"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Tujuh Belas
Raya baru saja keluar dari ruang rapat kecil di lantai dua ketika suara Keenan menghentikannya.
“Raya, sebentar.”
Raya menoleh. “Ya, ada yang bisa kubantu?”
Keenan tampak agak gugup, tapi tetap tersenyum. Ia menyodorkan selembar proposal kerja ke tangan Raya.
“Aku butuh seseorang dengan kemampuan analis sepertimu. Timku akan menggarap proyek pengembangan cabang regional, dan aku ingin kamu bergabung.”
Raya membaca sekilas dokumen itu. “Bukannya ini proyek milik divisi strategi utama?”
Keenan mengangguk. “Betul. Tapi Arka—eh, maksudku, Pak Arka—sudah memberikan lampu hijau agar aku membentuk tim lintas divisi. Aku diberi kebebasan memilih anggota. Dan aku tahu kamu salah satu yang paling bisa diandalkan.”
Raya sempat ragu. Ia tahu bekerja dalam satu tim dengan Keenan berarti intensitas kerja yang tinggi, dan kedekatan yang mungkin disalahartikan. Tapi di sisi lain, ini adalah peluang emas—jarang ada proyek sebesar ini yang terbuka untuk karyawan sepertinya.
“Baiklah,” akhirnya Raya mengangguk. “Tapi aku harap kita bisa jaga profesionalitas.”
Keenan tersenyum. “Itu sudah pasti.”
Hari-hari berikutnya, mereka mulai intens bekerja bersama. Kadang hingga larut malam di ruang brainstorming lantai empat, membahas riset pasar dan strategi masuk ke kawasan baru. Keenan adalah pemimpin yang sabar dan mendengarkan, sementara Raya, dengan ide-ide tajamnya, membuat tim kecil mereka berkembang cepat.
“Raya,” ujar Keenan suatu malam ketika hanya mereka berdua yang masih bertahan di kantor. “Kau tahu... aku bersyukur sekali kamu setuju masuk tim ini.”
Raya hanya tersenyum singkat, tidak menjawab. Ia fokus menyusun diagram untuk presentasi.
“Aku tahu kau cerdas, tapi ternyata juga punya intuisi bisnis yang kuat,” lanjut Keenan. “Jujur, aku merasa ini saat yang tepat—untuk semua hal.”
Raya menatapnya sesaat. “Untuk proyek ini, maksudmu?”
Keenan mengangguk cepat. “Ya, tentu saja.”
Namun sorot matanya mengatakan hal lain.
Yang tidak Raya tahu—dan tidak pernah Keenan sebutkan—adalah bahwa Arka belum pernah membaca keseluruhan daftar anggota tim itu. Ia hanya menandatangani ringkasan tim proyek yang diajukan oleh Keenan melalui email asisten.
Dan selama ini, Arka berpikir Raya masih bekerja di divisi reguler seperti biasa.
Hingga hari itu tiba. Hari ketika semuanya terungkap—di ruang rapat utama.
**
Suasana kantor pagi itu tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa karyawan berlalu-lalang membawa berkas, beberapa lainnya sibuk dengan ponsel dan laptop masing-masing. Aura profesional dan hiruk-pikuk pekerjaan menyelimuti setiap sudut.
Raya melangkah masuk ke ruangannya. Namun, belum sempat ia menyalakan laptop, suara notifikasi grup kantor muncul bertubi-tubi. Ia membuka ponselnya, menatap isi chat yang ramai membahas satu hal: presentasi mendadak dari tim Keenan siang nanti, di hadapan dewan direksi dan CEO.
Raya tertegun. Tim Keenan? Seharusnya ini belum dijadwalkan minggu ini…
Seolah menjawab kebingungannya, pintu ruangannya diketuk pelan.
Keenan muncul dengan senyum sopan. “Hai, maaf mengganggu. Kau sudah dengar soal presentasi nanti?”
“Aku baru saja membaca pesannya.” Raya berdiri, menyamakan tinggi pandang mereka. “Kenapa tiba-tiba dimajukan?”
“Pak Arka yang memutuskan langsung. Aku juga baru dikabari tadi malam.” Wajah Keenan tampak sedikit canggung. “Tapi katanya, ini penting. Dan, presentasi kita... akan dinilai secara pribadi oleh beliau.”
Raya mengerutkan kening. “Dia tidak bilang apa-apa padaku.”
Keenan hanya mengangkat bahu. “Mungkin beliau ingin semuanya objektif. Tanpa bocoran.”
