"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Langit Seoul masih dipenuhi debu dan serpihan sisa pertempuran.
Namun di balik awan kelabu itu, warna jingga tipis mulai merembes, menandakan fajar telah tiba.
Ha Yoon dan Ji Won berdiri mematung, menatap ke atas sambil menopang tubuh Moon Seok-hyun yang tak sadarkan diri. Nafas mereka berat, napas yang tadi penuh ketegangan kini terselip secercah harapan.
Para prajurit di garis pertahanan, Ryu, dan para jenderal lain juga mendongak. Semua mata menunggu, semua hati berdegup kencang. Satu pertanyaan sama-sama bergema di kepala mereka: "Apakah ini benar-benar sudah berakhir?"
Sinar matahari perlahan menembus awan. Langit mulai bersih, memperlihatkan semburat biru.
Selama beberapa menit, tak ada tanda-tanda pergerakan Nebula. Tidak ada kilatan cahaya ungu, tidak ada aura mematikan, tidak ada guncangan bumi.
Dan ketika matahari akhirnya bersinar penuh… keheningan itu pecah menjadi sorakan.
"KITA MENANG!!"
Suara prajurit pertama memecah sunyi, lalu diikuti teriakan ribuan orang. Ada yang menangis, ada yang memeluk teman seperjuangan, ada pula yang langsung bersujud syukur.
Di pusat kota, warga yang menonton siaran langsung pun menangis lega. Anak-anak memeluk orang tua mereka, pasangan saling mendekap, orang asing saling menggenggam tangan hanya karena sama-sama selamat dari akhir dunia.
Ryu, yang jarang sekali menunjukkan emosinya di depan pasukan, menunduk sambil menutup wajahnya. Bahunya bergetar.
"Kukira… ini malam terakhir aku bisa melihat keluargaku," ucapnya dengan suara parau. "Sepertinya takdir masih menyayangiku."
Seorang prajurit di sampingnya tersenyum tipis, meski matanya masih basah. “Kita semua masih di sini, Komandan. Kita semua.”
Di sisi lain, di balik reruntuhan sebuah bangunan rendah, Asterion tergeletak sambil menatap langit.
Tubuh mungilnya terasa berat seperti memikul gunung.
"Ahh… sialan… membuat transmisi suara langsung ke pikirannya benar-benar menguras energi," gerutunya dalam hati.
Meski kekuatannya sudah mulai kembali, itu baru 0,1% dari puncaknya—sekadar setitik debu dari gunung kekuatannya yang dulu.
"Buat apa kekuatan segini?" pikirnya sambil menghembuskan napas panjang. "Nebula itu terlalu kuat. Hanya mengirim suara yang membuatnya kaget saja sudah seperti membakar semua tenagaku."
Ia memejamkan mata sebentar. Bayangan masa lalunya sebagai naga semesta menari di benak. Suara menggelegarnya, tatapan yang membuat galaksi bergetar—itu semua dulu… sekarang ia hanya anak berusia tiga tahun yang terengah-engah.
"Semoga masih ada yogurt di kulkas rumah…" gumamnya lirih, mencoba menghibur diri.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menghampiri.
“Eh? Apa yang dilakukan anak kecil seperti kamu di sini?”
Asterion membuka mata. Lima orang berdiri tak jauh darinya, mengenakan seragam akademi Stellaris. Di dada kiri mereka, lambang pangkat S berkilat terkena sinar pagi.
Seorang wanita berambut pendek dengan potongan tomboy melangkah maju. Sorot matanya tajam tapi senyumnya ramah.
“Apakah kau tersesat saat evakuasi berlangsung, adik kecil? Kau dekat sekali dengan medan pertempuran. Untungnya tidak terluka parah…”
Ia lalu memiringkan kepala, memperhatikan wajah Asterion. “By the way… luka retak di wajahmu keren juga.”
Asterion langsung panik. "Sial… kalau aku dibawa ke tempat evakuasi, terus ibu bangun dan tahu aku kabur, habis aku!" pikirnya.
Lebih buruk lagi, kalau orang tuanya tahu dia mendekati medan pertempuran, dia akan diperlakukan seperti bayi sampai umur 10 tahun.
"Baiklah sini kakak antar ke pusat evakuasi untuk menemukan orangtua mu."
Saat wanita itu hendak memegang tangannya, Asterion langsung berdiri terburu-buru.
“MONSTER ITU KEMBALI!” teriaknya tiba-tiba.
Refleks, kelima murid pangkat S itu berbalik, melepaskan aura mereka. Angin di sekitar berputar, medan energi terbentuk… tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya reruntuhan dan sisa debu.
Mereka menoleh kembali… dan Asterion sudah lari sangat jauh.
Wanita berambut pendek itu mengedipkan mata, lalu tertawa kecil. “Bagaimana… anak di bawah lima tahun bisa lari sekencang itu dengan kaki mungilnya?”
Seorang temannya—pria jangkung bermata sipit—mengangkat bahu. “Mungkin dia sangat syok setelah melihat pertempuran itu. Atau… dia nggak mau ikut kita karena kau kelihatan menakutkan, Kang So-hee.”
“Hah?!” So-hee menatapnya kesal. “Aku ini sangat suka anak kecil, tahu! Mana mungkin aku menakuti anak seimut itu. Apalagi luka di wajahnya itu… menandakan dia pejuang.”
Teman-temannya saling pandang, tapi memilih diam. Mereka sudah tahu kalau melawan argumen So-hee hanya akan berakhir panjang.
So-hee lalu menarik napas, bersiap berlari. “Baiklah… Kakak akan mengejarnya. Tunggu di sini.”
Ia lalu melesat, kakinya menghantam tanah ringan tapi cepat, meninggalkan jejak debu.
