Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Bicara dengan mama
Pertama-tama mereka berhenti di Indomaret untuk membeli saus tiram, bumbu penyedap dari jamur juga merica bubuk.
Kemudian Aris mengajak Ana untuk memilih kopi dingin di Point Coffee, membeli bakery dan mengajak sejenak duduk menikmati roti dan kopi di bangku depan.
Ana sangat merasa di-ratu-kan oleh Aris. Hatinya terasa hangat dengan perhatian manis dari Aris. Kedua orang tuanya tak pernah duduk khusus untuk menemaninya seperti ini. Mereka tidak melakukan hal menyenangkan untuknya seperti yang sedang Aris perbuat saat ini.
“Bagaimana suka nggak rasa kopinya?” tanya Aris penuh perhatian. “Apa terlalu pahit buat Ana?”
“Enak kok,” jawab Ana sambil tersenyum.
“Eh, apa kita nggak kelamaan ini, ngopi dulu. Ini sudah hampir gelap lho. Belum masaknya nanti.” Ana merasa cemas.
“Kan nanti masaknya rame-rame pasti cepat selesai. Sudah santai dulu saja kita ngopi di sini.”
Ana mengangguk sambil menghirup cappucino-nya. “Ehmm, aku ada sedikit pengakuan ini…. Walau sedikit memalukan, tapi kukira jujur lebih baik..”
Aris menghentikan kunyahan pada donatnya lalu menatap Ana dengan intens. “Wah, kayaknya serius ini. Apa itu?”
Ana memantapkan hatinya. Ia harus jujur.
“Terus terang aku ini sama sekali buta soal masak memasak. Sejak kecil sampai sebesar ini, keluarga kami selalu beli lauk pauk dan sayur. Hanya menanak nasi memakai Magic Com yang aku bisa.
Mata Aris mem-bola takjub. “Serius? Tapi ibumu pasti memasak kan sesekali? Bikin sarapan setidaknya..”
Ana menatap wajah bersih Aris sambil menghela napas. Ana sudah sering menyulam wajah dan sosok Aris dalam angan-angannya. Tentu sudah mulai timbul harapan dalam benaknya bila kelak Aris akan menjadi teman seumur hidupnya.
“Sejak aku kecil, aku tak pernah melihat orang tuaku memasak. Hari-hari hanya nasi saja yang tersedia. Semua lauk pauk kami beli dari warung sekitar atau pedagang keliling.”
Aris terdiam sambil menatap Ana.
Suasana hening itu membuat dada Ana terasa sesak. Ada kekuatiran dalam dirinya, takut akan ditolak karena ketidak wajar dirinya sebagai perempuan di bumi nusantara ini. Ia tahu, dia itu berbeda.
Ana memberanikan bertanya, “Aku aneh ya, Mas?”
Alis mata Aris terangkat. “Aneh? Apanya yang aneh?”
Ana mengucapkan dengan nada lambat dan pelan. “Apa Mas Aris tak menganggap aku perempuan aneh? Sama sekali tak bisa masak. Padahal sudah sebesar ini. Mas Aris yang cowok aja pinter masak.”
Aris tertawa kecil mendengar perkataan Ana.
“Oh, sejak kecil aku suka ngeliat ibuku masak. Ibuku kan sering masak buat hajatan di kampung. Aku suka bantu-bantu. Biar bisa comot sana sini juga sih…”
“Itulah…,” Ana menarik ujung bibirnya ke bawah. “Ibuku tak pernah memasak. Jadi aku pun tak pernah ada keinginan untuk belajar memasak.”
Aris menepuk-nepuk ringan kepala Ana.
“Memasak itu gampang. Nanti ku ajari ya.”
Aris mengedipkan matanya
Nyes!!!
Hati Ana seperti diguyur air es. Ohhh, lega dan sejuknya kata-kata Aris.
Harapan yang tadi hampir sirna kembali tumbuh lagi di hati Ana.
Aris bangkit berdiri. “Udahan kan ngopinya? Yuk, segera belanja. Seperti kata Ana tadi, agar tidak kelamaan yang lain menunggu.”
Ana mengangguk.
Baru saja Ana berdiri, hp di tas tangannya berbunyi. Ana berhenti untuk mengeluarkan hpnya.
“Dari mamaku,” kata Ana sambil menunjukkan layar hpnya kepada Aris.
“Jawab dulu,” kata Aris. Ia pun duduk lagi di tempat duduknya.
Ana juga duduk kembali untuk menjawab telepon. “Halo Ma. Apa kabarnya?”
Ana mendengarkan dengan cukup lama. Terdengar suara seorang wanita yang berbicara dengan tempo cepat walau tidak jelas kata-katanya karena fungsi speaker dalam hp tidak diaktifkan.
Ana menarik napas panjang sebelum menjawab, “Seharusnya mama jangan terlalu mendengarkan kata-kata Bu Sastro, Tante Ellis dan ibu-ibu arisan. Menurut Ana, rumah kita masih cukup baik kok. Belum perlu untuk….”
Kata-kata Ana terputus sebelum sempat menyelesaikan dan ia terpaksa mendengarkan lawan bicara di teleponnya dalam waktu yang juga cukup lama. Berkali-kali Ana berusaha menyela untuk berbicara tapi tampaknya lawan bicaranya tak memberi kesempatan.
“Baik, baik, Ma.” Ana sampai mengangkat tangan kanannya seolah-olah lawan bicaranya ada di hadapannya. “Ana sudah mengerti kemauan Mama. Besok Ana kirim uangnya ya Ma. Cuma tidak bisa langsung seperti yang dibutuhkan. Tapi bulan depan setelah gajian akan Ana kirim lagi.”
Terdengar lagi suara wanita yang tak jelas dari hp Ana. Pastilah cukup keras cara bicara mama Ana, karena bisa terdengar walau tak jelas kata-katanya.
“Ma, gaji Ana tak sebesar itu,” keluh Ana sambil menahan kekesalan hatinya. “Mama jangan asal percaya sama omongan orang. Baik, baik, nanti Ana kirim uangnya untuk biaya perbaikan. Tapi semampunya Ana lho. Mama pun jangan serba nurut sama kata orang…”
Kata-kata Ana terpotong lagi. Terdengar suara yang panjang lebar dari hp. Dan wajah Ana tampak semakin keruh dan tertekan.
“Eh, Ma,” kali ini Ana yang memotong pembicaraan. “Ana sudah ditunggu ini sama teman. Ada janjian kerjain sesuatu. Ini udah di depan nungguin temen Ana. Udah dulu ya Ma.”
Ana mendengarkan sebentar dan kemudian berucap, “Bye!”
Lalu telepon ditutup.
Ana menghela napas.
Bicara dengan ibunya hampir selalu membuat perasaannya seperti diaduk-aduk seperti adonan pasir dan semen.
Orang bilang surga ada di telapak kaki ibu.
Lalu… bagaimana dengan dirinya?
Dirinya tak pernah merasakan sentuhan surga jika berada di dekat ibunya.
“Udah teleponnya?” Suara lembut Aris menyentakkan kesadaran Ana yang agak berkabut, setelah pembicaraan dengan ibunya.
“Eh,..iya iya sudah,” gagap Ana.
Tiba-tiba tangan Aris sudah menggenggam tangan Ana, sehingga membuat Ana tersentak lagi.
“Maaf kalau aku ikut mendengarkan pembicaraanmu. Kayaknya bukan pembicaraan yang menyenangkan ya?”
Ana menatap Aris dengan wajah agak sedih. “Ya begitulah. Hubunganku dengan mamaku memang.. ehmm.. agak agak kurang baik.”
Aris meremas jari-jari Ana dengan lembut. “Ibu minta uang?”
Ana mengangguk.
Ana terdiam sejenak seakan menimbang-nimbang sesuatu sebelum berbicara, “Padahal setiap bulan aku sudah selalu mengirimkan sejumlah uang untuk ibuku. Tapi ada saja masalah muncul yang membuatku harus mengirim uang lagi.
Yang barusan ini mamaku telepon karena mau mengubah warna cat rumah. Gara-gara omongan ibu-ibu temen dia yang cerita kalau rumahnya ada yang habis dicat dan hasilnya bagus sekali. Padahal cat rumah kami masih cukup baik menurutku.”
Ana berhenti sebentar mengamati raut wajah Aris. Tak ada reaksi seperti penghakiman di wajahnya. Padahal biasanya respon teman-temannya adalah nasehat bersyukur karena diberi kesempatan Tuhan untuk membalas budi terhadap orang tua.
“Aku anak yang jahat dan pelit terhadap orang tua ya, Mas?” tanya Ana hati-hati.
Sekarang kedua tangan Aris memegangi dan memijit ringan kedua lengan Ana. “Tentu saja tidak. Kan setiap bulan Ana sudah mengirim uang juga. Aku sangat paham gimana rasanya dimintai uang lagi di luar budget bulanan. Aku paham. Aku paham.”
Ooooo… Sungguh sejuk hati Ana mendengar ucapan hangat dari Aris. Baru kali ini dalam hidupnya, ada seseorang yang dapat merangkul saat diri ini sedang tidak baik-baik saja.
“Sudah jangan terlalu memikirkan itu ya,” bujuk Aris sambil tersenyum. “Yuk kita ke pasar kaget di tepi jalan itu. Semoga ada udang, ayam atau apalah agar cap cay kita lebih enak.”
Ana mengangguk. Mereka menuju ke motor untuk segera melanjutkan belanja.