Rapat utama sore itu berlangsung seperti biasa—atau setidaknya, terlihat biasa di permukaannya.
Proyektor menyala, grafik pasar ditampilkan, dan suara-suara dari anggota tim satu per satu terdengar memaparkan laporan. Arka duduk di ujung meja panjang, dengan wajah netral dan tangan bersilang di depan dada. Matanya tajam, menyapu seluruh ruangan, namun tidak satu pun yang menyadari bahwa di balik ketenangan itu, ada badai yang pelan-pelan mulai membentuk pusaran.
“Untuk pengembangan cabang regional, kami sudah menyiapkan konsep pendekatan lokal berdasarkan analisis pelanggan...”
Suara itu.
Arka langsung menoleh.
Suaranya terlalu familiar untuk diabaikan. Dan ketika tatapannya jatuh pada sosok wanita di sisi kanan ruangan—Raya, dengan blazer hitam dan rambut diikat rapi, berdiri di depan layar presentasi—napas Arka seolah tertahan sesaat.
“Apa yang dia lakukan di sana?” gumamnya, lebih ke dirinya sendiri.
Tak seorang pun menjawab. Bahkan asistennya, yang duduk beberapa kursi di belakang, tak berani menoleh ke arah Arka.
Keenan berdiri di samping Raya, menambahkan beberapa poin. Sekilas, bahu mereka nyaris bersentuhan, dan saat Keenan tertawa kecil karena sebuah candaan ringan dari anggota tim, Raya ikut tersenyum.
Senyum itu—bukan miliknya.
Arka memalingkan wajah. Rahangnya mengeras. Jari-jarinya mengepal tanpa sadar di atas meja.
Dan itu cukup untuk mengguncang satu ruangan.
Setelah rapat selesai, ruangan mulai kosong. Tapi Arka tidak bergerak dari tempat duduknya. Pandangannya kosong menatap ke depan.
Asistennya mendekat dengan ragu. “Pak... apakah perlu saya siapkan kendaraan?”
“Tidak.” Suara Arka datar.
Ia berdiri tiba-tiba, melangkah keluar tanpa sepatah kata pun. Tapi langkahnya berhenti di depan ruang kerja Keenan. Pintu tertutup, namun terdengar tawa samar dari dalam—suaranya Raya.
Arka mengetuk pelan, hanya sekali. Lalu membuka pintu tanpa menunggu izin.
Keenan dan Raya sontak menoleh. Wajah Keenan sempat tegang, sementara Raya menatap Arka dengan ekspresi campur aduk—antara kaget, dan bingung.
“Bisa bicara sebentar, Keenan?” suara Arka tenang, tapi terlalu tenang. Dingin.
Keenan menatap Raya sejenak lalu mengangguk, “Tentu, Pak.”
Raya hendak keluar, tapi langkahnya tertahan ketika Arka menatapnya.
“Tidak perlu pergi. Kau juga bisa dengar,” ucap Arka, tajam.
Keenan mengerutkan alis. “Ada yang salah, Pak?”
Arka menatap mereka berdua, lama.
“Kalian... sudah lama bekerja dalam satu tim?”
Keenan menelan ludah. “Sudah beberapa minggu, sejak saya—”
“Tanpa sepengetahuanku,” potong Arka. “Aku tidak pernah menerima informasi siapa saja anggota timmu, Keenan. Dan ternyata... dia ada di dalamnya.”
Raya ingin menjawab, tapi suara Arka lebih dulu menenggelamkannya.
“Jadi ini hasil kerja kalian?” Suara Arka terdengar datar saat ia melemparkan berkas proposal ke atas. “Presentasi yang kalian ajukan tidak punya arah yang jelas. Argumennya lemah, dan penyusunannya... berantakan.”
Keenan terlihat gelagapan, buru-buru membuka laptopnya. “Saya akan segera perbaiki, Pak. Mungkin tadi terburu-buru menyesuaikan dengan format terbaru—”
“Saya tidak butuh alasan.” Nada suara Arka tetap tenang, tapi tajam. “Saya butuh hasil. Ulangi dari awal. Hari ini juga.”
Raya duduk kaku di kursinya. Meski tidak satu kata pun tertuju langsung padanya, ia bisa merasakan hawa dingin yang mengarah spesifik ke tempat ia duduk. Dan ketika matanya tak sengaja menangkap tatapan Arka, ia tahu... itu bukan sekadar teguran profesional.
Keenan mencoba mencairkan suasana. “Baik, Pak Arka. Kami akan segera revisi. Saya pastikan sore ini versi barunya sudah sampai di meja Anda.”
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........