Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Mobil melaju kencang di jalan tol, suara deru mesin bercampur dengan angin yang menabrak kaca. Lampu-lampu jalan berlarian mundur di balik kaca depan, menambah kesan terburu-buru dari cara Lira mengemudi.
Yash duduk dengan tenang di kursi penumpang, satu tangan menopang dagu, matanya tak lepas dari wajah Lira yang tampak dingin namun sebenarnya menyembunyikan kegelisahan. Ia sudah cukup lama menahan diri, sampai akhirnya suaranya terdengar ringan, memecah keheningan:
“Mau ke mana kita?” tanyanya sambil sedikit memiringkan kepala.
“Ke pantai,” jawab Lira singkat tanpa menoleh. Jemarinya menggenggam setir semakin kuat.
Yash menoleh keluar jendela, lalu kembali memandang Lira. “Kalau pakai mobil pasti bakal lama…” ia berhenti sejenak, senyumnya menyeringai. “Kita terbang aja yuk.”
“Diem.”
Lira menekan pedal gas lebih dalam, mobil semakin melaju cepat, seolah ingin membungkam candaan Yash dengan suara mesin.
Yash terkekeh, tubuhnya sedikit condong ke depan, seakan menikmati reaksi Lira. “Kenapa harus susah-susah pakai mobil kalau aku bisa bawa kita sampai sana dalam hitungan menit? Kau takut jatuh lagi?” godanya, matanya berkilat penuh tantangan.
Lira menoleh sekilas dengan tatapan menusuk, lalu kembali fokus ke jalan. “Kau pikir semua orang menikmati diterbangkan makhluk aneh di langit malam?!”
“Aneh?” Yash pura-pura tersinggung, tangannya menyentuh dadanya dramatis. “Aku ini penyelamatmu, Lira.”
“Penyelamat yang menyebalkan,” gumam Lira, namun ada sedikit nada gemetar di ujung suaranya, entah karena marah, lelah, atau… sesuatu yang lain.
Yash hanya tersenyum, membiarkan keheningan kembali turun di antara mereka. Tapi sorot matanya tak pernah benar-benar pergi dari wajah Lira, seperti sedang menunggu momen berikutnya untuk kembali mengusik.
Setelah perjalanan panjang, mobil akhirnya berhenti di tepi pantai. Angin laut langsung menyapa, membawa aroma asin yang menusuk hidung. Langit sudah pekat, hanya cahaya bulan dan bintang yang menemani debur ombak kecil yang datang silih berganti.
Lira turun lebih dulu, langkahnya berat namun tergesa. Sepatunya menekan pasir basah, meninggalkan jejak yang segera terhapus ombak. Tubuhnya bergerak semakin dekat ke air, seperti ada sesuatu yang menariknya ke sana.
Air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan. Setiap kenangan—ketakutan, teriakan, momen di mana dirinya berkali-kali hampir mati—datang bertubi-tubi. Bahunya bergetar hebat. Dan saat akhirnya ia sampai di tepi air, suara isakannya pecah, berubah menjadi raungan lirih yang tercampur dengan suara ombak.
Tangannya meraih wajah, menutupinya, seolah ingin menyembunyikan rapuh yang sudah terlalu lama ia tekan.
Yash berdiri beberapa langkah di belakangnya. Matanya redup, ragu-ragu untuk mendekat. Telapak tangannya sempat terangkat, ingin menyentuh bahu Lira, tapi terhenti di udara. Ia menelan ludah, kakinya maju satu langkah, lalu berhenti lagi.
“Lira…” suaranya rendah, nyaris tertelan angin laut. Ada ketidakpastian yang jarang sekali keluar dari mulutnya.
Lira tak menjawab. Tubuhnya masih bergetar, bahunya naik-turun seiring tangis.
Yash akhirnya mengambil keberanian. Ia melangkah pelan, lalu berhenti tepat di belakangnya. Untuk sesaat ia hanya berdiri di sana, merasakan betapa rapuhnya sosok yang biasanya keras kepala itu. Lalu, perlahan, ia ulurkan tangannya dan menyentuh bahu Lira dengan sangat hati-hati—seolah takut sentuhan itu justru membuatnya semakin hancur.
"Lira, aku tahu ini berat untukmu. Tapi aku disini aku akan melindungimu aku tak akan membiarkan siapapun melukaimu aku janji"
Lira benci merasakan ini namun dia tak bisa menyangkal bahwa memang cuma yash yang bisa melindunginya. "Aku tak tahu apa yang mereka incar dariku hingga aku harus mengalami ini semua."
Yash semakin mengeratkan pelukannya, seolah ingin menyalurkan kekuatan dan ketenangan melalui dadanya yang kokoh. Tubuh Lira yang semula tegang perlahan melemas, menyerah pada hangatnya perlindungan yang ia benci sekaligus butuhkan.
“Entah apa yang mereka incar darimu,” bisik Yash di telinga Lira, suaranya dalam dan tenang, “tapi yang jelas… aku tak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Bahkan jika harus melawan semuanya sekalipun.”
Lira menutup mata, air matanya kembali jatuh, membasahi kaus tipis Yash. “Kenapa harus aku?” suaranya pecah, getir, “Aku hanya ingin hidup normal, bekerja, punya kehidupan biasa… bukan diburu makhluk-makhluk mengerikan itu.”
Yash menunduk, dagunya menyentuh rambut Lira. “Karena kau bukan sembarang manusia, Lira. Ada sesuatu dalam dirimu yang bahkan mereka tak bisa abaikan. Dan aku…” Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan lirih, “aku tak akan pernah membiarkanmu sendirian lagi.”
Untuk pertama kalinya, Lira tidak berusaha mendorongnya menjauh. Ada jeda hening, hanya suara alam yang mengisi, tapi keheningan itu terasa seperti sebuah kesepakatan diam—bahwa sejak malam ini, Yash akan tetap di sisinya.