Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti dan Luka yang Sama
“Baiklah, jadi yang harus kita siapkan pertama kali adalah mengumpulkan bukti—”
Belum sempat Aditya menyelesaikan kalimatnya, Aurora dan Farel sudah serempak mendorong ponsel mereka ke tengah meja restoran. Gerakan itu cepat, seolah mereka sudah menyiapkan diri sejak awal. Suara gesekan ponsel di atas meja kayu mengisi keheningan sesaat, diiringi aroma kopi hangat yang mendadak terasa menegangkan.
Aurora membuka galeri di ponselnya, jari-jarinya bergerak lincah namun ekspresinya kaku. Puluhan foto terpampang di layar. Suryo bersama wanita-wanita lain, sebagian di antaranya tampak jelas berpose mesra. Bahkan ada beberapa foto yang memperlihatkan Aurora sendiri dalam situasi serba salah; wajahnya menegang, tapi tersenyum terpaksa.
Sementara itu, Farel tanpa ragu menampilkan foto-foto lain, luka lebam di lengan ibunya, pipi bengkak, hingga bukti nyata dari kekerasan yang dialami. Beberapa di antaranya bahkan diambil diam-diam pada malam hari, dengan pencahayaan redup dan bayangan tubuh besar Suryo di belakangnya.
Aditya menunduk, memperhatikan kedua ponsel itu dengan tatapan serius. Udara seolah menegang di sekeliling meja. Tangannya mengepal di bawah meja, namun suaranya tetap tenang ketika berkata, “Selingkuhnya sebanyak ini dan beliau juga KDRT? Ini sangat sulit baginya. Ibu Siti sudah pasti bisa menang dalam pengadilan.”
Siti yang duduk di sisi kiri tampak gelisah. Jemarinya saling meremas, dan matanya berkaca-kaca. Ia menatap Farel dengan campuran heran dan rasa bersalah.
“Nak, dari mana kau dapatkan semua foto itu?” tanyanya dengan nada penuh kebingungan.
“Ibu, sudah aku katakan! Aku ini tidak sebodoh ibu,” jawab Farel santai, seolah topik itu bukan sesuatu yang berat.
Aurora refleks menutup mulutnya sendiri. “Pffhhtt!” Suara tawa tertahan lolos di antara bibirnya, nyaris tak bisa ia kendalikan. Mata Farel yang datar, nada polos namun kejam itu, semuanya terlalu absurd dalam situasi seserius ini.
“Kak Farel, itu sangat kejam! Jangan katakan hal seperti itu!” seru Kirana, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Ia menatap tajam, suaranya bergetar menahan emosi. “Kakak juga jangan tertawa! Meskipun ibu memang tidak pintar, kita tetap tidak boleh menertawakan yang lebih tua, kan?”
Kali ini bukan hanya Aurora, Farel bahkan Aditya ikut menutupi mulut mereka masing-masing. “Pffft!” Suara tawa tertahan pecah serentak di antara mereka, menciptakan kontras yang aneh di tengah atmosfer yang seharusnya serius.
Aditya buru-buru berdehem keras. “Ekhem!” Ia sengaja menegakkan tubuh, berusaha mengembalikan wibawanya sebagai pengacara. Tatapannya kembali tajam, menelusuri wajah-wajah di depannya. “Baiklah, selain barang bukti, apa ada saksi yang bisa kita mintai keterangan?”
Aurora mencondongkan tubuh sedikit, menatap Aditya dengan rasa ingin tahu yang tajam. “Apa anak-anak bisa ikut menjadi saksi? Karena pastinya dua anak ini adalah saksi utama dari semua kelakuan bejat ayahnya.”
Aditya mengangguk pelan. Pandangannya beralih ke arah Farel dan Kirana. “Tentu. Tapi mereka masih di bawah umur. Kesaksian mereka masih belum terlalu kuat. Harus didukung bukti dan dalam pengawasan wali serta psikolog. Karena menjadi saksi adalah tugas yang sangat berat untuk anak-anak di bawah umur.”
Aurora mengangguk pelan, seolah menimbang-nimbang. Tatapannya beralih pada Farel. “Farel, apa di rumahmu ada orang dewasa yang sering melihat seperti pembantu atau sebagainya?”
Farel terdiam beberapa detik, napasnya terdengar berat. Ia menatap meja sebelum menjawab, suaranya datar namun mengandung nada getir. “Sayangnya tidak ada. Pelayan kami hanya bertugas si pagi dan siang hari. Saat malam hari, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing karena banyak dari mereka yang berkeluarga dan ingin tetap tinggal bersama keluarga mereka. Karena itu kurang lebih tidak ada yang melihat sifat buruk ayah yang pemabuk di malam hari.”
Hening.
Suasana yang tadinya sempat diwarnai tawa kini berubah menjadi hening yang pekat. Aurora menatap Farel dengan iba. Ada sesuatu di balik kata-katanya yang lebih dari sekadar fakta; ada rasa sepi yang tidak pantas dimiliki anak seusianya.
Aditya sendiri menatap bocah itu lama. Ia tidak berbicara, tapi rahangnya menegang. Dalam pikirannya, bayangan masa lalunya sendiri muncul begitu saja. Ayah yang mabuk, ibu yang menangis, malam yang berulang tanpa henti.
