"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Revano menggelengkan kepalanya pelan saat berfikir Pratama tersebut adalah Papanya. Satu yang ada dalam fikirannya sekarang, 'Papa adalah pemilik bisnis mafia, bukan pemilik perusahaan tekstil di Jakarta.'
"Pratama!" Putra menggeram kesal saat Bagas menyebutkan nama itu. Tangannya mengepal erat. Wajahnya terlihat sangat kesal. Bukan! Lebih tepatnya sangat marah.
"Bagas kesulitan mengorek informasi tersebut, Pa. Baru sekarang Bagas mendapat kabar, bahwa Pratama-lah dalang dibalik masalah perusahaan kita," ucap Bagas.
"Laki-laki itu. Kenapa selalu saja mencari masalah denganku!" Putra menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, berdecak kesal.
Revano menatap Putra. Sebenci itukah dia terhadap lelaki bernama Pratama tersebut? Revano sekali lagi meyakinkan hatinya, Pratama yang mereka maksud bukanlah Papanya.
"Papa tenang aja, selama ada Revano, semuanya aman terkendali." Bagas tersenyum sambil menatap Revano. "Kamu tidak berubah fikiran untuk berjasa di perusahaan kami kan, Revano?"
Revano menatap Bagas yang wajahnya penuh pengharapan. Kemudian mengangguk yakin dengan ketegasan yang ada dalam dirinya.
Kembali ia menyemangati dirinya, Pratama yang mereka maksud bukanlah Papanya. Selama itu terjadi, semuanya aman terkendali bagi Revano. Tapi, jika seseorang itu benar Papanya, akan lain cerita nantinya.
"Benar. Selama ada Revano, semuanya akan terkendali." Wajah Putra kembali berseri. "Kamu akan terus menjadi bodyguard Risya, sampai dia menikah dengan Dimas. Kamu akan tetap menjadi bagian dari perusahaan kami, selama takdir menjalankannya."
Bagas mengangguk, tersenyum pada Revano. Sedangkan Revano sendiri terdiam. Entahlah. Kalimat Risya menikah dengan Dimas sepertinya sedikit mengganggu fikirannya.
Kembali mereka membicarakan perkara perusahaan. Kembali Revano memberikan pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan agar bisa melawan perusahaan milik Pratama tersebut.
Satu sebenarnya yang Revano tidak tahu. Demi menjalankan bisnis gelapnya, Tama menutupinya dengan membangun sebuah perusahaan. Dari luar memang terlihat seperti perusahaan biasa, yang sangat besar. Namun, di dalamnya terdapat kerja sama antara pebisnis gelap milik mafia.
"Pa, Risya izin keluar."
Ketiga lelaki yang tengah membahas pekerjaan tadi berhenti sejenak. Menatap Risya yang berdiri di anak tangga dengan piayama tidurnya.
"Mau ke mana?" tanya Putra.
"Ke Supermarket sebentar, mau beli cemilan. Risya sama Dita lagi nonton drakor, butuh cemilan," jawab Risya dengan cengengesan.
"Biar saya yang beli, anda bisa masuk," ucap Revano sambil berdiri dari duduknya.
"Iya, biar Revano yang beli. Anak gadis nggak baik kelayapan di luar malam-malam gini. Masih pakai piyama lagi," ucap Bagas berkomentar.
"Ya udah, Epan yang pergi, tapi aku ikut," ucap Risya tetap ngeyel.
"Supermarket-nya dekat. Anda hanya menunggu sebentar, tidak lama," ucap Revano.
"Ya aku tetap mau ikut. Memangnya kamu tahu cemilan apa yang aku sama Dita minta? Nggak 'kan? Jadi, aku ikut," ucap Risya lagi.
"Yaudah, pergi aja. Beli di Supermarket dekat sini aja, Revano. Kunci mobil ada sama kamu, 'kan?" tanya Putra pada Revano.
Revano mengangguk, mengeluarkan kunci mobilnya.
"Nggak mau. Jalan kaki aja," ucap Risya sambil merampas kunci mobil di tangan Revano kemudian meletakkannya di atas meja.
"Supermarket-nya kan deket. Boros kalau pakek mobil, jalan kaki aja." Risya langsung melangkah keluar tanpa menghiraukan tatapan aneh dari Papa serta Abangnya.
"Kamu ikuti, Revano. Anak itu, kenapa harus mewarisi keras kepala saya," ucap Putra sambil memijat pelipisnya pelan.
Revano mengangguk, dan segera mengikuti langkah Risya. Bagas terkekeh pelan, "Anak Papa, kalau nggak keras kepala, bukan keturunan Papa namanya."
***
"Seru ya, Pan? Malam-malam gini, jalan kaki di trotoar, banyak bintang lagi di langit," ucap Risya sambil mengayunkan tangannya ke depan-belakang.
Sebenarnya Risya sudah merencanakan ini. Entah kenapa, ia ingin sekali jalan berdua dengan bodyguardnya ini. Terlepas dari kekesalannya siang tadi, Risya juga amat berterima kasih.
"Makasih juga sama orang bawaannya tadi. Temen kamu pinter juga, ya. Tugas aku langsung selesai," Risya kembali berucap kala Revano tidak memberi respon akan ucapannya tadi.
Revano bergumam pelan.
"Pan, kamu kenapa jadi dingin lagi, sih? Bukannya kamu mau bantu aku buat ngelupain Alex? Seharusnya kamu hibur aku dong," ucap Risya pelan.
"Anda sudah bisa ngelupain Alex bukan?" Revano bertanya datar.
"Ya, udah. Tapi belum sepenuhnya. Sering nyesek juga tiba-tiba," jawab Risya.
Revano kembali tidak bersuara.
"Pan, rencana kamu sebenarnya apa? Kamu pernah kasih perumpamaan matahari untuk aku, 'kan? Rencananya gimana memang?" tanya Risya ingin tahu.
"Sebenarnya rencananya gagal, karena anda meminta ke sini." Risya berseru kecewa saat mendengar ucapan Revano.
"Mungkin masih bisa, tapi ada sedikit perubahan." Risya tersenyum mendengar ucapan Revano.
"Apa? Apa?" Risya bertanya antusias.
"Anda harus terlihat bahagia karena berpisah dengan Alex, bukan terpuruk seperti beberapa waktu lalu."
"Caranya?" tanya Risya masih antusias.
"Mungkin dengan sedikit pamer pasangan baru pada Alex. Dengan begitu, Alex yang dulunya merasa di awan karena seakan berhasil membuat anda cinta mati dengannya menjadi terhempas ke tanah karena kenyataan itu berubah menjadi anda yang begitu bahagia tanpa sosoknya."
"Maksudnya?" Risya mengernyitkan dahinya, tidak mengerti.
"Anda sangat merasa terpuruk karena Alex akan menikah bukan?" Risya menganggukkan kepalanya cepat.
"Alex pasti merasakan senang, karena merasa dia menjadi lelaki idaman yang membuat dua wanita cinta mati dengannya bukan?" Risya kembali mengangguk, sedikit lesu.
"Jadi, yang harus anda lakukan sekarang adalah mencari sosok baru untuk menggantikan Alex. Agar Alex merasa terhempaskan ke tanah, karena bayangannya itu tidak seindah sebenarnya. Dengan begitu, anda berhasil menjadi matahari yang membuat Alex kepanasan."
Risya sedikit mencerna penjelasan Revano. Kemudian mengangguk semangat. "Kamu benar. Astaga! Kenapa aku nggak kepikir ya?"
Risya tersenyum puas mendengar rencana Revano. "Kamu yang jadi orang itu?"
"Apa?" Revano reflek bertanya.
"Iya, kamu jadi laki-laki yang membuat Alex cemburu." Risya tersenyum puas. Untuk dua hal, pertama karena sepertinya rencana itu akan membuat Alex benar-benar kepanasan. Sedangkan dia menjadi di atas awan.
Kedua, karena dengan begitu, kemungkinan besar Revano akan menjadi pacar pura-puranya. Dan Risya sangat senang dengan itu. Sangat bersemangat.
"Gimana? Bisa 'kan? Ayolah, kan kamu yang kasih ide tadi." Risya terus mendesak Revano.
***
Risya terus saja mendesak Revano untuk mengikuti rencana dia, rencana yang dirancang Revano lebih tepatnya. Dia begitu semangat menagih jawaban pada Revano, hingga sekarang. Saat waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Risya terus menagih jawaban untuk pertanyaannya semalam.
Revano memang tidak menjawab semalam, pun dari pagi tadi. Bukannya menolak atau pun menerima tawaran Risya, hanya saja Revano memiliki rencana lain.
"Iya kan, Pan? Kamu mau, 'kan? Kita jadi pacar pura-pura dong, ya? Cuma di depan Alex." Di dalam hati Risya meneruskan, 'Pacar beneran kayaknya nggak Pa-pa. Di depan semua orang nggak masalah kan ya?'
Revano terdiam. Menatap hamparan rumput di halaman rumah Bagas. Mereka sekarang tengah berada di teras, Risya meminta bicara berdua dengan Revano tadi.
"Dari tadi diem terus. Diem kamu aku anggap jawaban iya, ya?" ucap Risya bersemangat.
Revano menoleh ke arah Risya. Lihatlah. Gadis cantik di hadapannya kini tengah mengharapkan jawaban padanya. Matanya yang bundar hitam memohon penuh harapan. Alisnya yang cukup tebal dinaik-turunkan, menunggu jawaban Revano.
Gadis itu, Risya. Cantik. Baru Revano akui, Risya memang cantik. Sangat cantik malah.
Risya ingin sekali lagi meminta pada Revano. Namun, mulutnya yang hendak berucap mendadak terkunci rapat kala mobil tidak asing barusan masuk ke halaman rumah abangnya. Pagar memang tidak di tutup, jadi mobilnya bisa langsung masuk.
"Siang, Revano, Risya." Dimas tersenyum lebar dengan menenteng plastik putih di tangannya.
"Kamu? Ngapain ke--"
"Siang, Dim," Revano membalas sapaan Dimas, memotong ucapan Risya.
Dari sini, Risya merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Risya sudah seperti bisa membaca fikiran Revano.
"Ini, Ris. Buat kamu. Tadi sengaja mampir di jalan, beliin kamu ini," ucap Dimas sambil memberikan plastik tadi pada Risya.
"Martabak. Kamu tahu dari mana aku suka martabak rasa keju?" tanya Risya heran. Pasalnya hanya beberapa orang saja yang tahu martabak kesukaannya, favoritnya.
Sebenarnya, selama makanan itu martabak, Risya suka-suka saja. Tapi, ini martabak keju dengan bungkus di tempat favorit dia di Surabaya. Kebetulan penjualnya itu memiliki cabang di sini, Kalimantan.
"Revano. Dia ngasih tahu kesukaan kamu." Dimas memberikan kode pada Revano, mengedipkan mata.
Sebenarnya Revano tidak mengetahui martabak kesukaan Risya. Jangankan martabak rasa apa, makanan kesukaan Risya saja Revano baru tahu ini tadi, dari Dimas. Revano yang mengerti kode Dimas, mengangguk samar.
"Kamu tahu martabak kesukaan aku, Pan? Waahh ... kejutan banget. Aku kira kamu nggak peduli sama kesukaan-kesukaan aku apa aja. Makasih ya, Pan?" Risya tersenyum lebar pada Revano. Hatinya berbunga kala merasa Revano memperdulikannya. Nyatanya ....
Dimas sendiri terdiam. Dia yang beli, kenapa Revano yang mendapatkan senyum serta ucapan terimakasih dari Risya? Ada rasa iri dalam hatinya, juga ... cemburu.
"Dimas yang beli, kenapa berterimakasih dengan saya?" Revano berucap datar.
Risya cengengesan. Berterimakasih pada Dimas secara singkat, kemudian berlari ke dalam untuk menikmati makanan kesukaannya yang dikira dari bodyguard-nya itu.
•••••
Bersambung