keduanya murka. Aku yang mengintip dari ruang keluarga, hanya terdiam ketakutan.
"Kalian sudah aku beri modal usaha bahkan tanah masing-masing. Berani-beraninya kalian membicarakan perkebunan saat aku dan Indira masih hidup. Lagipula yang lebih berhak daripada usaha ini adalah Kemala. Hanya dia-pewaris tunggal dari semua aset yang aku dan Indira miliki. Kecuali jika aku dan Indira mati, salah satu dari kalian akan mendapatkan hak asuhnya. Tapi tetap saja, semua harta ini adalah milik Kemala!"
Itulah kata-kata terakhir bapak. Kata-kata yang membuat orang jahat mengartikannya sebagai peluang.
Beberapa hari setelah perdebatan malam itu, aku berangkat ke kampus seperti biasanya. Namun sebelum berangkat, aku melihat Tante Erina datang ke rumah bersama suaminya yaitu Om Tama untuk mengantar makanan.
Aneh sekali. Tumben.
Itulah yang ada dibenakku. Namun aku tak berpikir aneh, ya mungkin aja Tante Erina ada maunya, seperti biasa. Paling mau minta duit sama ibu.
Sore hari, tepatnya pukul 15.30 saat aku sedang menunggu jemputan, aku mendapatkan telepon dari seseorang yang memberi kabar bahwa mobil yang dinaiki bapak dan ibu mengalami kecelakaan tragis. Mobil itu masuk ke jurang.
Entah berapa kali aku pingsan, bahkan aku sampai tidak memiliki tenaga untuk ke pemakaman terakhir mereka.
Aku merasa hidupku benar-benar hancur. Duniaku telah runtuh. Orang yang paling aku sayangi, telah meninggalkanku selama-lamanya.
Rumahku ramai selama beberapa hari. Bapak dan ibu adalah orang dermawan dan terpandang, banyak yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Namun ditengah keramaian itu, aku merasa sendiri. Pandanganku kosong, aku tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup.
Ku lihat Mang Kardi yang jarang datang ke rumah, padahal rumah bapak dan rumahnya bersebelahan. Aku berpikir, dia adalah Om yang paling buruk. Bahkan tidak memperhatikan keponakannya yang sedang rapuh ini. Malah Tante Erina, jauh-jauh dari Bogor kota menginap hingga 7 hari untuk menemani dan mengurus semuanya. Dia juga yang selalu memberikan perhatiannya, memberikan support padaku untuk bisa bangkit.
Setelah satu minggu selesai tahlilan, Tante Erina dan Mang Sukardi mengumpulkan semua keluarga besar dan membicarakan tentang hak asuh.
Marah. Tentu saja. Aku tahu apa tujuan mereka. Aku mengurung diri di kamar. Bahkan aku sampai sakit dan harus diinfus saat itu.
Di malam yang sunyi, saat aku terbaring lemah di kasur, Teh Asih dan Mang Asep, pelayan setia dan ajudan pribadi bapak mendatangiku setelah Tante Erina pulang ke rumahnya yang ada di Bogor kota.
"Neng, mamang kesini mau memberi informasi penting. Ternyata, kecelakaan bapak dan Ibu sudah di sabotase."
Aku menoleh. Wajahnya pucat saat itu, tapi aku menguatkan diri, mendengar kenyataan yang begitu menghantam.
"Apakah orang itu Mang Kardi?" tanyaku yang saat itu mencurigai seseorang. Siapa lagi kalau bukan Mang Sukardi, adik bapak yang urakan, suka membuat masalah dan sering keluar masuk kantor polisi karena kelakuan buruknya.
Namun mang Asep dan Teh Asih menggelengkan kepalanya. "Bukan, Neng. Mang Kardi malah terpukul sejak juragan meninggal. Itulah sebabnya dia jarang kemari, dia sakit juga sekarang, Neng."
"Lalu, siapa yang tega mencelakai bapak dan ibu? Apa mereka punya musuh?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Erina, Neng. Kami curiga dia pelakunya. Kami tak sengaja mendengar Teh Erina berbicara ditelepon dengan seseorang. Dia tertawa dan mengatakan bahwa sebentar lagi rencananya untuk menjadi orang tua asuh neng Kemala akan terwujud. Lewat telepon itu juga, dia bilang supaya semuanya tutup mulut dan dia mengatakan akan memberikan amplop tambahan. Mamang gak bawa hape saat itu untuk merekam, tapi dari pernyataannya seolah merujuk jika Erina adalah orang yang berniat mencelakai juragan."
DEGH.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu? Hancur,
Sangat hancur. Meskipun belum ada bukti yang kuat, namun aku percaya, Mang Asep tidak mungkin berbohong. Dari pernyataan itu sudah menunjukkan jika kematian bapak dan ibu memang disengaja.
Dengan air mata mengalir dan tubuh bergetar hebat, aku memerintahkan pada mang Asep dan Teh Asih untuk mencari bukti sebanyak-banyaknya. Aku akan memenjarakannya, bahkan hukuman mati pun terlalu ringan untuk orang sejahat tante Erina. Aku ingin Dia merasakan sakit dan hancur sebelum membusuk di penjara.
Namun beberapa minggu, tak ada perkembangan signifikan tentang kecelakaan itu. Sepertinya Tante Erina mengeluarkan kocek yang tidak main-main untuk bisa menutupinya. Namun, jangan sebut aku Kemala jika tidak bisa masuk ke dalam hidupnya dan menghancurkannya menjadi keping-keping.
"Aku setuju untuk ikut dengannya, Mang. Aku akan menjadi racun dalam hidupnya. Dan aku akan menghancurkan tante Erina dan juga suaminya," ucapku bersungguh-sungguh. Aku tidak menolak ajakannya waktu itu. Aku setuju untuk menjadi anak asuhnya. Dan tentu saja, aku bersandiwara semanis mungkin sebelum berubah menjadi iblis yang akan menghancurkan mereka.
Hari-hari berlalu, aku telah masuk ke dalam kehidupannya. Di rumahnya, aku terlihat seperti gadis kampungan. Ya, memang aku kampungan. Tapi Tante Erina tidak akan pernah menyangka jika gadis kampung ini yang akan menjadi duri dalam kehidupannya.
Biarlah aku menjadi Kemala yang lemah saat ini, supaya mereka tidak curiga. Bahkan Om Tama, pria yang semakin hari membuatku berdebar-debar itu pun tidak mengetahui rencanaku ini.
Jujur, aku memiliki perasaan padanya. Dia baik, perhatian dan lembut. Melalui Om Tama, aku juga bisa membalaskan rasa sakit ini. Namun sampai detik ini, aku masih saja ragu. Aku takut Om Tama juga bersekongkol dengan Tante Erina dalam kasus sabotase kecelakaan yang membuat aku harus kehilangan orang tuaku.
Terhitung dua bulan sudah aku tinggal bersamanya.
Tante Erina tidak menunjukkan gelagat aneh ataupun tanda-tanda bahwa dia yang mencelakai kedua orang tuaku. Dia benar-benar sangat licin. Keanehan itulah yang membuatku belum mengatakan semua ini pada Om Tama meskipun saat ini kita berada di misi yang sama. Yaitu balas dendam karena sebuah pengkhianatan.
Biarkan saja rencana ini aku simpan sendiri. Untuk sekarang, aku ingin main-main dulu untuk membuat tante Erina cemburu buta. Aku telah berhasil membuat Om Tama bertekuk lutut dan berniat menikahiku meskipun secara siri.
"Maafkan aku, Om. Untuk sekarang, aku tidak bisa mengatakan yang sejujurnya tentang alasan mengapa aku bersedia untuk tinggal di rumah kalian. Aku berharap kamu tidak terlibat. Karena jika sampai kamu bersekongkol dengan tante Erina untuk mencelakai orang tuaku hanya demi harta, kau akan tahu sendiri akibatnya."
Dan sore ini, aku masih berdiri di ambang pintu, mematung. Suara-suara di sekelilingku mengabur seperti
Gema dalam lorong panjang. Angin pegunungan mengusap wajahku, membelai rambutku yang sedikit berantakan. Langit di atas mulai menghitam, tanda malam segera mengambil alih.
