Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Titik Terakhir
Bab ini yang membawa Wina dan Nayla sampai ke titik terakhir jejak Ale di dunia, di turunan curam Situgunung, tempat bus itu pernah terjungkal ke jurang. Bab ini bukan hanya tentang luka dan kenangan, tapi juga tentang rasa kehilangan yang hampir menelan Wina, secara harfiah dan emosional sampai Nayla, sahabat setianya, menariknya kembali dari tepi itu.
Kami tiba di Situgunung saat senja mulai merambat. Kabut tipis menggantung di lereng bukit, menari pelan seperti selendang kelabu di udara.
Perjalanan dari kampus memakan waktu hampir dua jam lebih ditambah waktu kami mencari penginapan kecil yang cukup dekat dengan jalur turunan lokasi kecelakaan.
Villa sederhana itu dikelilingi pohon pinus, dengan suara jangkrik sebagai latar musik alami. Tak banyak wisatawan saat musim libur kampus, dan itu membuat tempat ini terasa… kosong. Tapi mungkin memang harus sepi, agar aku bisa mendengar kembali suara yang lama menghilang.
Pagi harinya, kami bangun lebih awal. Aku memakai sweater putih dan jeans panjang, menyiapkan jurnal Ale dalam tas kecil. Nayla berjalan di belakangku, membawa sebotol air dan jaket tambahan.
Kami berjalan kaki sekitar 15 menit menyusuri jalur pinggir hutan, sampai akhirnya sampai di lokasi yang ditandai plakat kecil berkarat:
“Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata – 23 November 20XX”
Di sana ada pagar besi setinggi pinggang, sudah mulai berkarat. Di balik pagar itu… jurang. Dalam, hijau gelap, seperti perut bumi yang belum kenyang.
Aku berdiri di pinggir pagar itu, memandang ke bawah. Angin dingin menyapu rambutku. Langit mendung.
Di bawah sana… di dasar itu… mungkin di situlah Ale terakhir kali berada.
Aku menggenggam palang pagar. Nafasku pendek. Lututku bergetar.
“Ini tempatnya ya...” gumamku, hampir tak terdengar.
Nayla berdiri agak jauh, memberiku ruang. Tapi langkahku tak stabil. Aku terlalu larut.
Dan saat aku sedikit bersandar, kakiku menginjak batu licin, tanah lunak bergeser.
Tubuhku oleng.
Aku terpeleset.
Segalanya terasa lambat. Aku hanya sempat berpikir satu hal:
> Jadi ini rasanya jatuh… seperti dia.
Tapi sebelum tubuhku benar-benar melewati batas pagar, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tanganku.
“Nggak, Wina!” teriak Nayla panik.
Aku tergantung setengah badan di luar pagar, lutut dan kaki menggantung, jantung berdegup keras di dada. Tanganku menggenggam lengan Nayla sekuat tenaga.
“Tarik aku!” teriakku, suara pecah oleh panik.
Dengan seluruh tenaga, Nayla menarik ku kembali. Punggungku menghantam rumput, nafas tersengal-sengal, tangan dan lututku bergetar hebat.
Nayla memelukku erat. “Kamu gila! Kamu gila banget! Jangan pernah kayak gitu lagi!”
Aku menangis. Bukan karena jatuh. Tapi karena aku… terlalu dekat dengan kehilangan kedua kalinya.
“Aku nggak sengaja,” isakku. “Aku cuma pengin… lihat dia sekali lagi.”
Nayla menatapku, mata berkaca-kaca. “Dia nggak minta kamu nyusul dia, Win. Dia minta kamu hidup. Jalan terus. Ingat dia, tapi jangan ikut dia.”
Aku memejamkan mata. Dalam gelap kelopak mataku, aku bisa melihat Ale berdiri di tepi pagar, menggeleng pelan sambil tersenyum.
> “Kamu udah cukup dekat, Wina. Sekarang waktunya kembali.”
Kami duduk cukup lama di batu datar dekat pagar itu. Aku menulis satu halaman terakhir di jurnal Ale, dan menguburnya di bawah pohon pinus kecil dekat situ.
Bukan untuk ditinggal. Tapi untuk dikenang… oleh alam yang jadi saksi akhir jejaknya.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup