Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Rafael kembali ke vila dengan wajah lelah dan mata sayu. Langkahnya berat saat menapaki anak tangga menuju lantai atas, menuju kamar yang kini menjadi saksi bisu dari segala luka dan ikatan yang tak bisa diputuskan. Ia mendorong pintu kamar pelan, dan pandangannya langsung jatuh pada sosok Dewi yang duduk bersandar di kepala ranjang. Selang infus masih tertancap di punggung tangannya, dan tubuhnya tampak lemah namun tetap menjaga jarak dalam diam.
Tanpa sepatah kata, Rafael melepas jas hitamnya dan meletakkannya di atas sofa. Ia berjalan mendekat sambil melonggarkan dasi yang mencekik lehernya, seolah ingin membebaskan diri dari tekanan yang telah lama menumpuk di dadanya. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tepat di sisi Dewi, menghadapinya.
"Apa kau merasa lebih baik?" tanyanya dengan suara rendah.
Namun Dewi tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menolak menatapnya, seolah keberadaan Rafael hanyalah angin dingin yang tak ingin ia rasakan.
Rafael menghela napas panjang. Dengan lembut, ia menyentuh dagu Dewi dan memutar wajah itu agar kembali menghadapnya. Tatapan mereka bertemu. dingin, tegang, dan penuh luka yang belum sembuh.
"Perlahan saja… kau pasti akan mulai terbiasa," ucap Rafael pelan, nyaris seperti bisikan.
Ia mendekat, mengecup bibir Dewi dengan lembut namun penuh klaim, seakan ingin menegaskan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa. Setelah itu, ia menatap mata perempuan itu dan berkata tegas namun lirih, "Kau milikku, Dewi. Kau akan selamanya berada di sampingku. Aku tidak akan membiarkanmu pergi… walau selangkah pun."
Tangan Rafael mengusap kepala Dewi perlahan, gerakannya lembut namun sarat makna. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara, seperti janji tak terucap yang menghantui.
Dewi tetap diam. Matanya menatap kosong ke arah pintu kamar mandi yang baru saja tertutup di belakang Rafael. Tubuhnya masih gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena perasaan yang bercampur aduk. takut, muak, marah, dan entah apa lagi. Ucapan Rafael barusan berputar di kepalanya seperti mantra gelap.
“Kau milikku… Kau akan selamanya berada di sampingku…”
Bibirnya masih terasa hangat karena ciuman yang dipaksakan dengan sentuhan lembut namun memenjara. Ia mengepalkan tangan, membuat jarum infus sedikit bergeser dan menimbulkan nyeri. Tapi nyeri itu justru membuatnya merasa hidup. Ia ingin melawan. Tapi tubuhnya terlalu lemah, dan pikirannya terlalu lelah.
Beberapa menit kemudian, suara air mengalir dari kamar mandi. Dewi memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh perlahan tanpa suara. Dalam pikirannya, ia terus mencari celah. Ia tak bisa bertahan seperti ini. Vila itu adalah sangkar. Rafael adalah penjaganya. dingin, manipulatif, dan tak pernah benar-benar membiarkannya bernapas bebas.
Ketika pintu kamar mandi terbuka, Dewi buru-buru menyeka air matanya. Rafael muncul dengan handuk melilit pinggangnya, rambutnya masih basah, dan tatapannya langsung tertuju pada Dewi. Ia memperhatikan ekspresi wajah perempuan itu, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik sorot mata yang membeku.
“Besok kita akan pergi,” ucapnya singkat sambil mengenakan pakaian tidur. “Udara di sini terlalu berat untukmu.”
Dewi menoleh, kali ini menatapnya penuh curiga. “Ke mana?”
Rafael tersenyum tipis, tapi bukan senyum yang menenangkan. “Tempat yang lebih aman. Di sana, tak akan ada yang bisa mengganggumu… atau memisahkanmu dariku.”
“Aku bukan tawananmu, Rafael,” gumam Dewi, suaranya serak.
Rafael berjalan mendekat. Ia jongkok di depan Dewi, menatapnya tajam.
“Bukan tawanan, Dewi. Kau adalah milikku. Itu berbeda.”
“Dan kalau aku menolak?” bisik Dewi, keberaniannya mulai tumbuh dari reruntuhan luka.
Rafael menatapnya lekat. Lama. Udara di antara mereka menegang.
“Kau tak punya pilihan, Sayang,” jawabnya tenang.
“Tapi jika kau mau sedikit bekerja sama… mungkin, aku bisa membuat dunia ini terasa lebih mudah bagimu.”
Dewi menunduk, menahan napas. Dalam hatinya, ia tahu, satu-satunya jalan keluar dari semua ini bukanlah menyerah… tapi menunggu waktu yang tepat untuk melawan.