‘Anak ini… bukan hanya korban. Dia adalah diriku di masa kecil,’ pikirnya pelan, rahangnya terkunci rapat.
“Ayahmu pemabuk juga?” tanya Aditya akhirnya, setelah beberapa saat terdiam. Suaranya terdengar datar, tapi tatapan matanya tajam. Bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan campuran kemarahan, simpati, dan trauma lama yang tiba-tiba mencuat ke permukaan.
Matanya menatap Farel dengan intensitas yang membuat udara di meja itu mendadak berat. Aurora sempat meliriknya sekilas, merasakan perubahan kecil dalam nada suara sang pengacara. Ada sesuatu di balik tatapan itu… sesuatu yang tampak seperti luka lama.
Farel menunduk, lalu mengangguk pelan. “Karena itulah saat ayah melakukan KDRT.” Ia bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di dada dengan sikap menantang, tapi matanya menyiratkan kelelahan yang terlalu dewasa untuk usianya. “Aku juga kesal. Apa enaknya mabuk-mabukan seperti itu?”
Kata-kata sederhana itu menggantung di udara.
Aditya menarik napas perlahan. Matanya sempat terpejam sejenak. ‘Anak ini… berbicara seperti aku dulu.’ Ingatannya berkelebat — suara botol kaca yang pecah di lantai, aroma alkohol yang menusuk hidungnya, suara bentakan keras dari ruang tamu. 'Berhenti… jangan diingat lagi,' katanya dalam hati, mencoba menahan napas yang mendadak berat.
“Apa ayahmu suka membawa pulang alkohol yang sering diminumnya? Atau ada video saat beliau mabuk? Itu juga bisa dijadikan bukti,” ucap Aditya akhirnya, dengan suara yang berusaha tenang meski nadanya sedikit bergetar di ujung.
Aurora, yang sejak tadi hanya memperhatikan, tiba-tiba mengambil ponsel Farel yang tergeletak di meja. Suara gesekan ponsel di atas permukaan kayu terdengar nyaring di tengah keheningan restoran. Ia menggulir layar dengan jari lentiknya, satu demi satu video dan foto bermunculan di layar.
Rekaman tubuh besar Suryo yang berjalan sempoyongan sambil membawa botol alkohol, suaranya bergumam tidak jelas. Ada pula foto-foto luka di tubuh Siti, biru keunguan di sekitar pergelangan tangan, dan tatapan kosong penuh ketakutan.
Aurora menatap layar itu dengan rahang mengeras. “Semuanya lengkap!” katanya tegas, suaranya datar namun nadanya tajam seperti baja dingin.
Aditya mengangguk pelan. “Bagus! Semua bukti sudah dikumpulkan. Hanya tinggal masalah saksi saja.” Ia menoleh perlahan ke arah Aurora, menatap wanita itu dengan ekspresi yang sukar ditebak. “Bagaimana denganmu?”
Aurora terdiam sejenak. Senyumnya tipis tapi sinis. “Memangnya pelakor bisa jadi saksi?” tanyanya, sambil sedikit memiringkan kepala.
Nada bicaranya seolah menantang, tapi di balik itu ada kepedihan yang samar. “Lagi pula, aku belum resmi putus hubungan dari pak Suryo itu. Aku hanya menghindarinya. Aku juga tidak tahu bagaimana cara memutuskan hubungan dengannya.”
Aditya mengepalkan tangannya di bawah meja, sendi jarinya memutih. Wajahnya tetap tenang, tapi mata dan urat di lehernya menegang. Kenapa kau masih berhubungan dengannya? Kenapa kau harus menyeret dirimu sendiri sejauh ini? pikirnya, tapi ia menahan diri untuk tidak berucap. Dengan nada dingin namun terkendali, ia berkata, “Kau tinggal bilang saja ingin putus. Jika dia mengancammu, aku akan melindungimu secara hukum.”
Aurora hanya mendengus pelan. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, lalu tanpa berkata apa pun, mendorongnya ke arah Aditya. Gerakannya cepat, tegas, dan sedikit provokatif. “Ini! Silakan ketik saja kata-katanya! Aku malas mengetik! Yang jelas aku tidak mau mengotori jari-jariku sendiri untuk mengirim chat pada tua bangka bau tanah itu.”
Aditya menatap ponsel itu. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata keluar. “A- aku? Kenapa aku?” Suaranya terdengar canggung. Hal yang langka dari seorang pengacara yang biasanya tenang. Ia menatap ponsel di tangannya seolah benda itu bisa meledak kapan saja. Wajahnya tetap datar, tapi telinganya… memerah. Sangat jelas terlihat.
Aurora menangkap reaksi itu. Ia tersenyum pelan, senyum tipis yang berbahaya. Senyum seorang wanita yang tahu betul bagaimana cara mengguncang benteng pertahanan pria di hadapannya. Ia mencondongkan tubuh, jarak mereka kini hanya sejengkal. Aroma parfumnya yang lembut bercampur dengan udara dingin restoran.
Aurora berbisik nyaris tanpa suara, tapi setiap katanya menggigit. “Bilang saja bahwa aku sudah punya pacar dan pacarku sangat marah jika aku menjadi pelakor.”
hahaha 🤣
✿⚈‿‿⚈✿