Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Kesatria (tak) Berpedang
Armand bisa melihat semuanya dengan jelas.
Dari balik kemudi, dari tempat ia memarkirkan mobilnya tak jauh dari pagar rumah ibunya, Armand bisa melihat bagaimana orang-orang itu seakan mengerubungi hingga membuat ibunya dan juga Lala tak menyadari jika Nissa telah ditarik pergi.
Belum pernah seumur hidupnya Armand merasa semarah ini. melihat gadis mungilnya ditarik dengan paksa, pipi yang basah karena air mata yang tak berhenti mengalir membuat Armand tak tahan lagi terus melihat pemandangan menyakitkan itu.
Tanpa mempedulikan Fandy masih melongo melihat para 'pendemo' itu, Armand segera keluar dari mobil.
Armand melangkah lebar. Dan begitu berada di belakang pria bertubuh gempal itu, tidak membuang waktu lagi, Armand menarik bahu pria yang tingginya tak melewati telinganya itu dan kemudian menghempaskannya ke tanah.
Setelah melihat sejenak wajah si mungil yang bersimbah air mata meski tak terdengar adanya isak tangis, pada kenyataannya hal tersebut malah membuat Armand meringis pedih. Ditambah kelopak mata yang memerah, membuat harus mengepalkan kedua tangannya demi menahan diri.
Untuk mengendalikan amarahnya yang sudah serasa sampai di ubun-ubun, dengan cepat Armand memposisikan dirinya di depan si mungil. Bersikap bak pelindung, yang siap melindungi, tak peduli apapun yang terjadi.
"Sialan kau, Man."
Raungan marah dari pria yang masih terduduk itu Armand abaikan. Bahkan ditatapnya pria itu dengan tatapan menghina secara terang-terangan.
"Menyingkir dari hadapanku. Kau tidak punya hak untuk ikut campur dalam masalah keluarga kami. Aku pamannya, jadi aku berhak membawanya pergi sini."
Armand mendengus. Senyum meremehkan tersungging di bibir saat sepasang matanya yang menyorot tajam, memandang dari atas ke bawah ke arah pria yang kini harus mendongak untuk membalas tatapannya itu. "Hak apa yang kau bicarakan, Her? Memangnya kau pernah memberikan sebutir nasi saja untuk dia makan?"
"Diam."
Kembali raungan marah itu Armand abaikan. Bahkan sebelah alisnya naik saat melihat pria bertubuh gempal di hadapannya seolah akan meledak karena emosi.
"Sudah aku bilang jangan ikut campur urusan keluarga kami. Memangnya kau siapa, hah, sampai pasang badan untuk melindunginya seperti ini?"
"AKU CALON SUAMINYA!"
Tak ada sedikitpun keraguan saat Armand mengucapkan satu kalimat pendek itu. Armand juga tak mempedulikan suasana yang tiba-tiba sunyi. Bahkan suara-suara para 'pendemo' yang kurang kerjaan yang tiba-tiba lenyap itu juga tak membuatnya bergeming.
Berdiri di depan gadis mungil, yang Armand sudah merancang masa depan seperti apa yang akan mereka lalui, Armand siap melakukan apapun untuknya. Jangankan hanya sebuah penegasan akan hubungan mereka, Armand juga siap melenyapkan nyawa seseorang hari ini.
Heri melotot. Pria yang perutnya buncit entah karena kebanyakan makan uang halal atau uang hasil nyolong dari rakyat itu bahkan sampai menganga mulutnya akibat jawaban tak terduga yang didengarnya.
"Apa-apa'an kau, Man." Herman menyalak marah. Meninggalkan arena pertarungan dimana lawannya merupakan wanita paruh baya yang sulit untuk dikalahkan, Herman melangkah cepat menuju tempat dimana adiknya berada.
Tangan pria yang terlilit hutang karena gemar berjudi itu terulur, hendak menarik tangan gadis yang sudah membuatnya berada di situasi ini, namun keinginannya langsung terhalang oleh tepisan kuat, yang membuat lengannya terasa sakit.
Mata Herman membeliak marah. Napasnya terhembus bagaikan sapi yang mengamuk sambil menatap pria yang harus ia akui memiliki segala kelebihan darinya itu. Tidak hanya dari segi fisik tapi juga kekayaan.
Melihat kini Armand bahkan mengulurkan sebelah tangannya ke balik punggung untuk membuat gadis sialan itu semakin merapat di balik punggungnya, Herman menggeretakkan gigi melihatnya.
"Minggir, Man, aku tidak punya urusan denganmu. Tolong, jangan mengada-ngada mengaku sebagai calon suaminya. Dia keponakan kami. Sudah merupakan kewajiban bagi kami untuk mencarikannya jodoh. Dan kau, tidak termasuk dalam kriteria yang kami tentukan. Ingat umurmu. Sudah tua jangan malah mengincar gadis yang jauh lebih lebih mudah." sengaja kata-kata itu Herman itu ucapkan dengan niat menjatuhkan harga diri pria yang selalu membuatnya iri karena kesempurnaan fisik dan kekayaannya itu. Dengan begitu, Armand sudah pasti tidak akan menghalangi jalannya untuk membawa gadis yang sialan yang sudah membuatnya sangat susah hari ini.
Namun mental Armand tidaklah semudah itu untuk digoyahkan.
Sedari awal mulai menyadari rasa yang ada di dalam hatinya untuk gadis mungil yang saat terasa sedang memegang ujung jaket yang ia kenakan, Armand sudah mempertimbangkan semuanya. Mulai dari rentang usia yang ada, sampai dengan segala omongan miring yang pastinya akan ia dengar.
Armand sudah memupuk mental. Karena itu ia tersenyum miring sembari menatap bergantian kakak beradik itu. "Jadi, lelaki yang tepat menurut kalian untuk Nissa itu siapa? Apakah Bowo, si tukang kawin itu yang ingin kalian jodohkan dengan Nissa?" tanyanya santai. Tapi sebelah alisnya naik begitu melihat Fandy keluar dari mobil dan melangkah perlahan ke arahnya.
"Seenggaknya dia masih muda. Umurnya baru 35 tahun. Uangnya banyak. Hartanya juga tidak kalah darimu. Sudah pasti keponakan kami akan dibahagiakan ole... "
"Jangan bilang karena hutangmu yang sudah menggunung itu, kau ingin mengorbankan masa depan Nissa?" Armand tak menunggu Herman menyelesaikan perkataannya. "Kau dan adikmu yang penjilat di tempat kerjanya itu, kalian berdua sama-sama sampah masyarakat. Yang satu tukang judi, sedangkan yang satu lagi entah apa yang dilakukannya dari jabatannya yang nggak seberapa itu."
Kedua kakak beradik itu memerah mukanya. Kemarahan yang bercampur rasa malu akibat kebobrokan mereka dibongkar begitu membuat mereka bagaikan banteng ngamuk yang siap menyeruduk.
Saking emosinya atas penghinaan yang sebenarnya sangat telat dan sesuai kenyataan itu, Heri melangkah maju dengan kepalan tinju yang sudah melayang, siap memberikan pukulan di wajah pria yang sudah menghinanya.
Akan tetapi, belum lagi kepalan tinjunya terangkat tinggi, tangannya sudah lebih dulu ditahan dan dipelintir ke belakang dengan sangat keras hingga terdengar, "Arghhhh... "
"Jangan cuma beraninya main keroyokan, bung. Kalau berani, satu lawan satu."
Tak hanya Heri yang terkesiap, Herman juga tampak terkejut mendengar suara teriakan saudaranya. Keterkejutannya bahkan semakin bertambah saat melihat adiknya kembali didorong hingga terjerembab ke jalan dalam posisi tengkurep.
"Pergi dari, Her." Armand mendesis mengancam. "Jangan pernah datang ke sini lagi untuk mewujudkan apapun rencana di kepalamu yang kosong itu. Dan, kalau kau serta adikmu berani kembali membuat air mata Nissa jatuh setetes saja, aku pastikan, tidak hanya rentenir saja yang memburumu, tapi aku juga akan memastikan akan mematahkan kaki dan tanganmu, sampai kau hanya bisa menangis di atas tempat tidurmu."
Armand sangat serius dengan perkataannya. Bila sampai harus bersinggungan dengan hukum karena menggunakan kekerasan demi memastikan si mungil, maka Armand tak akan menghindar.
Seperti kata Rizal waktu itu, jika terpaksa, Armand akan menggunakan koneksinya jika memang diperlukan.
*****
"Wahhh... abang juragan keren." Lala berseru senang begitu para warga satu persatu bubar usai melihat tatapan abang angkatnya yang begitu tajam.
Setelah kedua pria pengacau itu pergi terbirit-birit setelah mendapat ancaman, Lala tersenyum lebar menyambut abang angkatnya. Tatapan setajam belati dari pria bertubuh tinggi dan gagah itu nyatanya sangat ampuh untuk mengusir para wanita tukang iri itu.
"Kamu nggak apa-apa 'kan, Nis?" perhatian Lala segera teralihkan ke arah gadis yang kepalanya menunduk dan tubuhnya masih tampak sedikit bergetar dan sedang berdiri di sisi kanan abang angkatnya.
"Nggak apa-apa, mbak." Nissa menjawab lirih. Begitu merasa tubuhnya dipeluk oleh sosok yang sudah menganggapnya seperti adik sendiri itu, tangis Nissa pecah. Rasa takut yang sedari tadi coba ditahannya kini meluah keluar setelah situasi tegang mereda.
Suara tangis Nissa yang menyayat itu membuat Armand, ibu Nur, dan juga Fandy terdiam. Ketiga sosok itu perlahan melangkah sedikit menjauh demi bisa memberikan waktu bagi Nissa untuk menangis.