Aku menatap Tama, yang berdiri tak jauh dariku. Sorot matanya tidak berubah. Selalu tegas, penuh kendali.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di sana-sesuatu yang tentu saja tidak akan aku tolak.
Tama melangkah mendekat, hanya tinggal beberapa jengkal dari hadapanku. "Kamu gak harus bilang apa-apa sekarang. Tapi pikirkan ini, Kemala. Kalau kita gak melakukan ini, kamu akan tetap berada dalam cengkeraman Erina. Dia sudah terlalu jauh ikut campur dalam hidupmu. Aku gak akan diam saja."
Aku masih diam. Kesungguhannya membuatku yakin jika Om Tama tidak terlibat dan tidak tahu soal kejahatan istrinya. Tapi...
"Bukan cuma untuk melindungi kamu. Tapi karena aku benar-benar ingin menjadikanmu bagian dari hidupku."
Aku menoleh ke arah Mang Sukardi, yang tersenyum mengangguk memberi restu. Sejak kematian bapak dan ibu, mang Kardi memang banyak berubah. Aku telah salah karena sempat mencurigainya waktu itu.
Ustadz Haidar menatapku tenang. Ketiga sahabatku hanya bisa menatapku penuh kekagetan, tapi tak ada yang menentang. Mereka tahu, ini bukan keputusan ringan.
Aku menarik napas panjang. "Aku tahu ini salah, tapi buktikanlah jika Om akan melindungiku? Buktikan juga
Jika Om tidak akan berkhianat!"
Tama menunduk sedikit, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Berarti... kamu setuju?"
Aku mengangguk pelan. "Iya. Tapi janji satu hal."
"Apa saja."
"Jangan pernah ada dusta diantara kita. Jangan pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Karena jika itu terjadi, kau tidak hanya bermain-main dengan perasaanku, tapi kau akan bermain-main dengan nyawamu!"
Kata-kata itu memang terdengar seperti ancaman, namun ia mengangguk mantap, lalu menggenggam tanganku erat. Hangat. Tegas. Seperti sebuah janji yang tak terucap.
Malam itu, rumah peninggalan ayahku menjadi saksi.
Hanya disaksikan oleh orang-orang terdekat, aku duduk bersimpuh di ruang tengah, mengenakan kebaya putih sederhana milik mendiang ibu. Rambutku disanggul rapi oleh Sintya, meski tangannya gemetar saat melakukannya.
"Gila, ini kayak drama... tapi nyata," bisiknya.
"Gak nyangka, niat mau liburan di rumah si Kemala, malah jadi saksi nikahnya," gumam Yola dan Kiren yang juga masih terlihat syok itu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil. Dalam dada, campur aduk antara gugup, haru, dan rasa tak sabar untuk segera melakukan pembalasan yang lebih pedih. Setelah hubungan ini terikat, aku akan buat tante Erina merasa jika dia hidup dalam neraka, sampai dia mengakui semua kesalahannya!
Saat Ustadz Haidar mulai mengucap kalimat ijab kabul, aku menggenggam ujung rokku erat-erat. Aku menundukkan kepala, tetes air bening keluar begitu saja tanpa bisa ku tahan.
"Ibu, bapak... aku menikah dengan suami dari Tante Erina. Aku akan mencari keadilan untuk kalian. Dan jika Om Tama ikut terlibat, aku tidak akan segan untuk menghukumnya meskipun aku mencintainya."
Om Tama dan Mang Sukardi saling berjabat tangan.
Dan saat suara Tama mengucap "Saya terima nikah dan kawinnya Kemala Kusuma Jumantara binti almarhum Subagja Jumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Dengan lantang dan mantap, akad pun diucapkan dan akhirnya aku sah menjadi istrinya.
Aku kembali menangis, bukan karena sedih.
Tapi karena pada akhirnya, aku bisa lebih leluasa untuk membalaskan rasa sakit ini pada Tante Erina.
Aku bukan lagi gadis yang tersingkir. Bukan lagi anak yatim yang hidup di bawah bayang-bayang saudara ipar yang serakah, culas dan jahat.
