Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM SATU KAMAR
17.30 WIB
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Langit masih gelap, petir sesekali menyambar dari kejauhan, dan suara deras air hujan memukul kaca jendela kamar hotel. Di dalam, suasana justru lebih sunyi.
Febiduduk di tepi sofa, menunduk menatap layar ponselnya yang baru saja memberi notifikasi: “Maaf, kamar tidak tersedia.”
Ia menghela napas. Sudah tiga aplikasi ia coba, dan semua jawabannya sama. Full. Penuh. Tak tersedia.
“Saya udah nyoba juga dari tadi.” suara Arkan terdengar dari arah ranjang. “Gak ada yang kosong. Bahkan yang harga lima juta semalam juga udah diambil orang.”
Febi hanya mengangguk pelan. “Siapa juga yang nekat liburan pas musim hujan...” gumamnya.
Arkan tertawa pelan. “Cih…kamu ini jadi sensitifan.”
Febi mendengus kecil. Ia tak bisa membantah.
18.15 WIB
Makan malam datang tepat waktu. Dua nampan makanan hangat diletakkan di meja kecil antara sofa dan ranjang. Mereka makan dalam diam di awal, sendok bertemu piring, sesekali terdengar suara gumaman kecil, tapi tak ada obrolan berarti.
Namun seperti biasanya, Arkan selalu punya cara untuk mencairkan suasana.
“Kamu sadar gak, Feb?” katanya sambil mengunyah. “Kita kayak di drama-drama Korea itu.”
Febi mengangkat alis. “Yang mana?”
“Yang judulnya ‘Terjebak Satu Kamar Sama Bos Ganteng.”
Febi tertawa setengah malas. “Gak lucu, Pak.”
“Tapi akurat,” Arkan menyendok nasi sambil tersenyum kecil.
Febi hanya menggeleng, lalu diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Entah sejak kapan, sosok itu tak lagi terasa setegang dulu. Ada sisi santai dan... manusiawi.
19.00 WIB
Mati lampu.
Suara ‘tik’ pendek terdengar, lalu semua lampu padam serempak. Hanya suara hujan yang tersisa. Febi nyaris berteriak, tapi belum sempat ia bereaksi, sebuah cahaya kecil menyorot dari ponsel Arkan.
“Tenang. Lampu emergency nyala sebentar lagi,” katanya santai.
Benar saja, tak sampai semenit, cahaya oranye lembut dari sudut ruangan menyala perlahan.
Namun saat itu, Febi masih menggenggam lengan kemeja Arkan. Dan ketika sadar, ia langsung melepaskan cepat-cepat, wajahnya merah.
“Maaf. Refleks Pak.”
Arkan menatapnya sebentar, lalu tertawa kecil. “Kalau takut gelap, lain kali bilang. Saya pinjamin powerbank.”
“Lucu.”
22.15 WIB
Ranjang king-size itu kini dihuni dua orang dewasa yang pura-pura sibuk di sisi masing-masing. Sebuah bantal panjang dibentangkan di tengah-tengah, menjadi “tembok batas” yang mereka sepakati secara diam-diam.
Arkan berbaring menatap langit-langit. Febi menyelimutkan dirinya rapat-rapat sambil menghadap ke samping, menjauhi Arkan. Tapi meski tubuh mereka menjauh, percakapan justru mulai mengalir.
“Kenapa sih Bapak ambil proyek lapangan langsung ke sini? Biasanya kan cukup kirim tim aja.” tanya Febi, suara pelan.
“Saya capek duduk di kantor terus. Mau lihat hasil kerja saya langsung dan bagaimana progresnya selama di sini. Kalau dikirim hanya lewat laporan rasanya kurang puas” jawab Arkan.
Febi terdiam sesaat. “Hufttt iya juga sih. Kalau liat langsung rasanya lebih tenang.”
Keheningan jatuh. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang... saling mengerti. Mereka melanjutkan cerita proyek dan hal random malam itu dengan lebih santai.
Entah siapa yang lebih dulu menoleh. Tapi yang pasti, ketika mata mereka bertemu dalam cahaya redup itu, waktu seperti melambat. Arkan menatap Febi, dalam, tanpa kata. Febi membalas, sedikit bingung, namun tak mengalihkan pandangan.
Ada sesuatu dalam tatapan itu. Kelelahan. Kejujuran. Rasa penasaran yang tak pernah sempat diungkap.
Dan perlahan, nyaris tanpa sadar, tubuh mereka sama-sama condong ke tengah. Melewati batas bantal.
Hingga...
Bibir mereka bersentuhan.
Hanya sesaat. Tapi cukup untuk menghentikan detak waktu. Lembut. Terlalu cepat untuk disebut mencium. Tapi terlalu dalam untuk dibilang tidak disengaja.
Febi menarik diri dengan cepat, menatap Arkan dengan mata membesar.
“Pak……” bisiknya pelan.
Arkan menunduk, lalu menghela napas pendek.
“Maaf….Saya terbawa suasana. Maafkan saya Febi.”
Febi menggeleng. “Hmm..bukan salah bapak sepenuhnya…Sa…saya juga terbawa suasana.”
Febi menelan ludah. Arkan tak menjawab. Suasana kembali mendadak canggung. Tapi tatapan mereka kembali bertemu sebelum Febi membalikkan badannya ke arah dinding.
Mereka kembali ke posisi tidur masing-masing. Tidak membicarakan apa yang baru saja terjadi. Tapi keduanya tahu mulai malam ini, hubungan mereka tak akan bisa kembali ke titik semula.
Di luar, hujan masih belum berhenti.
Tapi di dalam, hati dua orang ini justru mulai... mencair.
**
Di malam yang sama tapi di tempat yang lain
, di ruang tamu rumahnya yang remang, Bu Sekar duduk dengan ekspresi dingin sambil memandangi layar ponselnya. Ia membuka-buka kembali foto-foto Febi bersama Arkan di lokasi proyek. Lalu, ia mulai menyusun rencana lebih busuk.
“Mereka mau main bersih? Kita liat siapa yang kotor duluan.”
Ia menekan tombol rekam suara, lalu membaca seolah-olah sedang menjadi narator dalam acara gosip.
“Baru dua bulan kerja, langsung naik jabatan. Ada yang bilang karena kinerjanya. Tapi benarkah begitu? Atau ada ‘fasilitas khusus’ dari atasan? Sumber menyebutkan mereka sempat menginap satu kamar saat dinas di Bogor…”
Selesai merekam, ia tertawa pelan lalu mengunggahnya sebagai video suara dengan latar foto Febi dan Arkan di lokasi proyek, lengkap dengan efek buram-buram dramatis. Ia unggah ke akun TikTok anonim miliknya, lalu menyebarkan link-nya ke grup WhatsApp warga.
“Biar semua tahu, siapa sebenarnya si ‘anak baik-baik’ itu…”
Kemudian Bu Sekar membuka akun fake lain dan mengirim pesan langsung ke akun Instagram resmi kantor tempat Febi bekerja, PT FORTUNE. Ia mengirim foto-foto dan mengaku sebagai "orang dalam yang tahu kecurangan kenaikan jabatan seorang staf."
Dengan cepat, api fitnah mulai menyala lebih luas—bukan hanya di lingkungan rumah, tapi mulai mengarah ke dunia profesional Febi.
Tapi Bu Sekar tak peduli.
“Mereka udah hina saya di depan umum. Sekarang giliranku bikin hidup mereka gak tenang.”
"Widya," kata Pak Prabu, namun cukup jelas untuk memecah keheningan, "kamu kenapa? Ada masalah apa?"
Bu Sekar menoleh, wajahnya sedikit terkejut, tapi kemudian menghela napas panjang. "Gak ada apa-apa, kok. Aku cuma lagi gak enak badan."
Pak Prabu tak begitu yakin dengan jawaban istrinya. "Benarkah? Tapi suhu badan kamu normal kok. Ini pasti ada hal lain yang bikin kamu kesel.”
Bu Sekar menundukkan wajahnya, berusaha menutupi rasa kesalnya yang mulai merambat. "Mungkin kamu benar. Aku emang lagi kesel, tapi gak usah terlalu dipikirin."
Namun, Pak Prabu yang sudah terbiasa dengan perilaku istrinya yang sering terbuka, semakin merasa gelisah. "Jangan gitu, Widya. Cerita aja, biar lega. Apa yang bikin kamu kesel?"
Akhirnya, Bu Sekar tak bisa lagi menyembunyikan rasa kesalnya. Ia meluruskan punggung dan mendesah keras.
"Aku gak terima! Vania dan ibunya itu… mereka menghina kita di depan orang banyak! Anak itu, Febi yang padahal cuma karyawan biasa, malah sok baik dan sok bersih. Mereka anggap kita gak ada apa-apanya!"
Pak Prabu mengerutkan dahi, sedikit terkejut mendengar omongan istrinya. "Hah? Gimana maksudnya? Hina gimana?"
Bu Sekar kembali mengalihkan pandangannya, seolah takut suaminya akan mempersoalkan semuanya. "Di warung kelontong tadi, banyak yang ngomongin Febi. Aku cuma kasih sedikit cerita soal kenapa Febi bisa naik jabatan begitu cepat di kantor. Kalau bukan karena 'hubungan khusus' dengan bosnya, mana mungkin dia bisa naik seperti itu. Apalagi dia tiba-tiba pergi ke Bogor sama bosnya itu, kayak ada yang gak beres!"
Pak Prabu memandang Bu Sekar, mencoba menanggapi cerita istrinya dengan kepala dingin.
"Widya, jangan ngomong sembarangan. Kamu tahu sendiri kan, keluarga Pak Beni? Mereka itu keluarga yang baik-baik. Gak mungkin Febi seperti itu."
Mendengar tanggapan suaminya yang tidak sejalan dengan harapannya, Bu Sekar langsung mendengus kesal. "Kamu gak ngerti! Febi itu pasti main belakang!"
Pak Prabu menarik napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. "Sekar , jangan terlalu banyak cari masalah. Kita harus hidup tenang. Jangan ikut campur urusan orang lain, apalagi menyebar gosip yang belum tentu benar. Bisa-bisa kita yang rugi sendiri."
Bu Sekar mulai merasa geram karena tidak mendapat dukungan dari suaminya.