"Gimana Lala bisa tau kalau kedua paman Nissa mau datang ke sini dan hendak menikahkannya dengan si Bowo, Bu?" Armand langsung bertanya. Rasa penasaran yang sudah ditahannya sejak dalam perjalanan itu ingin segera mendapat jawaban.
Ibu Nur menghela napas berat. Meski situasi sekarang sudah terkendali, rasa khawatir dalam hati tak bisa sepenuhnya ia hilangkan.
Saat memandang kedua pria yang berdiri di hadapannya, helaan napas ibu Nur terdengar berat saat menceritakan, "Dari salah seorang temannya Lala waktu SMA. Rumah dia 'kan berdekatan dengan rumahnya pak Lurah. Nah, entah kebetulan atau gimana, sewaktu dia pulang dari sawah, dia lewat tepat di samping rumahnya pak Lurah. Dari situ dia nggak sengaja dengar rencana jahat yang dibuat satu keluarga itu. Bahkan menurut temannya Lala itu, dia juga dengar kalau pak Lurah udah beberapa kali gunain dukun buat ngirim guna-guna ke kamu. Tapi syukurnya nggak ada satupun yang berhasil. Mental katanya."
"Brengsek." Armand marah. Kedua tangannya mengepal erat, sementara sorot matanya tajam, seolah siap menghunus orang-orang yang sudah berani mencoba menggunakan cara licik terhadapnya. Namun kemarahan yang menggelegak dalam hatinya masih bisa ia tahan karena mengingat ada 2 orang gadis yang berdiri sambil berpelukan tak jauh darinya.
"Sabar, Nak." ibu Nur langsung mengelus lengan putranya lembut. Meski kaget mendengar putra kebanggaannya itu mengumpat, yang mana biasanya Armand selalu bisa bersikap tenang, ibu Nur mencoba memakluminya
"Iya, Man, yang sabar jadi orang." Fandy ikut mencoba menenangkan seraya terus memaku pandangan ke satu objek, kepada seorang gadis yang sejak tadi sepertinya selalu tak menganggap keberadaannya.
Fandy mendengus tak kentara. Bibirnya mencebik karena si gadis judes tak sekali pun meliriknya.
"Mereka udah melewati batas, Bu." Armand menatap ibunya dengan sorot marah yang tertuju kepada satu keluarga yang sekarang ingin sekali dilabraknya. Kemudian tatapan Armand beralih ke arah Fandy, dan dengusannya terdengar begitu melihat sahabatnya itu malah menatap ke arah lain. Tanpa harus bersusah payah menebak, Armand tahu siapa yang sedang dipandang oleh pria mesum itu.
Beberapa langkah dari Armand yang kini sedang menepuk keras bahu sahabatnya, Nissa yang kini sudah berhasil menenangkan dirinya. Suara tangisnya tidak lagi terdengar. Walaupun begitu, Nissa masih betah berada di pelukan gadis yang bisa ia rasakan sangat menyayanginya itu.
"Juragan Armand tadi gagah ya, Mbak." lirih Nissa berucap sambil menikmati belaian di rambutnya. "Waktu dia ngelindungin aku tadi, auranya itu kayak kesatria-kesatria gitu. Cuma sayangnya kesatria yang ini nggak bawa pedang di tangannya yang bisa dipakai buat bunu* orang kayak di film-film."
Sontak Lala menaikkan sebelah alis. Perkataan Nissa yang dipenuhi oleh kekaguman dalam nada suaranya itu membuat Lala tiba-tiba saja ingin mengusili adik angkatnya.
"Bilang sama abang juragan, ah, kalau adek gemes ini diam-diam memujinya."
Nissa terkejut. Belum lagi ia sempat menahan, gadis yang selalu berpenampilan tomboy itu sudah lebih dulu melangkah untuk menghampiri ketiga orang di sana.
Saat kepala pria yang tadi ia bicarakan menoleh padanya, Nissa langsung dipenuhi dengan kegugupan. Rasa gugupnya itu semakin bertambah kala melihat pria itu perlahan melangkah ke arahnya seraya terus memaku pandangan tepat ke matanya.
Nissa mengerjap berulangkali. Di saat pria itu telah berdiri menjulang di hadapannya, otomatis Nissa mendongak demi bisa menatap balik pria yang harus menunduk saat menatapnya itu.
"Saya memang nggak punya pedang yang bisa langsung bunu* orang, Nis." suara Armand terdengar berat. Sorot matanya seperti menahan sesuatu saat dengan suara mendesis menambahkan, "Tapi aku punya 'pedang' yang selalu aku bawa kok. Walau 'pedangku' ini nggak bisa bunuh orang, tapi bisa ngebuat kamu 'berdarah' nanti."
Seketika suara batuk terdengar saling bersahutan usai Armand menyelesaikan perkataannya tersebut.
Bagi gadis sepolos Nissa, tentu gadis itu hanya bisa memandang pria di hadapannya dengan pandangan tak mengerti serta kening yang terlihat berkerut. Akan tetapi, bagi ketiga orang yang menjadi pendengar, mereka ada yang terbatuk dan ada yang terkekeh geli.