Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sasaran Lain
Mentari pagi mulai menembus sela dedaunan, menyentuh pondok kecil tempat Lestari dan anak-anaknya berlindung. Udara masih terasa berat setelah malam penuh teror. Tapi cahaya pagi membawa sedikit kelegaan. Burung-burung kembali bersuara, seolah berusaha menutup kesunyian yang tertinggal.
Lestari duduk di beranda, memeluk Dara yang belum juga berhenti menggenggam bajunya. Dimas tampak diam, lebih pendiam dari biasanya, seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin ia ceritakan.
Lestari tahu anak-anaknya melihat lebih dari yang seharusnya mereka lihat.
"Dimas…" panggilnya lembut. "Kalau kamu mau cerita, Bunda akan dengar."
Anak itu hanya mengangguk pelan. Matanya menatap ke arah pepohonan lebat di belakang pondok.
"Ada yang bisik-bisik di luar jendela semalam, bunda." gumamnya pelan. "Tapi itu bukan suara orang, Bunda. Bukan suara manusia, aku tidak tau itu suara apa."
Lestari menahan napas, menatap anaknya lama. Lalu ia memeluk mereka berdua lebih erat. "Kita akan pergi dari sini. Hari ini juga."
Di tempat lain, Arman membersihkan sisa kerusakan rumah mereka. Retakan di dinding, kaca jendela yang pecah, dan bekas-bekas jelaga membuat rumah itu terasa asing. Namun ia tetap mengelap, mengangkat pecahan, menyapu debu, seakan ingin menghapus dosa yang telah tertumpuk terlalu lama.
Sesekali ia berhenti, memandang ke arah foto keluarga mereka yang masih tergantung di dinding. Foto itu retak di tengah, membelah wajah Lestari.
Arman menatap pantulan dirinya di kaca yang pecah. "Kamu lelaki bodoh," katanya pelan kepada bayangannya sendiri.
Lalu, di tengah keheningan, ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan… menyusup.
Ia menoleh cepat. Dan di sanalah Melati berdiri menatapnya dengan tatapan kosong.
Tapi kali ini, dia bukan Melati yang dulu. Wajahnya pucat, matanya merah menyala, rambutnya acak-acakan. Tubuhnya terlihat lebih kurus, dan kulitnya… seperti mulai retak.
"Arman…" ucapnya serak.
Arman mengangkat tangannya cepat. "Melati. Kenapa kamu datang lagi, Pergi! Kau tak punya tempat lagi di sini."
Melati tertawa kecil, tapi suara tawanya terdengar nyaring, hampir seperti jeritan. Bukan suara Melati biasanya.
"Kau pikir kau sudah bebas dariku?" Ia melangkah mendekat. "Kau pikir cukup dengan air doa dan ayat suci, kau bisa bersih dari semua yang telah kuikat?"
Arman menahan napas, tapi tetap berdiri tegak. "Apa pun yang kau rencanakan, aku tidak akan jadi bagian darimu atau darinya lagi."
Melati mendengus. "Kau pikir aku datang untuk mengikatmu lagi? Bukan, Arman. Aku datang untuk menyelesaikan apa yang tertunda. Karena malam tadi, makhluk yang pernah aku panggil telah menagih janjinya."
Ia membuka telapak tangannya. Ada luka membara di sana, sebuah simbol yang seakan terbakar dari dalam kulitnya sendiri. "Aku diberi waktu tiga hari. Kalau tidak… jiwaku akan jadi milik mereka sepenuhnya."
Arman menatapnya, kali ini dengan campuran ngeri dan kasihan. Kenapa Melati harus melakukan hal itu, kenapa dia bisa menukar jiwanya untuk suatu kesenangan sesaat. Dan sekarang semua itu berbalik padanya.
"Melati… lepaskan semuanya. Kembali ke jalan yang benar. Kita sama-sama salah, tapi kau masih bisa—"
"Diam!!" teriaknya, matanya membelalak. "Kau bicara tentang benar dan salah setelah memilihku? Setelah kau mencintaiku, lalu meninggalkanku demi kembali pada istrimu itu?"
"Aku mencintaimu karena sihir yang kamu berikan padaku," jawab Arman datar. "Dan sekarang aku sadar, karena yang benar-benar tulus mendoakan aku hanya istriku. Dan yang kamu berikan Itu bukan cinta. Itu hanya obsesimu yang ingin memiliki apa yang menjadi milik Lestari istriku. Tapi kamu gagal, aku sadar dan sihirmu itu tidak berguna. "
Melati tersentak. Tangannya gemetar.
"Pergilah, Melati. Jangan tunggu sampai semua terlambat. Sebaiknya kamu segera bertaubat,dan berharap Tuhan mengampuni semua dosamu. "
Untuk beberapa saat, hanya suara napas berat mereka berdua yang terdengar.
Kemudian Melati melangkah mundur, matanya masih menyala. "Terlambat? Semua sudah terlambat, tidak ada jalan untukku kembali. Tidak ada, Arman. Aku belum kalah. Kau belum tahu… apa yang sudah aku lepaskan di hutan. Cobalah kalau bisa selamatkan anak dan istri kesayanganmu itu. "
Dan dengan satu senyuman miring, ia menghilang di balik pintu, meninggalkan aroma busuk yang perlahan memenuhi ruangan.
Arman terdiam mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Melati. Memangnya apa yang sudah dia lepaskan di hutan, Kenapa dia menyebut anak dan istri. Apakah Lestari dan anaknya dalam bahaya?
********
Lestari, bersama anak-anak, sedang bersiap meninggalkan pondok. Tas kecil telah dikemas. Ia tak tahu ke mana harus pergi, tapi hatinya menuntunnya untuk menjauh.
Namun, saat ia membuka pintu, seorang wanita tua sudah berdiri di depan rumah. kepalanya tertutup hijab panjang. Wajahnya keriput, tapi matanya jernih dan tajam.
"Bu Nurul?" seru Lestari kaget.
Wanita itu mengangguk. "Kau tak bisa pergi sekarang, Lestari. Masih ada satu hal yang harus kamu lakukan."
"Apa maksud Ibu? Rumah ini sudah tak aman lagi bagi kami. Makhluk-makhluk itu sudah menemukan kami. "
"Mereka tak akan berhenti, bahkan jika kau pergi ke ujung dunia."
Lestari menelan salivanya. "Jadi… apa yang harus aku lakukan?"
Bu Nurul berjalan masuk, tangannya membawa bungkusan kain berwarna cokelat tua.
"Kamu harus menyegel apa yang sudah terbuka. Pintu antara dunia kita dan dunia mereka. Pintu yang dibuka oleh Melati…"
Ia membuka kain itu. Di dalamnya, ada segenggam tanah hitam, sebuah paku besar dari besi tua, dan seutas tali ijuk yang memancarkan aura dingin.
"Di kaki bukit belakang pondok ini, ada sebuah pohon tua. Di sanalah Melati memulai semuanya. Kamu harus akhiri di sana juga. Biarkan mereka tersegel dan tidak bisa keluar dari, agar kamu dan anak-anakmu terbebas dari teror mereka.
Lestari memandang bungkusan itu lama. "Sendirian?"
Bu Sarti menatapnya lekat-lekat. "Tak ada yang benar-benar sendiri saat bersandar pada-Nya. Tapi ya, ini langkah yang harus kau ambil sendiri… sebelum malam ketiga datang."
*********
Di hutan, Melati duduk di bawah pohon beringin yang sudah lapuk. Darah menetes dari telapak tangannya. Di hadapannya, sebuah lubang kecil terbuka, hitam seperti jurang tak berdasar.
Suara dari dalam lubang berbisik,
"Darahmu sudah kami tandai. Tapi satu jiwa lagi… dan pintu akan terbuka sempurna."
Melati menunduk, lalu membuka gulungan kecil dari kain merah. Di dalamnya, sebuah benda mungil—boneka dari rambut asli, dengan nama "Dara" tertulis di seutas benang.
Ia tersenyum gelap. "Jika kamu tidak menyerah Lestari… maka anakmu yang akan jadi pengganti. Biar kamu rasakan bagaimana rasanya kehilangan"
Dan ketika ia menancapkan jarum ke dada boneka itu, suara tawa dari dalam lubang menggema, panjang, dan mengerikan.