NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Tujuh Belas

***

Suasana ballroom masih riuh saat Hafiz akhirnya berhasil melepaskan diri dari percakapan panjang bersama orang tuanya dan tamu-tamu penting lainnya. Ia menoleh ke segala arah, matanya mencari satu sosok yang sejak tadi belum sempat ia sapa—Serena.

Perempuan itu sempat ia lihat dari kejauhan saat memasuki ruangan, mengenakan gaun maroon yang pas dan sederhana, tapi entah kenapa begitu sulit dilupakan.

Hafiz sempat ingin menghampiri, tapi gelombang tamu datang silih berganti, dan pembicaraan formal dari orang tua pun tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.

Kini, setelah semuanya reda, Serena sudah tidak terlihat.

Hafiz melangkah cepat, menembus kerumunan, matanya menyisir setiap meja. Di satu sisi ballroom, ia melihat Mbak Rina, Fifi, Jaja, dan Andra sedang tertawa-tawa kecil sambil makan dessert.

Ia segera menghampiri mereka.

"Permisi," katanya sambil sedikit membungkuk sopan. "Serena di mana ya?"

Mbak Rina mengangkat wajah, tampak sedikit kaget melihat Hafiz berdiri di samping mejanya. “Oh… Serena? Barusan dia bilang ada urusan mendadak dan pulang duluan, Pak.”

Fifi ikut menimpali, “Iya, tadi dia WhatsApp aku juga. Nggak bilang banyak sih. Cepat banget perginya, kami juga nggak nyangka.”

Ekspresi Hafiz mengeras sejenak. “Pulang? Naik apa?”

“Kayaknya naik ojol, deh,” sahut Andra santai.

Hafiz mengangguk kecil, tapi pikirannya jelas tidak tenang. Ia menoleh ke arah pintu ballroom seolah berharap Serena akan muncul kembali, tapi ia tahu itu sia-sia.

Ia menarik napas panjang.

“Ada yang dia bilang? Maksudku… terlihat aneh atau gimana gitu sebelum pergi?” tanyanya pelan, nadanya hati-hati.

Mbak Rina saling pandang dengan Fifi sejenak sebelum menggeleng. “Enggak sih, tapi dia memang agak diam pas terakhir tadi. Biasanya dia masih nyautin kalau diajak ngobrol.”

Hafiz menggenggam tangan kirinya erat-erat. Ia tahu Serena pasti melihatnya tadi. Dan ia juga tahu, kemungkinan besar Serena... salah paham.

Ia tidak menyangka Serena akan langsung pulang tanpa bicara sepatah kata pun padanya. Tapi mungkin ia memang pantas. Ia terlalu lama diam, terlalu sibuk menjaga jarak, terlalu banyak menahan perasaan sendiri dengan alasan waktu yang belum tepat.

Kini, waktu yang ia jaga itu... justru membuat Serena menjauh.

Hafiz berpamitan pada mereka singkat sebelum melangkah keluar ballroom, matanya masih menyapu ruangan seperti mencari bayangan terakhir Serena yang tertinggal. Tapi tidak ada.

Yang tersisa hanya gaung musik dan lampu-lampu yang berkilauan, membingkai malam yang awalnya ingin ia isi dengan sebuah keberanian—tapi kini hanya meninggalkan sesal yang diam-diam menyiksa.

.

Angin malam menyambut Serena saat ia turun dari ojol di depan kontrakan. Lampu gang kecil sudah mulai redup, sebagian rumah-rumah sekitar telah tertutup rapat. Suasana kontras sekali dengan ballroom yang baru ia tinggalkan—gemerlap, mewah, penuh tawa dan musik.

Tapi di sini, di antara dinding sempit dan suara jangkrik, Serena merasa lebih… nyata.

Ia membuka pintu kontrakan perlahan, masuk ke dalam ruang kecil yang kini mulai terasa seperti tempat perlindungan. Ia duduk di tepi ranjang tanpa menyalakan lampu, membiarkan cahaya remang dari luar menerobos celah jendela dan menciptakan bayangan buram di dinding.

Clutch kecil ia letakkan di samping. Tumit sepatu ia lepas perlahan.

Dan tanpa peringatan, matanya mulai basah.

