Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 18
Peia bertudung hitam tadi menatap temanya sekilas, seolah berkata untuk cepat menyerang Wira. "Halah, nggak usah banyak bicara!"
Wira spontan menghindar, kala satu pria tadi menghantamkan tanganya kearah wajah. Posisi Wira masih duduk diatas motornya. Pria itu menangkis tanganya, dan mencoba menyerang kembali.
BUGH!
BUGH!
Dua lawan satu. Wira sempat kualahan karena ia hanya sendiri. Wajah dua pria asing tadi juga babak belur, karena mendapat beberapa bogeman dari tangan Wira. Tak halnya pria asing tadi, Wira juga beberapa kali meringis sambil memegangi perutnya.
"Awhhh ...." teriak satu pria tadi, kala tubuhnya berhasil di ringkus oleh Wira. Dengan wajah yang sudah berapi-api, Wira semakin menekan lengan pria tadi, hingga terdengar suaranya.
KREK!
"Awhhh, ampun!" pekiknya menahan sakit.
"Jika kalian tidak pergi, maka jangan salah aku jika lengan temanmu ini akan terlepas dari badanya." Tekan Wira menajamkan matanya. "Dan katakan, SIAPA YANG MENYURUH KALIAN UNTUK MENYERANGKU?! JAWAB!" Bentak Wira semakin kuat menekan lengan Pria tadi.
"Awhhh, ampun! Baik, saya akan katakan. Saya di suruh putranya Pak Lurah. Mas Nandaka!"
Dengan cepat Wira mendorong tubuh Pria tadi hingga tersungkur.
Brug!
"PERGI KALIAN!" Gertaknya lagi.
Dua pria tadi seketika langsung lari terbirit, sambil menghidupkan motornya untuk pergi.
Wira memukul angin dengan kuat. "Brengsek! Bocah ingusan itu sudah berani melempar api kearahku. Awas saja kau Nanda ... Aku tidak akan tinggal diam." Sambil menyeka lukanya diwajah, Wira kembali menaiki motor dan langsung melenggang pergi.
Baru pukul 7 malam, keadaan Desa Sendang sudah sepi dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat.
Rumah megah dua lantai berdinding lantai coklat itu, kini menyambut kedatangan Wira. Motornya sudah ia masukan kedalam garansi rumah. Di Desa Sendang, hanya Juragan Wisnu lah yang memiliki rumah paling besar nan mewah.
Seorang pria berusia 60 tahunan berjalan cepat menghampiri Wira dari pintu belakang. Namanya Pak Burhan, penjaga rumah sekaligus mandor sawah milik Juragan.
"Den, Mas Irfan sore tadi baru saja pulang." ucap Pak Burhan memberitahu.
Irfan adalah adik tiri Wira, yang baru saja pulang dari kuliahnya. Pria muda itu dulunya pernah satu SMP dengan Gendhis. Dan sejak sekolah pula, Irfan selalu dekat dengan temannya itu.
"Baik, Pak! Saya masuk dulu." jawabnya datar. Setelah itu Wira langsung melanjutkan jalanya untuk masuk kedalam.
3 orang itu reflek menoleh, kala mendengar derap langkah Wira. Terutama sang Juragan. Pria berusia 55 tahun itu mengernyit, sambil berjalan mendekat. "Wira, kenapa dengan wajahmu?" sorot mata Juragan Wisnu menajam, tersirat rasa cemas yang mendalam.
Bu Minah juga ikut bangkit. "Ya Allah Wira, kamu habis berantem sama siapa?!" pekiknya. Setelah itu Bu Minah menatap suaminya, "Itu semua pasti karena kenal sama Gendhis itu pak, putra kira jadi begini."
Juragan tidak menghiraukan itu, ia masih menatap putranya seperti semula. "Ayo duduk biar Bapak obati lukamu!"
Wira tidak menjawab, tapi ia mengikuti perintah Ayahnya. Juragan Wisnu begitu sangat menyanyangi putranya, sesuai permintaan terakhir sang istri.
"Ifan, tolong ambilkan Bapak air hangat dan handuk kecil. Perlengkapan obat merahnya juga." Ucap Juragan kepada anak keduanya.
Irfan langsung bangkit. Ia juga tak kalah khawatir melihat sang Kakak terluka seperti itu. Apalagi Wira tampak meringis sambil memegangi perutnya.
"Kenapa bisa seperti ini Wira?" Pekik kembali Juragan. Dan tak berselang lama putra keduanya datang membawa baskom air hangat itu.