Dan malam itu, saat Rafael tidur di sisi lain ranjang, dengan satu tangan melingkari pinggangnya, Dewi membuka mata dalam gelap. Matanya menatap langit-langit kamar yang sunyi.
Hening malam membawa suara detak jam di dinding terdengar lebih keras. Rafael masih terjaga, meski matanya terpejam. Ia bisa merasakan tubuh Dewi yang kaku di pelukannya. Dingin. Jarak di antara mereka terasa seperti jurang meski hanya terpisah beberapa sentimeter.
“Dewi…” Rafael berbisik, suaranya lebih berat, lebih dalam.
“Kau tahu… seharusnya kau tidak ada di sana malam itu.”
Dewi tidak bereaksi, tapi Rafael tahu ia mendengarnya.
“Malam itu… aku tidak tahu kau sedang berada di gang sempit itu. Aku hanya menjalankan tugas, seperti biasa. Darah. Teriakan. Mayat bergelimpangan.” Ia berhenti sejenak, menelan rasa dingin yang tiba-tiba mengalir dari tengkuknya.
“Semua terasa biasa… sampai aku melihatmu.”
Rafael menatap langit-langit kamar, matanya kosong namun hatinya dipenuhi oleh ingatan yang terlalu kuat untuk diabaikan.
“Kau berlari ketakutan, mata itu… menatapku seolah aku iblis yang baru keluar dari neraka. Tapi justru di detik itu, Dewi…” Suaranya serak, tercekik oleh emosi yang sulit ia jelaskan,
“ada sesuatu dalam diriku yang bergerak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun… hatiku yang beku ini. bergetar.”
Dewi perlahan memalingkan wajah, menatap Rafael dengan sorot tak terbaca. Ia tidak menyela. Tak ingin mendengar, tapi juga tak bisa berhenti mendengarkan.
“Darah menetes dari jariku, pistol masih hangat. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya melihatmu… yang gemetar, yang ingin lari, dan… entah mengapa, aku tidak ingin membiarkanmu pergi. Kau menyaksikan sisi tergelapku, sisi yang bahkan aku sendiri tak pernah izinkan dilihat siapa pun. Tapi saat kau lari, aku tahu… aku tak bisa membiarkanmu hilang begitu saja.”
Rafael duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tatapannya menerawang jauh.
“Aku tidak tahu… apakah itu cinta. Aku bahkan lupa seperti apa rasanya mencintai. Hidupku terlalu lama diwarnai darah dan dendam. Tapi sejak malam itu, satu hal yang kuinginkan… hanya satu: kau. Memilikimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku. Entah itu benar atau salah.”
Dewi menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya gemetar pelan, bukan karena takut, tapi karena campuran emosi yang saling bertabrakan. marah, pilu, getir, tapi juga bingung. Ada sesuatu dalam suara Rafael yang begitu tulus, tapi juga begitu kelam.
“Aku seharusnya mati malam itu,” ucap Dewi lirih, akhirnya bersuara.
“Atau… setidaknya, kau bisa membiarkanku pergi. Tapi kau malah menarikku ke dalam duniamu, Rafael. Dunia yang tak pernah kucari.”
Rafael menoleh, sorot matanya tajam namun dalam. “Aku tahu. Tapi saat itu… aku tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa aku ingin kau tetap berada di sisiku. Apapun caranya. Bahkan jika harus kau benci aku, bahkan jika aku harus menyakitimu… asal kau tidak pergi.”
“Dan semua itu karena satu pandangan?” Dewi nyaris tertawa pahit.
“Kau menghancurkan hidupku karena satu getaran di dadamu yang bahkan kau sendiri tak bisa beri nama?”
Rafael menunduk. “Ya. Karena satu getaran itulah aku hidup sekarang. Karena kau.”
Hening kembali menyergap di antara mereka. Tapi kali ini, bukan hening yang dingin, melainkan hening yang penuh beban masa lalu, kenyataan yang tak bisa dihapus, dan luka yang sulit disembuhkan.
Rafael menyentuh tangan Dewi perlahan, menautkan jemarinya ke dalam genggaman yang ragu.
“Aku tidak meminta kau memaafkanku, atau mengerti. Tapi aku ingin kau tahu satu hal… jika malam itu bisa kuulang, aku tetap akan memilih untuk menahanmu. Karena tanpa kau, aku tidak pernah benar-benar hidup.”
Air mata mengambang di pelupuk mata Dewi. Ia memejamkan mata, membiarkan satu tetes mengalir turun ke pipinya. Hatinya bingung. antara ingin lari dan ingin percaya bahwa mungkin… di balik semua kegelapan Rafael, ada secercah cahaya yang benar-benar menginginkannya, bukan sebagai milik… tapi sebagai satu-satunya cahaya di tengah gelapnya dunia pria itu.