“Adik kecil! Tunggu kakak! Kakak bukan orang jahat!” teriaknya sambil mendekat.
Asterion, yang masih setengah kehabisan energi, mengerahkan sisa tenaganya. "Enyahlah! Aku bisa pulang sendiri!" makinya dalam hati.
Dia berlari zig-zag melewati puing, melompati dinding setengah runtuh, bahkan memanjat pipa untuk memotong jalan. So-hee terus mengejar, sesekali tertawa.
“Ayo dong, jangan malu-malu! Nanti kakak traktir permen di tempat evakuasi!”
Suasana yang tadinya penuh ketegangan kini justru seperti permainan kejar-kejaran anak-anak di tengah puing pasca-kiamat.
Di belakang mereka, matahari sudah naik penuh, sinarnya memantul di debu, membuat dunia yang hancur itu seolah dibungkus emas lembut.
Para prajurit yang melihat dari jauh hanya bisa geleng-geleng. Seorang bahkan berbisik, “Setelah malam penuh neraka… rasanya aneh melihat anak kecil dan murid pangkat S berlari-larian begitu.”
"Tunggu...ANAK KECIL?"
Langkah kaki So-hee akhirnya mendekat. Meski Asterion sudah berlari zig-zag, memanjat, dan menyelinap di sela-sela puing, nafasnya mulai tersendat. Dia sudah menguras sisa energi sejak menipu murid-murid itu tadi.
“Hhh… kalau bukan karena aku menyembunyikan kekuatan…” gerutunya dalam hati, “…kau tidak akan menangkapku semudah ini, wanita.”
Satu lompatan terakhir, dan—hap!
So-hee dengan santai meraih punggung bajunya, mengangkatnya seperti anak kucing.
“Ihh! Kamu imut banget deh!” seru So-hee sambil memeluk erat tubuh mungil Asterion. “Larinya lincah lagi!”
Ia lalu menggoyang-goyangkan Asterion seperti boneka. Wajahnya sumringah, matanya berbinar-binar seperti menemukan mainan langka.
Asterion, yang wajahnya kini tertekan di dada baju tempur So-hee, meringis.
“Hen… hentikan…” ucapnya lemah, merasa mual. "Kalau begini terus, aku muntah, percaya deh."
Dari kejauhan, empat temannya mendekat.
Yang pertama, pria jangkung bermata sipit tadi, bernama Lee Han-gil, menepuk dahinya. “So-hee, kau akan membuat anak itu trauma kalau begitu terus.”
Yang kedua, gadis berambut panjang yang diikat tinggi, Park Min-ah, menyipitkan mata. “Dia kelihatan pucat, So-hee. Jangan sampai dia pingsan.”
Yang ketiga, pria berperawakan kekar dan berkepala plontos, Choi Gun-woo, tertawa terbahak. “Tapi lucu juga sih lihat ekspresi bocahnya.”
Yang keempat, lelaki berwajah santai dengan kacamata tipis, Jung Do-yun, hanya mengangkat alis. “Kalau dia muntah di bajumu, itu urusanmu.”
So-hee mendengus, “Kalian ini… nggak ngerti seni mengapresiasi kelucuan.” Tapi ia akhirnya mengurangi goyangan, meski tetap memeluk erat Asterion.
“Oh ya, siapa nama kamu, adik kecil?” tanya So-hee dengan senyum lebar. “Perkenalkan, aku Kang So-hee. Dan ini—”
Ia menunjuk ke arah keempat temannya.
“Itu Lee Han-gil, si tinggi sok serius. Yang cantik itu Park Min-ah, yang kelihatannya galak padahal nggak. Si plontos ketawa mulu itu Choi Gun-woo. Dan yang kelihatan paling malas itu Jung Do-yun.”
Asterion memandang mereka dengan wajah pasrah. “…Aku… Asterion.”
So-hee sontak menahan napas. “ASTERI—ASTA—ASTEEEH… Ah, nama kamu unik banget!” katanya sambil kembali mengguncang tubuh Asterion pelan. “Gemesnya nambah dua kali lipat!”
Asterion hanya menatap kosong ke depan, merasa harga dirinya sebagai naga semesta sedang dicabik-cabik oleh wanita ini.
Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari belakang.
“Asterion!”
Tubuh mungil Asterion langsung lemas.
“Ah… suara itu… tak salah lagi…” pikirnya. “…mati aku. Sepertinya aku akan puasa yogurt satu tahun penuh.”
Kelima murid itu langsung tegak dan memberi hormat. “Komandan Ryu!”
Ryu berjalan cepat, wajahnya penuh aura otoritas sekaligus kemarahan yang tertahan. “Kenapa anakku ada di sini?!” suaranya tajam menusuk.
Ryu menatap So-hee sebentar. “Aku langsung bergegas begitu menerima laporan bahwa kau sedang mengejar anak kecil. Ternyata anak itu… Asterion.”
Lalu matanya beralih ke putranya. “Dan kau, Asterion… bukankah kau ada di rumah? Kenapa bisa sampai ke sini, hah?!”
Asterion membuka mulut, tapi tak ada kata keluar. Kepalanya menunduk. "Kalau aku jawab jujur, aku bakal diceramahi seminggu. Kalau bohong, mungkin sebulan…"
Ryu menghela napas panjang, menahan amarah. “Kau berhutang penjelasan pada ayah dan ibu.”
Melihat aura tegang itu, So-hee langsung menurunkan Asterion pelan-pelan ke tanah. Ia menepuk pundak bocah itu sambil berbisik, “Hehe… semangat ya, adik Aster.”
Asterion menatapnya datar. "Sialan kau… meninggalkanku sendirian di medan interogasi ini."