"Ini, Pak!" ucapnya. Lalu ia duduk dan menatap Kakaknya, "Apa yang terjadi, Mas? Nggak biasanya kamu terluka seperti ini."
Wira juga tetap diam. Ia tak menjawab, karena memang lukanya cukup terasa nyeri. Sebagai sang Ayah, Juragan tidak lagi menanyai. Ia tahu jika putranya memang tidak terlalu banyak bicara.
"Awhhh ..." rintih Wira kala lukanya diberi obat merah sang Ayah.
Begitu selesai, Wira langsung bangkit begitu saja. Ia berjalan tertatih menuju kamarnya.
"Pasti semua ini gara-gara Gendhis! Tadi sore Wira bilang mau jemput calon istrinya. Ibu yakin, pasti Wira terluka akibat wanita miskin itu." Geram Bu Minah.
"Sudah, Bu! Jangan suka nyalahin Gendhis! Dia juga pasti ngga tahu kalau Wira terluka." Sahut Juragan.
'Kasian Mas Wira. Gendhis harus tahu kalau Mas Wira terluka.' batin Irfan. "Iya, Ibu jangan suka menuduh! Jika pun tahu, pasti Gendhis malah merasa bersalah."
Sementara dikamar, Wira terduduk di tepi ranjang. Pria itu melepaskan kemejanya. Dan begitu dibuka, diarea peutnya terdapat luka memar akibat pukulan pria asing tadi.
Ceklek!
"Mas ... " Irfan masuk kedalam kamar Kakaknya. Dan seketika kedua matanya membola, kala melihat luka memar diatas pusar sang Kaka terpampang membiru.
"Mas, di perutmu juga terluka." Ucap Irfan spontan terkejut.
"Nggak papa, hanya luka biasa." jawab Wira dingin.
***
Malam yang sama dirasakan juga oleh Gendhis. Gadis cantik itu tampak bimbang, bagaimana caranya mengambil tusuk konde emas itu. Sementara disisi lain, hubunganya dengan Nandaka juga sudah akan berakhir.
Gendhis terdiam sambil merebahkan tubuh lemahnya. Ia tatap dalam-dalam atap rumahnya dengan pikiran terbang jauh. 'Apa aku dekati Mas Nanda lagi, ya? Tapi bagaimana kalau Mas Wira nggak ngebolehin. Ya Allah ... Bagaimana ini?!'
Karena merasa lelah, Gendhis mencoba memejamkan matanya untuk terlelap.
Pagi harinya, pintu rumah berbahan kayu papan itu terketuk tanpa jeda. Irfan sudah berdiri didepan, dengan wajah gusarnya.
Grek!
Pintu kayu itu terbuka dari dalam. "Irfan, kamu sudah pulang? Ada apa?" Gendhis sedikit tersentak melihat temannya itu berdiri didepanya.
"Iya, Ndis, baru kemaren sore. Oh ya, aku cuma mau ngasih tahu, kalau Mas Wira tadi malam dibawa ke rumah sakit." kata Irfan menahan cemasnya. Ia menatap kedalam seakan memastika. "Ndis, apa aku boleh masuk? Ada yang ingin aku tanyakan."
Perasaan Gendhis sudah mulai tidak enak. Mendengar calon suaminya dibawa ke rumah sakit, seketika matanya terbuka lebar. Ada apa yang terjadi? Padahal, baru saja kemarin malam ia diantarkan pulang.
"Duduk, Fan!"
"Mas Wira sakit apa? Perasaan kemarin sore masih sehat-sehat saja!" pekik Gendhis.
Irfan sedikit agak berpikir. Lalu ia menatap Gendhis begitu lamat. "Itu masalahnya, Ndis! Setelah pulang mengantarkan kamu, wajah serta tubuh Mas Wira banyak terdapat bekas luka lebamnya. Sepertinya ada yang mengeroyok dirinya."
Gendhis kembali tercekat sambil membekap mulutnya. Matanya membola semakin lebar, hingga kedua manik matanya memanas. "Siapa yang tega melakukan itu, Fan? Padahal Mas Wira nggak pernah jahat sama orang."
Ifan kembali berpikir. "Kamu tahu sendiri 'kan, Ndis, bagaimana kakunya calon suamimu. Bapak juga sudah membujuk agar Mas Wira mau bercerita ... Tapi nyatanya tetap diam. Siapa tahu jika kamu yang membujuk Mas Wira akan kasih tahu."
"Kamu bisa 'kan antarkan aku ke rumah sakir, Fan?"
Irfan mengangguk. Setelah itu Gendhis bersiap-siap untuk menjenguk calon suaminya.