Tangisnya pelan, tertahan—seperti suara yang tak pernah sempat diungkap. Bukan tangisan meraung atau histeris, tapi yang lebih menyakitkan dari itu: tangisan yang lahir dari luka dalam diam.

Serena menutup wajah dengan kedua tangan. Kenapa aku seperti ini? tanyanya pada dirinya sendiri.

Mereka tidak pernah menjanjikan apa pun. Tidak ada kata suka, tidak ada janji hubungan, bahkan Hafiz pun belum pernah menyentuh tangannya. Tapi... perhatiannya, sikapnya, caranya hadir saat Serena membutuhkan—semua itu membangun harapan diam-diam dalam hatinya. Harapan yang tak pernah ia sadari tumbuh, tapi kini terasa patah ketika melihat kenyataan.

Tunangan? Suara itu terus menggema di kepalanya. Ia tidak salah dengar. Ia tidak salah lihat.

Perempuan cantik itu—dengan gaun perak dan tawa yang lembut—pantas berdiri di samping Hafiz. Keluarga mereka saling mengenal, latar belakang mereka sepadan. Serena tahu dirinya bukan siapa-siapa dalam dunia seperti itu.

Dan itu yang paling menyakitkan. Ia tidak bisa marah, karena tidak ada yang salah.

Ia hanya kecewa Kepada dirinya sendiri—karena sempat membiarkan hatinya berharap.

Serena merebahkan diri perlahan, masih dalam balutan gaun maroon yang kini terasa sesak. Ia memejamkan mata sambil menarik napas panjang, berharap esok pagi akan membawa sedikit kelegaan. Tapi malam itu, yang terasa hanyalah sunyi dan getir—dan sebentuk rindu yang tidak tahu harus ia tujukan ke mana.

.

Sementara itu, Hafiz memutuskan untuk meninggalkan acara lebih cepat dari yang seharusnya. Ia bahkan tidak pamit kepada orang tuanya.

Ia hanya memberi isyarat singkat kepada seorang staf hotel bahwa ia harus pergi lebih dulu, lalu berjalan cepat melewati lobi hotel dengan wajah muram dan hati yang bergejolak.

Malam yang semula ia bayangkan akan sederhana—setidaknya dengan sedikit momen untuk berbicara dengan Serena—justru berubah menjadi malam yang penuh penyesalan.

Setiba di apartemen, Hafiz langsung membuka jasnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Dasi ia longgarkan sambil menjatuhkan diri ke kursi.

Lampu ruangan hanya ia nyalakan sebagian. Ia duduk dalam cahaya temaram, menatap kosong ke layar ponsel yang kini tergenggam di tangannya.

Ia membuka aplikasi pesan, mengetik pelan:

“Serena… kamu udah pulang? Aku minta maaf. Aku tadi benar-benar nggak bisa ninggalin tamu-tamu itu. Aku nyari kamu, tapi kamu udah nggak ada. Aku harap kamu baik-baik aja.”

Ia sempat menatap pesan itu cukup lama. Jempolnya ragu di atas tombol send.

Setelah beberapa detik, ia akhirnya menekan kirim.

Pesan terkirim. Tapi tidak ada centang dua.

Hafiz menatap layar ponsel lama, berharap tanda baca itu berubah. Tapi tetap satu centang saja—pertanda pesan belum dibaca atau mungkin… sudah diblokir?

Ia menghela napas berat, menunduk.

Entah kenapa perasaannya sendiri tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa kehilangan. Ia tahu Serena salah paham.

Tapi ia tidak menyangka Serena akan pergi tanpa bicara—dan sekarang, tidak bisa ia jangkau sama sekali.

Ia mendongak, menatap langit-langit apartemen kosong. Lampu gantung kristal berayun pelan terkena tiupan AC, dan bayangannya menari di dinding.

Dalam keheningan malam yang mahal, Hafiz mulai menyadari… bahwa diamnya selama ini bisa jadi kesalahan terbesar. Ia berpikir masih ada waktu. Tapi bisa jadi… waktu itu sudah habis, dan Serena sudah memilih untuk menutup pintunya.

Soal tunangan, Hafiz Baru tahu malam ini. dan sudah pasti sangat terkejut. Perempuan yang dijodohkan nya itu teman kecil nya, makanya tadi di acara. Hafiz sesekali akan menimpali ucapan perempuan tersebut dan tidak terlihat canggung.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!