Dewi masih membiarkan air matanya menetes, sesekali menahan napas agar tak terdengar isak kecil yang keluar dari dadanya. Ia memandang wajah Rafael dalam keremangan cahaya lampu tidur. wajah itu tampak tenang, namun menyimpan bara yang tak pernah padam. Sesuatu dalam dirinya berkata, inilah saatnya. Entah keberanian dari mana, tapi rasa sesak di dadanya sudah tak bisa dibungkam.
Dengan suara lirih yang hampir tercekik, Dewi membuka mulut, “Aku tidak akan pergi darimu… barang selangkah pun. Aku berjanji.”
Rafael menoleh pelan, matanya menangkap getar emosi di wajah Dewi.
“Tapi,” lanjut Dewi, suaranya kini bergetar, “tidak bisakah… kau berhenti melukai orang lain yang tidak bersalah?”
Keheningan menyusul. Rafael tidak menjawab. Matanya hanya menatap Dewi dalam-dalam, seolah kata-kata itu terlalu asing untuk dijawab.
Dewi menunggu. Detik-detik berlalu dalam diam yang mencekik. Tapi tetap tak ada jawaban dari Rafael. Hanya napasnya yang berat, seolah menimbang sesuatu yang tak bisa ia lepaskan.
“Rafael,” suara Dewi pecah, lebih dalam, lebih hancur. Ia menggenggam selimut, menahan gemetar tubuhnya.
“Aku tahu… kau mungkin tidak punya perasaan seperti manusia pada umumnya. Tapi… tidak bisakah kau, hanya sebentar saja, memikirkan aku?”
Matanya berkaca, suara lirihnya hampir tenggelam dalam isakan.
“Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang… kalau setiap malam aku harus mendengar jeritan, tangisan… raungan orang-orang yang meregang nyawa di luar kamar ini? Mereka menangis, Rafael… Mereka memohon, mereka ketakutan. Sama seperti aku.”
Rafael memejamkan mata, rahangnya mengeras. Tapi ia tetap tidak bersuara. Dan itu membuat Dewi semakin hancur.
“Aku ini apa bagimu?” bisik Dewi nyaris tak terdengar,
“Boneka yang kau simpan di ruangan sunyi agar tak ada yang bisa menyentuh? Atau harta yang harus dijaga, walau dengan darah dan luka? Kau bilang aku membuat hatimu bergetar, tapi apa arti semua itu kalau aku sendiri hancur setiap harinya?”
Tangisnya pecah. Ia membekap mulutnya agar tidak terisak keras, namun tubuhnya bergetar hebat.
“Aku bukan perempuan kuat, Rafael. Aku takut. Aku sangat takut. Dan ketakutan itu menelan diriku hidup-hidup. Hari demi hari, aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Aku tidak ingin menjadi monster sepertimu, yang terbiasa melihat kematian seolah itu angin lalu.”
Rafael menatapnya. Dadanya naik-turun, matanya mulai berkilat oleh sesuatu yang selama ini terkubur. rasa bersalah.
Tapi mulutnya tetap terkunci.
Dewi menggeleng pelan, luka yang menganga di hatinya kini menguarkan rasa lelah yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
“Kau ingin aku berada di sisimu, tapi kau tidak pernah benar-benar melihat aku,” ucapnya lirih.
“Aku manusia, Rafael. Aku punya batas. Dan jika batas itu hancur… mungkin suatu hari aku akan benar-benar mati. Bukan oleh tanganmu, tapi oleh sepi dan ketakutanku sendiri.”
Rafael menunduk. Perlahan, ia mendekat, mengulurkan tangan. Tapi Dewi mundur. Ia tak menolak dengan marah, hanya dengan diam yang sangat menyakitkan.
“Jangan sentuh aku… jika kau belum bisa menjawab satu hal,” kata Dewi lirih.
Rafael terdiam. Hanya detak jam dan helaan napas yang terdengar.
“Apakah kau akan tetap membuat dunia ini berdarah… sementara aku hidup di dalamnya?”
Dan untuk pertama kalinya, Rafael tak mampu menatap Dewi. Wajahnya yang selalu tenang kini retak. Tapi tetap, tak ada kata keluar dari bibirnya.
Dan itu cukup sebagai jawaban bagi Dewi.
Ia memalingkan wajah, air mata kembali mengalir.
Dan malam itu, meski mereka tidur dalam satu ranjang, jiwa mereka terasa sejauh dua dunia yang tak saling menyentuh. Satu tenggelam dalam kegelapan yang diciptakannya sendiri, dan satu lagi mencoba bertahan hidup di bawah bayang-bayang cinta yang tak pernah bisa benar-benar bernapas bebas.