Aku... kini seorang istri. Istri dari pria yang dulu kusebut Om.
Malam di Puncak terasa lebih dingin dari biasanya.
Kabut mulai turun perlahan, menyelimuti pepohonan tinggi yang berdiri di sekitar rumah peninggalan ayahku. Langit gelap tak berbintang, hanya diterangi cahaya
Temaram lampu gantung di kamar tua bergaya kolonial yang kini menjadi saksi bisu perubahan besar dalam hidupku.
Aku duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kebaya putih sederhana yang masih tampak terawat meski modelnya jadul. Rambutku telah kulepas dari sanggul, membiarkannya terurai menutupi sebagian wajah yang tak henti merona.
Pintu kamar terbuka perlahan. Suara deritnya membuat jantungku berdegup lebih kencang. Om Tama masuk dengan langkah tenang, mengenakan piyama berwarna gelap. Ia menutup pintu, lalu menatapku dari kejauhan. Wajahnya tak lagi setegang tadi sore, tapi sorot matanya masih sama-penuh kendali dan kehangatan.
"Sudah capek, ya?" tanyanya pelan sambil mendekat.
Suaranya seperti bisikan di tengah badai. Menenangkan, tapi juga membuatku gelisah.
Aku takut, sangat takut jika ternyata Om Tama terlibat. Aku sudah terlanjur mencintainya.
Aku hanya mengangguk. Entah kenapa sulit sekali berbicara.
Tama duduk di tepi ranjang, tak terlalu dekat tapi juga tak terlalu jauh. Ia memandangi wajahku lama sekali, seolah ingin memastikan bahwa aku tidak sedang menyesal.
"Aku tahu ini terlalu cepat," katanya akhirnya. "Tapi aku gak mau kamu merasa sendirian. Malam ini... kamu gak harus takut lagi. Gak ada yang akan menyakitimu."
Aku mengalihkan pandanganku, menatap jendela
Berkabut. Tapi tangan Tama perlahan menyentuh jemariku. Hangat. Jujur. Tanpa paksaan.
"Aku gak akan menyentuh kamu malam ini. Sampai kamu benar-benar siap," bisiknya.
Aku menoleh, menatapnya. "Kenapa?"
Tama tersenyum tipis. "Aku gak ingin hubungan kita dimulai dengan tekanan. Aku cuma ingin kamu merasa aman. Dan entah kenapa, aku bisa melihat keraguan di matamu," ucapnya.
Aku menunduk. Memejamkan mata, mencoba untuk percaya bahwa Tama adalah pria yang tepat untuk berbagi rasa sakit ini.
Aku membalikkan tubuhku, melingkarkan tangan di lehernya. Dan tanpa aba-aba, langsung kucium bibirnya.
Ganas dan li ar, ku tumpahkan rasa marah, kecewa dan sakit ini padanya. Disela ciu-man panas itu, air mataku kembali meleleh. Dan Tama menyadari jika aku sedang tidak baik-baik saja.
"Ada apa? Apa yang membuatmu begitu terluka? Kita akan membalasnya, Sayang. Erina tidak akan bisa menguasai harta orang tuamu, bahkan sepeserpun," ucap Om Tama seraya menghapus jejak air mata di pipiku.
Aku terdiam, kemudian memeluknya. Ku tenggelamkan wajahku, tangisku pecah saat itu. Aku butuh seseorang, dan apakah Om Tama orang yang tepat? Apa dia bisa dipercaya? Apakah Om Tama tidak terlibat dalam kejahatan yang dilakukan Tante Erina?
Bagaimana jika iya?. Aku baru mengenalnya beberapa bulan ini. Aku tahu, dia sekarang mencintaiku, tapi dulu
Dia juga mencintai Tante Erina. Bukankah mungkin saja jika Om Tama tahu bahkan membantunya saat itu?
"Ya Tuhan, tunjuklah jika dia tidak bersalah. Jika pria yang kini telah menjadi suamiku ini benar-benar tulus. Aku tak sanggup jika harus membunuh cintaku sendiri."