"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mirip Denganmu, Tuan
Aroma manis dari adonan yang baru dipanggang masih menguar kuat, menggelitik indra penciuman Jack saat ia melangkah keluar dari toko roti. Bibirnya melengkungkan sebuah senyum puas, matanya menatap lekat pada isi paperbag di tangannya. Roti cokelat dengan taburan keju melimpah itu seolah memanggilnya. Tak sabar, ia berencana akan melahap roti itu nanti di dalam mobil yang sejuk.
Dengan langkah ringan, Jack mengangkat pandangannya, siap menuju tempat di mana mobil tuannya terparkir. Namun, senyum di bibirnya perlahan memudar, digantikan oleh kerutan bingung di dahinya.
Tempat parkir di depan toko itu kosong melompong. Mobil sedan hitam mewah yang tadi ia tumpangi tak ada di tempatnya.
"Loh? Kemana mobilnya?" gumam Jack, matanya menyapu sekeliling jalanan yang ramai. "Apa Tuan membawanya pergi? Astaga, itu kan mobil sewaan!"
Kepanikan mulai merayapi Jack. Ia merogoh saku celananya dengan tergesa, menarik ponsel pintar miliknya dan menekan nomor Marco, bosnya yang terkenal dingin dan seenaknya sendiri. Terdengar nada sambung, sekali, dua kali, hingga panggilan itu terputus tanpa jawaban.
"Si4l," umpat Jack pelan.
Rasanya, stok kesabarannya menghadapi Marco sudah menipis setipis tisu. Bagaimana bisa bosnya itu meninggalkan asisten setianya di pinggir jalan seperti anak kucing yang terbuang? Karena tak punya pilihan lain, Jack menghela napas panjang, lalu menghempaskan tubuhnya duduk di kursi kayu panjang yang tersedia di dekat pintu masuk toko roti. Ia memutuskan untuk menunggu. Mengeluarkan uang pribadi untuk ongkos taksi di kota asing ini rasanya terlalu menyakitkan bagi dompetnya.
"Untung rotinya enak," gumam Jack mencoba menghibur diri. Ia menggigit ujung roti yang ia beli tadi, membiarkan rasa manis dan gurih meredam rasa lapar yang mulai menyergap perutnya.
Sambil mengunyah, matanya menatap lurus ke depan, mengamati mobil-mobil yang berlalu-lalang membelah kesibukan kota. Pandangannya yang awalnya kosong tiba-tiba terhenti pada satu titik. Di seberang trotoar, matanya menangkap sosok seorang wanita paruh baya yang terlihat anggun namun sederhana, sedang menggandeng tangan dua orang bocah kecil.
Anak perempuan di sisi kiri wanita itu wajahnya tertutup sebagian oleh topi lebar berwarna cerah, membuat Jack sulit melihat wajahnya. Namun, anak laki-laki di sisi kanan yang mengenakan jaket tebal justru menarik perhatian Jack sepenuhnya. Anak itu tampak pucat, seperti sedang sakit, namun semangatnya terlihat meletup-letup.
"Kalau Laka di-kacih-kan loti hitam menteleeeeng, Laka pacti cembuuuh!" seru anak laki-laki itu dengan suara cadel yang lantang.
Itu adalah Rakael. Setelah pemeriksaan di dokter anak, Rakael bersikeras bahkan nyaris mengamuk minta mampir membeli kue. Jadilah Kirana, membawa kedua cucunya menuju sebuah toko roti ternama namun dengan golongan harga yang masih terjangkau.
"Semua kamu makan, rumah juga nanti kamu makan sekalian," desis Vier, saudari kembarnya, dengan nada yang terlalu dewasa untuk usianya. Ucapan itu membuat Rakael mendelik kesal, memajukan bibir bawahnya.
Sementara itu, Jack terpaku di tempat duduknya. Roti di tangannya nyaris terlepas. Matanya menyipit, menatap ke arah Rakael dengan kening berkerut sangat dalam. Jantungnya berdegup aneh.
Setelah ketiga orang itu masuk ke dalam toko roti dan melewati Jack yang masih mematung. Jack pum kembali berpikir keras. Wajah anak laki-laki itu terus menari-nari di benaknya. Garis rahangnya, bentuk matanya yang tajam meski masih kanak-kanak, serta aura keras kepala yang memancar.
"Dia ... anak yang bilang milik Tuan Marco besar itu, kan? Waktu di mall?" gumam Jack, mencoba mengingat-ingat. "Atau cuman sekedar mirip saja?"
Jack menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran gila itu. Tetapi, semakin ia menyangkal, semakin kuat ingatan visual itu menghantamnya.
"Kenapa anak itu sangat mirip dengan si Bos?" gumam Jack lagi, kali ini dengan tatapan horor bercampur bingung. "Bukan sekadar mirip, ini seperti fotokopi!"
Lamunan Jack buyar seketika saat sebuah mobil sedan hitam berhenti mulus tepat di depannya. Jack tahu persis mobil siapa itu. Tanpa menunggu diperintah, ia beranjak, menghampiri mobil itu dan membuka pintu kemudi sebelah kiri, lalu menarik sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. Ia tahu, sang bos yang sedang dalam mode "kabur" pasti akan menyetir sendiri.
Begitu ia duduk, atmosfer di dalam mobil terasa dingin.
"Tuan tadi kemana? Saya kayak anak hilang nunggu kedatangan Tuan di sini," tegur Jack. Ada nada kesal yang tertahan di sana, namun ia berusaha tetap sopan.
Marco menoleh sekilas, tatapannya datar namun tajam. "Kamu memang persis anak hilang, Jack," desis Marco tanpa rasa bersalah. Ia menginjak pedal gas, melarikan mobilnya meninggalkan area toko roti itu dengan perasaan yang entah mengapa terasa ganjil.
Hening menyelimuti perjalanan mereka selama beberapa menit. Jack terdiam, ia ragu membuka suara di tengah suasana hati bosnya yang sedang tidak menentu. Namun, rasa penasaran yang membuncah di d4danya seolah mendesak untuk dikeluarkan. Ia harus mengatakannya, atau ia akan m4ti penasaran.
"Tuan," panggil Jack pelan.
Hanya deheman singkat yang menjadi jawaban. "Apa?" tanya Marco judes, matanya tetap fokus ke jalanan.
Jack meneguk lud4hnya yang terasa kasar di tenggorokan. Sebenarnya ia malu dan takut menanyakan hal sepribadi ini, tapi ia akan mencobanya. "Tuan ... apa ada ... pencuri benih milik Anda lainnya yang berkeliaran?"
Cicitan ban terdengar saat Marco sedikit mengerem mendadak karena terkejut. Ia menoleh tajam pada asistennya. "Apa maksudmu? Aku memang bebas, tapi aku tak akan melakukan sesuatu pada WC umum sembarangan! Tidak sepertimu," desis Marco, kalimatnya tajam menvsuk Jack.
Jack tergagap, wajahnya memerah. "Aa—aanuu ... bukan begitu maksud saya, Tuan! Saya tadi bertemu dengan seorang anak laki-laki di depan toko roti. Wajahnya ... wajahnya mirip sekali dengan Anda, Tuan. Mirip sekali! Tapi bedanya dia putih pucat, sedangkan Anda ...,"
"Hitam maksudmu, huh?" potong Marco dengan emosi yang mulai melayang naik. Kulitnya yang eksotis memang sering jadi bahan perbandingan.
"Bu-bukan begitu! Maksud saya, dia sangat mirip dengan Anda, bagai pinang dibelah dua. Struktur wajahnya, matanya ... maksud saya, sangat mirip! Seperti melihat gambaran Anda waktu kecil dulu!" seru Jack penuh semangat, tangannya bergerak-gerak memperagakan kemiripan yang ia lihat.
gmn kelanjutannya