Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Kisah Yang Dicukupkan
Hujan mengguyur bumi setelah Anggasta tiba di rumah. Hatinya seketika teringat akan Alma. Dihubunginya perempuan itu, tapi tak ada jawaban. Anggasta membuka gorden jendela kamar. Menatap dari dalam hujan yang turun cukup deras. Kejadian di parkiran sebuah restoran berputar.
"Makasih, Gas" ucap Alma setelah Anggasta memberikan barang miliknya yang terjatuh di kolong meja tempatnya dan Bulan menikmati makan siang.
"Are you okay?" Sebuah pertanyaan yang membuat Alma tersenyum, tapi tak seindah senyum biasanya.
"Boleh aku peluk kamu, Gas?"
Sebuah pertanyaan dibalas dengan sebuah permintaan yang menimbulkan banyak spekulasi. Anggasta segera merentangkan tangan walaupun ada tanya di hati. Perempuan itu berhambur memeluk tubuh lelaki yang sedari dulu selalu baik kepadanya. Tangan Alma begitu erat dan pelukan itu cukup lama. Sebuah kalimat Alma ucap sebelum dia pergi meninggalkan Anggasta.
"I'm so tired."
Anggasta mulai menyambungkan kejadian tersebut dengan kejadian malam ini. Lelah yang Alma maksud bukan perihal pekerjaan. Melainkan ada kaitannya dengan hubungannya bersama Haidar. Terbukti malam ini, sikapnya yang begitu tenang tak selaras dengan ucapannya yang sangat tajam.
Di setiap acara undangan penting pun Alma selalu datang sendiri. Padahal, semua orang tahu jikalau Alma memiliki kekasih. Alasannya selalu sama, yakni Haidar sibuk.
"Kan gua udah bilang, si Selir itu susah buat ditembus." Jeno sudah berkata karena tetiba Anggasta datang dan menanyakan perihal Alma.
"Kenapa lu enggak nanya tentang Bulan aja?"
Anggasta meneguk minuman yang sudah dipegang. Menyiram tenggorokannya yang tak terlalu kering.
"Beberapa hari yang lalu gua ketemu Bulan. Dia nanyain lu."
Anggasta tersenyum begitu tipis mendengar laporan tersebut. Jeno melihat ada yang berbeda dari sikap sang sahabat. Rasa ingin tahu Anggasta seperti sudah tak ada.
"Apa benar Seorang Anggasta sudah berhenti mengejar Bulan Noora?" Itulah yang ditangkap dari aduan Bulan kepadanya.
Lelaki yang kini sudah berdiri di balkon tak lantas menjawab pertanyaan Jeno. Malah kembali meneguk minuman kaleng
"Gas--"
"Gua enggak mau egois, No," ujar Anggasta sambil menatap lurus ke depan. "Enggak selamanya cinta yang besar itu mendapat balasan yang setimpal. Dan enggak selamanya harta dan tahta bisa buat orang jatuh cinta," lanjutnya.
Memang begitu kenyataannya. Bahkan nama Wiguna yang tersemat di belakang namanya banyak yang memandang buruk. Seakan dirinya hanya mampu berdiri di atas nama keluarga. Padahal, tempaan sang opa dan kakek begitu keras. Dari segi pendidikan, kepemimpinan serta kekeluargaan. Meskipun begitu, sikap hangat dan kalemnya tak hilang.
"Lu beneran menyerah?" Jeno sudah menatap sang sahabat dengan begitu serius.
"Sudah waktunya gua meletakkan perasaan ini, No. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, tetap saja gua enggak pernah dilihat." Apa yang dikatakan Anggasta memang nyata. Dan Jeno yang menjadi saksinya.
"Sabar gua udah berubah menjadi lelah. Dan lelah itu membuat gua menyerah."
Jeno menepuk pundak Anggasta dan disambut senyuman hangat oleh sang sahabat.
"Life must go on. Dan gua juga berhak bahagia kan?"
Jeno mengangguk dengan senyum yang coba dilengkungkan. Sebenarnya, hati Perih mendengar kalimat yang terucap dari bibir Anggasta. Dia yang selalu menyebut Anggasta pecundang, nyatanya lelaki itu adalah seorang pemberani yang begitu setia. Bertindak tanpa banyak bicara dan tak berkoar ketika apa yang diinginkan tak sesuai dengan kenyataan.
Anggasta menatap Jeno dengan serius. Sorot matanya seakan meminta sesuatu kepada sahabat terbaiknya itu.
"Jangan benci Bulan. Dan jangan salahkan dia. Gua yang salah karena udah mencintai dia begitu dalam. Salahkan gua aja, No."
Setulus itu cinta yang Anggasta miliki untuk Bulan Noora. Setelah lima tahun bersabar dan berharap akan ada keajaiban, faktanya cinta Bulan tak pernah didapatkan. Namun, dia juga berterimakasih kepada perempuan yang namanya sudah mulai diletakkan. Berkat Bulan dia tahu akan makna cinta sesungguhnya. Tak selamanya cinta itu harus memiliki dan tak semua orang bisa mencintai dengan penuh keikhlasan.
"Jangan nilai dia seperti perempuan jahat. Dia sangat baik, yang jahat itu takdir yang tak bisa mempersatukan." Masih bisa tersenyum setelah mengucapkan itu.
"Kisah gua dan Bulan dicukupkan. Gua yakin sebentar lagi Bulan akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Di mana dia akan merasakan dicintai oleh orang yang amat dia sayangi." Lengkungan senyum yang terukir kali ini lebih lebar dan indah di wajah Anggasta. Mengikhlaskan adalah caranya untuk memulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bahkan, kepada opa dan kakaknya pun Anggasta mengatakan hal yang sama. Bohong, jika opa Aksara, Papa Agha serta Gyan tak tahu perihal Anggasta yang mengejar cinta. Sekuat apapun Anggasta membuat dinding keamanan, pasti akan bisa tiga orang tembus dengan penuh kemudahan.
"Opa, dia tak menyakiti Gagas. Gagaslah yang jahat karena terlalu memaksakan perasaan."
"Pa, dia perempuan baik. Dia juga sama kayak Gagas, ingin bahagia dengan orang yang dia cinta. Jangan benci dia, Pa."
"Kak, dia tidak salah. Gagaslah yang salah karena sudah mencintai perempuan yang tak mencintai Gagas. Jangan pernah membencinya karena ini bukan yang dia mau. Gagaslah yang terus memaksa maju. Padahal, sudah jelas ada palang pintu."
Di mata ketiga pria itu, Anggasta memiliki nilai plus. Di mana dia tak malu menerima kekalahan dan tak menyalahkan orang lain atas kekalahan yang dia terima. Dia tidak lemah, tapi dialah yang paling gentle dari semuanya. Karena para singa jantan sangat tidak suka dengan penolakan.
...*** BERSAMBUNG ***...
Yuk tinggalin komennya ...
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya