Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di balik senyumannya
Hujan mengguyur kaca bus dengan irama yang hampir menenangkan, seolah ingin menenggelamkan semua keganjilan yang tak terucap. Namun tidak begitu yang Megan rasakan, ketenangannya sudah lama hilang sejak dirinya menemukan buku milik Ziudith. Setiap tetes air yang menuruni jendela kaca mengingatkannya pada rentetan peristiwa kematian mengerikan di Lavente. Tapi bagaimana bisa kegiatan outing class seperti ini tetap dilakukan?!
Ia duduk di kursi paling belakang, jauh dari Samuel yang tertawa kecil di barisan depan bersama guru dan beberapa panitia outing class. Ya, dia kan ketua OSIS... Wajar mendapatkan kursi depan. Lagi pula antara dirinya dan Samuel sedang terjadi perang dingin setelah tamparan keras yang dia berikan pada laki-laki itu beberapa hari yang lalu.
Di sebelahnya, Arkana menyibukkan diri dengan membaca ulang daftar peserta, padahal Megan tahu, itu hanya alasan agar tidak harus berbicara dengannya. Apakah ini kebetulan? Principal menempatkan Megan untuk bergabung dalam bus yang dinaiki kelas Jerman. Padahal di bus yang membawa murid kelas Swiss juga masih ada bangku kosong. Kosong karena beberapa murid kelas Swiss memilih berlibur di dunia lain!
"Ini gila!" bisik Megan pelan pada Arkana.
"Setelah semua kejadian mengerikan kemarin, mereka masih bisa tersenyum dan tertawa seperti itu?! Menikmati perjalanan seolah tak terjadi apa-apa?!" Lanjutnya sambil menunjuk dengan dagu barisan depan.
Arkana menoleh, lalu mengangguk pelan. "Kamu juga termasuk dalam kegilaan itu. Lihatlah sekarang, kita duduk di dalam bus yang akan membawa kita ke negeri entah berantah, Megan!"
Megan memutar bola matanya malas. Lalu tangannya mengangkat The Book yang disembunyikan di balik jaketnya.
"Buku ini, ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Seperti menyuruh ku ikut dalam kegiatan outing class ini. Kau tau kan, tadinya aku sudah membaca semua isinya. Aku pikir semua akan seperti yang tertulis di dalam sini, tapi semalam... Ketika aku membuka buku ini kembali, buku ini kehilangan semua tulisannya! Semua yang ada di dalam sini kosong. Hanya menampilkan satu kalimat saja."
Arkana diam, lalu memiringkan kepala penasaran. "Coba lihat!" Arkana mengambil buku dari tangan Megan.
'Bahkan saat semua terlihat tenang, satu kebenaran menunggu dibuka di tanah yang tak berpijak.'
"Tanah yang tak berpijak," ulang Arkana. "Pegunungan?"
Megan tak menjawab, gadis itu mengangkat bahunya sebagai tanda ketidaktahuan nya. Dia hanya menatap keluar, membiarkan wajah Samuel terpantul samar di kaca jendela. Sesekali Samuel terlihat tersenyum. Entah mengapa, senyum itu kini terasa seperti topeng bagi Megan. Hanya perasaan Megan saja.
.
.
.
Mereka tiba di lokasi saat langit mulai menggelap. Tempat itu terpencil, terlalu sepi untuk ukuran tempat rekreasi sekolah. Sebuah vila besar berdiri di tengah pepohonan yang gemetar ditiup angin. Udara tipis dan menusuk tulang.
Seorang penjaga tua menyambut mereka dengan suara serak dan mata yang selalu menunduk.
"Kalian rombongan dari Lavente, ya?"
"Benar, Pak," jawab guru pendamping.
Penjaga itu mengangguk, lalu mempersilahkan semua rombongan dari sekolah elite tersebut memasuki vila yang selalu dia jaga kebersihan dan kenyamananannya. Meski berada di tempat terpencil, vila ini sering dijadikan orang-orang untuk liburan dengan tema alam. Mereka mengikuti penjaga tua itu ketika menjelaskan tata letak ruangan yang ada di dalam vila. Banyak yang berfoto dan memvideokan diri sendiri ketika memasuki setiap ruangan.
Malam pertama mereka di vila berjalan sangat ganjil. Salah satu siswanya, Bruno, tidak kembali setelah pergi ke toilet. Guru dan siswa lain panik, tapi Samuel tampak tetap tenang.
"Tidak perlu mencemaskannya, mungkin dia sedikit tersesat. Tempat ini kan luas," katanya sambil menyesap teh yang dia bawa, seolah tidak terjadi apa-apa. Pun tak merasa cemas seperti yang lainnya.
"Bruno bisa saja celaka, Sam! Kenapa kau tidak bisa mengerti sedikit saja kesusahan orang lain?" Bentak Megan sedikit menaikkan nada suaranya.
Samuel menoleh. “Kita ke sini untuk healing, Megan. Bukan untuk drama mistis seperti yang kau takutkan.”
Kalimat itu nyatanya menusuk lebih dalam daripada yang Megan perkirakan. Megan melangkah mundur. Percuma bicara pada Samuel sekarang, mungkin saja rasa marah Samuel pada Megan masih bersarang dalam diri ketua OSIS itu. Yang Samuel lakukan hanya menatap kepergian Megan begitu saja. Tidak ada rasa ingin mencegah atau memanggil kekasihnya.
Semua perdebatan antara Megan dan Samuel tadi bisa disaksikan oleh Arkana dari tempatnya tadi berdiri, dia berinisiatif menghampiri Megan di luar aula vila. Megan nampak duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sana. Tangannya terkepal kuat. Rasa kesalnya pada Samuel tampak begitu nyata.
"Hei.. Kau belum makan apapun dari tadi kan? Ini. Roti bakar yang tadi sempat aku ambil untukmu." Arkana terdengar basa-basi. Tidak mendapat respon yang baik oleh Megan, Arkana berdecak.
"Megan, aku temukan ini di galeri foto milik Bruno, aku tak sengaja melihatnya beberapa hari yang lalu dari ponselnya lalu aku mintanya untuk mengirimkan padaku. Entah apa yang ada di pikiran teman sekamarku itu.. Dia bisa memiliki foto Ziudith dengan pose seperti ini." kata Arkana sambil menunjukkan foto Ziudith dari ponselnya.
Di foto itu Megan bisa melihat jika di tangan Ziudith, ada cakaran panjang. Matanya sembab. Seperti habis menangis atau mungkin masih menangis. Satu tangan Ziudith berusaha menutupi mukanya agar tidak terkena jepretan kamera.
Tapi bukan itu yang menghentak jantung Megan. Jam tangan hitam yang terlihat di pergelangan tangan seseorang dalam foto.. Si pemegang kamera, adalah jam tangan milik Samuel. Dia lah yang memberikan jam tangan itu sebagai kado ulangtahun pada kekasihnya. Ada apa ini sebenarnya?!
Jantung Megan seperti terpompa dengan cepat. Dia ingin menemui Samuel untuk menanyakan kejelasan foto itu, tapi apa kekasihnya itu akan dengan senang hati menceritakan semuanya?? Megan menggeleng keras membuang pikiran buruk tentang Samuel! Tidak mungkin itu Samuel kan? Jam tangan seperti itu pasti dimiliki orang lain selain kekasihnya!
Malam kedua, Bruno belum juga ditemukan. Bukan hanya panik yang mereka rasakan tapi juga ke khawatiran. Termasuk juga Megan. Namun gadis itu memilih mengurung diri di dalam kamar, angin menyusup perlahan ke sela pikirannya yang kacau, saat itu lah mata Megan akhirnya tertutup, dunia yang ia kenal lenyap berganti dunia mimpi yang memeluknya erat.
Dalam mimpi, dia berdiri sendirian di koridor sekolah yang remang. Semua pintu kelas tertutup rapat, dinding-dindingnya berlumur coretan merah seperti bekas goresan kuku. Langkah kakinya bergema terlalu nyaring, seolah tak ada gravitasi di tempat itu.
Dari balik jendela ruang guru, Megan melihat siluet seseorang duduk memeluk lutut. Rambut panjang, pakaian seragam lusuh, dan suara isakan yang patah-patah.
“Ziudith...?” panggil Megan pelan.
Sosok itu menoleh perlahan. Wajahnya... hancur sebagian. Seperti retakan kaca, tapi di balik kulit yang sobek mengintip lubang hitam yang dalam. Bukan... Itu bukan darah, bukan juga daging, namun lubang kehampaan.
"Aku menunggu mu..." bisik Ziudith. Suaranya serak, namun penuh kekecewaan.
“Ak—aku tidak tahu… Aku tidak tahu semua ini akan terjadi, Ziu." Gagap Megan merasa ketakutan.
Ziudith berdiri. Suara tulangnya berderak seperti kayu lapuk. Dia melangkah mendekat, tubuhnya tak menyentuh lantai. Udara di sekelilingnya beku, dan Megan tidak bisa bergerak.
"Aku minta tolong... tapi kau hanya diam. Kau melihat semuanya, Megan, tapi kau diam." Kembali Ziudith bersuara seperti sedang tercekik saja.
Tangan Ziudith yang berdarah terjulur ke arah Megan, menyentuh dada dan dalam sekejap, Megan melihat semuanya......
Dia melihat Ziudith berlari di lorong sambil menangis. Megan melihat tangan seseorang mencekik gadis malang itu, dari tempatnya berdiri Megan bisa melihat tangan yang mencekik Ziudith menggunakan jam tangan hitam. Juga menyaksikan Ziudith yang dipaksa agar tetap diam. Lalu diperlakukan seperti bukan manusia...
“Kalau kau tetap diam... kau akan mati bersama mereka.” Bisik Ziudith di dekat telinga Megan.
Lalu jeritan panjang menggema. Dinding runtuh. Api melalap sekelilingnya. Ziudith terbakar, namun matanya tetap menatap Megan.
____________
Megan tersentak bangun dengan napas pendek dan tubuh basah oleh keringat. Di luar, suara angin bergesekan dengan jendela. Tangannya gemetar saat menyentuh The Book. Dia sampai tidak sadar jika sedari tadi tidur dengan memeluk buku menyeramkan itu.
Pagi hari datang disambut dengan teriakan. Seorang siswa menemukan Bruno terperosok di sumur tua di belakang vila, tubuhnya membiru, hampir tak bernyawa. Semua orang berbondong-bondong berdatangan. Tak terkecuali Megan. Bruno sempat membuka mata saat Megan menghampirinya.
"Aku sudah diam.. Selama ini aku tetap diam, Megaaan. Di--dia bilang… kalau aku bicara… aku akan ikut jadi korban… Megan, akuu sudah diaam.. Tapi dia.. Dia tidak mengampuni kuuu." bisiknya lemah.
Megan mengguncang tubuh Bruno. Beberapa orang menghentikan aksi Megan. Jelas itu sangat berbahaya bagi Bruno yang kritis nyaris meregang nyawa.
"Siapa? Siapa yang kau maksud, Bruno?"
Tapi Bruno hanya menatap langit kosong sebelum tubuhnya lunglai, tak bergerak. Bruno meninggal dunia.
Hari menjelang sore. Jenazah Bruno dibawa dengan ambulance dan diantarkan ke rumah orang tuanya. Miris juga tragis, liburan yang digadang-gadang bisa menjadikan para siswanya merelaks kan diri malah jadi ajang menyeramkan seperti ini.
Dan sekarang Megan serta Arkana duduk di bangku panjang di dekat hutan pinus di luar vila. Arkana hendak berkata sesuatu ketika suara langkah pelan datang dari belakang. Samuel muncul dari balik pohon. Wajahnya tenang. Terlalu tenang.
"Bermesraan di tempat seperti ini memang menyenangkan, Megan. Tapi kau harus tahu, yang harusnya duduk di samping mu itu aku. Bukan laki-laki lain." Protes Samuel.
"Sepertinya memang ada masalah dengan otakmu, Sam. Kau tau kan.. Bruno itu teman sekamar Arkana! Aku hanya berusaha menghiburnya! Dan ini, kau sebut ini bermesraan? Ada banyak orang di sini! Kau tidak lihat?!"
Antara Megan, Arkana dan Samuel, mereka saling diam, namun jantung Megan berdetak seperti palu godam kala melihat seulas senyum dari sang ketua OSIS.
Dan untuk pertama kalinya, Megan menyadari sesuatu... Senyuman Samuel, tidak pernah terasa semengerikan ini!
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻♀️