1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kanjeng Gusti Ayu Kusumawati
Di longkangan (area terbuka yang memisahkan paviliun dengan rumah utama) para abdi dalem berlarian kocar-kacir.
Ada yang tiba-tiba sibuk merapikan tanaman di pot. Ada yang menyapu halaman yang sudah bersih. Ada yang membawa bakul kosong seolah sedang mengangkut sesuatu.
Semua berlagak bekerja. Semua ketakutan.
Pariyem tidak perlu bertanya. Dia tahu betul. Kalau para abdi ketakutan seperti ini, sudah tentu Sang Raden Ayu datang dalam suasana hati tidak baik.
Dia melangkah keluar, menutup pintu kamar dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan bunyi. Soedarsono tidak boleh terbangun dengan terkejut. Biarkan dia tidur sebentar lagi.
Pariyem ingin langsung ke depan melewati Dalem (bagian utama rumah), tapi kemudian mengurungkan niat.
Dia bisa dihardik jika melewati bagian itu tanpa izin. Selir tidak boleh sembarangan masuk ke area yang dulunya untuk istri sah.
Dia mengambil jalur lain, melewati longkangan, menyusuri taman samping, keluar lewat seketheng, pintu kecil pada pagar bata yang memisahkan longkangan dengan halaman depan.
Begitu keluar dari seketheng, pemandangan yang dilihat Pariyem membuatnya menahan napas.
Di pendopo, seorang perempuan berdiri dengan postur angkuh. Tegap, dagu terangkat tinggi.
Umurnya sekitar lima puluhan, tapi wajahnya masih terlihat cantik; cantik yang keras, dingin, menakutkan.
Kanjeng Raden Ayu Kusumawati mengenakan kebaya beludru hitam dengan sulaman benang emas yang rumit di bagian dada, ujung lengan, dan tepian bawah.
Kain batik parang rusak melilit pinggang dengan sempurna (motif yang hanya boleh dipakai oleh keluarga ningrat atas).
Sanggulnya tinggi, rapi sempurna, ditusuk konde emas berkilau dengan hiasan bunga melati emas. Gelang, kalung, giwang—semuanya emas murni, berat, berkilauan.
Wajahnya sedang murka, menatap nyalang pada para abdi dalem yang ketakutan. Di depannya, empat orang abdi dalem berjongkok dengan posisi sangat rendah, hampir merangkak.
Tangan mereka mengatup membentuk sembah di depan dada, kepala tertunduk dalam sampai hampir menyentuh lantai pendopo.
"Senang kalian aku lama tidak ke sini!" bentak perempuan itu dengan suara keras, tajam seperti cambuk. "Kalian semua tidak berguna! Untuk apa kalian dipelihara kalau tugas sederhana seperti ini tidak bisa dilakukan? Kalian biarkan lumut tumbuh subur di sepanjang pagar bata, memalukan …!"
"Ampun, Gusti Ayu."
Para abdi itu hanya bisa memohon dengan suara gemetar.
"Mudah sekali kalian memohon ampun? Sedangkan aku ini sudah kalian permalukan! Semua orang yang melintas menganggap aku tidak becus mengurus peninggalan leluhur Prawirataman!"
Pariyem menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Lalu dengan langkah yang dibuat setenang mungkin, dia berjalan mendekat dengan tubuh membungkuk rendah.
Setelah jarak beberapa meter, dia mulai berjalan sambil berjongkok dan berhenti ketika jarak sudah mencapai dua meter. Kedua tangannya mengatup membentuk sembah di depan wajah.
"Sugeng rawuh, Ndoro Gusti Ayu," sapanya dengan suara lembut, tertunduk dalam.
Perempuan dalam balutan kebaya beludru hitam itu langsung menoleh ke bawah dengan tajam. Mata lebarnya menyipit lebih tajam, tatapan penuh kebencian.
"Kau!" bentaknya. "Kau masih di sini! Pantas saja Soedarsono betah di sini …!"
Dia melangkah mendekat dengan langkah angkuh. "Darsono ... Darsono, kau ini memang ... masih saja dipelihara ayam kampung ini!"
Pariyem yang masih dalam posisi berjongkok, kepala tertunduk dalam, hanya bisa tersenyum getir. Senyum yang tidak dilihat siapapun karena wajahnya menghadap ke bawah.
Ayam kampung. Dia sudah biasa dipanggil dengan sebutan itu. Sudah terbiasa disamakan dengan apapun yang dianggap rendah. Anjing jalanan. Tikus got. Sampah. Kotoran.
Dia tidak memasukkannya dalam hati lagi. Hatinya sudah terlalu keras untuk dilukai oleh kata-kata.
Raden Ayu masih menggerutu dengan suara keras, seolah ingin semua orang mendengar.
"Aku sudah bilang berkali-kali pada Darsono. Ceraikan perempuan ini! Apa gunanya memelihara selir yang tidak berguna?! Sudah melahirkan cucu laki-laki, tugasnya sudah selesai!"
Pariyem tetap diam. Tidak berani membantah. Tidak berani mengangkat wajah. Hanya berjongkok dengan tangan tetap membentuk sembah, menunggu amarah mereda.
"Tapi Darsono itu memang keras kepala! Tidak mau mendengarkan ibunya! Masih saja datang ke sini! Masih saja tidur dengan perempuan rendahan ini!"
Raden Ayu menghentakkan kaki dengan keras ke lantai pendopo, sandal selop beludru hitamnya menimbulkan bunyi yang membuat para abdi tersentak.
“Seharusnya … pernikahannya dulu dengan Sumi menjadi pembelajaran. Kata-kata ibunya selalu benar. Kalau disuruh cerai, ya langsung cerai. Si Sumi itu tidak dicerai-cerai, lihat akhirnya seperti apa? Malah mencoreng mukanya sendiri. Hamil dengan pemuda Belanda. Benar-benar memalukan! Lebih-lebih dari sundal kelakuannya!”
Setelah beberapa saat menggerutu, perempuan itu akhirnya bertanya dengan nada yang masih keras, "Di mana Darsono?!"
Pariyem menjawab dengan suara pelan, kepala masih tertunduk dalam. "Ndoro Gusti Bupati masih beristirahat di kamar, Gusti Ayu."
"Apa?!" Sang Raden Ayu mengamuk lebih keras. "Masih tidur?! Sudah lewat tengah hari begini masih tidur?! Pantas saja sejak tadi tidak kembali ke kadipaten! Padahal ada hal penting yang harus diurus! Dia pikir jabatan bupati itu main-main?!"
Dia menoleh pada Pariyem yang masih berjongkok. "Kau! Panggil Darsono sekarang! Bangunkan! Suruh bersiap! Dia harus kembali ke kadipaten sekarang juga!"
"Inggih, Gusti Ayu!" Pariyem menaikkan tangannya yang membentuk sembah ke wajah sebelum mundur masih dengan berjongkok.
Sementara Sang Raden Ayu, dia berjalan dengan langkah angkuh menuju Dalem, berjalan dengan dagu terangkat, seperti ratu yang melewati wilayahnya.
Para abdi yang tadi berjongkok perlahan bangkit begitu perempuan itu memasuki pintu dalem dan menghilang dari pandangan. Mereka langsung berbisik-bisik dengan nada kesal.
Sementara Pariyem, Dia terkekeh sambil berjalan santai ke arah gandhok kulon.
‘Duh, duh …,’ gumamnya ‘Ayam kampung. Masih bagus nasib ayam kampung. Ayam kampung tidak dipisahkan dari anak-anaknya. Anak-anak ayam bisa berlindung di bawah sayap ibunya, mengikuti kemana ibunya pergi, mematuk-matuk tanah bersama, tapi bahagia. Lah aku?’
Langkahnya semakin melambat begitu memasuki gandhoknya. Di kamar, Soedarsono masih lelap.
Pariyem mendekat, duduk di tepi dipan. Tangannya dengan lembut menyentuh bahu suaminya, menggoyang pelan.
"Ndoro …," bisiknya lembut. "Ndoro ... bangun …."
Soedarsono tidak bergerak.
Pariyem menggoyang sedikit lebih keras. "Ndoro, Gusti Ayu datang. Ndoro harus bangun."
Mata Soedarsono perlahan terbuka—berat, masih sangat mengantuk. Dia menatap Pariyem dengan tatapan bingung.
"Yem ...?" Suaranya parau.
"Gusti Ayu ada di sini, Ndoro. Beliau mencari Ndoro. Marah-marah. Beliau menunggu Ndoro di dalem, sekarang.”
Soedarsono langsung terbangun sepenuhnya. Matanya membelalak. "Ibu? Di sini?"
Dia bangkit dengan tergesa, hampir terjatuh dari dipan. Pariyem membantunya berdiri.