Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Suara meong itu terdengar lagi. Pelan, tetapi cukup untuk membuat Alex menghentikan langkahnya menuju rumah belakang.
Dahi pria itu berkerut, matanya menyipit penuh kewaspadaan. Malam sebelumnya saja ia sudah gelisah karena suara gadis yang entah kenapa membuat pikirannya kacau.
Dan kini, Alex malah melihat pot bunga yang begoyang.
“Aneh,” gumamnya.
Alex mendekat beberapa langkah, mencoba memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebelum sempat melihat lebih jauh…
Meong!
Seekor kucing kecil berwarna oranye menyembul keluar dari bawah mobil. Alex sontak melompat mundur dua langkah, wajahnya pucat seketika.
“A—apa itu!” teriaknya refleks.
Para pengawal yang melihat nyaris tertawa, tapi tidak ada yang berani mengeluarkan suara.
Dengan cepat, Alex meraih pistol dari balik pinggangnya, senjata yang hampir selalu ia bawa, bahkan hanya untuk turun sarapan.
Lalu, Alex mengarahkan moncong pistol itu tepat ke arah makhluk mungil yang kini duduk manis sambil miring-miringkan kepala, seolah mengundang tembakan.
Kucing itu mengeong lembut, lalu berjalan mendekatinya.
“Paman! Singkirkan kucing ini! Cepat!” seru Alex dengan wajah panik, jelas bukan panik karena ancaman, melainkan karena jijik dan alergi.
Jimmy yang berada di dalam mobil terlonjak, buru-buru keluar. Begitu melihat pemandangan di depan matanya, di mana Tuan Muda Alexander Frederick—sang mafia cerdas yang ditakuti banyak organisasi—berdiri kaku sambil menodong pistol ke seekor kucing, Jimmy terdiam dengan wajah sulit dipercaya.
“Ayolah, Alex, dia hanya kucing. Jangan bersikap berlebihan seolah kau bertemu dengan penjahat kecil,” ucap Jimmy menahan tawa yang hampir pecah.
“Hanya kucing, kau bilang?!” Alex memelotot. “Paman, kau lupa aku sangat membenci kucing, hah?! Singkirkan sekarang juga! Lihat bulu-bulunya itu menggelikan sekali!”
“Baiklah, akan aku tangani,” balas Jimmy.
Sayangnya, begitu Jimmy mendekat, kucing itu malah berbalik dan mengejar Alex.
“Astaga! Jangan mendekat atau kuledakkan kepalamu!” Alex spontan mundur cepat dan hampir tersandung tangga kecil di halaman.
Para pelayan yang menonton dari balik jendela nyaris menjerit menahan tawa. Tuan muda yang dingin tak tersentuh dan selalu penuh wibawa, kini kalah oleh seekor makhluk berbulu mungil.
Sementara itu, dari balik tumpukan pot di rumah belakang, Malika terpaku. Wajahnya berubah panik pasi saat melihat moncong pistol itu dihadapkan pada Pumpkin.
“Pumpkin nakal! Sudah Lika bilang jangan bergerak. Kau malah berlari mengejar Om roti sobek. Aduh, bagaimana ini,” lirihnya.
Malika menggigit ujung kuku dengan tubuh semakin gemetar. Jika ia keluar sekarang, bisa-bisa ia sendiri yang dimaki atau mungkin dihabisi oleh Alex, karena ia telah melanggar larangan Albert.
Tapi kalau ia tidak keluar, Pumpkin benar-benar dalam bahaya.
Malika harus memilih. Keamanan dirinya, atau nyawa makhluk kecil yang baru memberinya kebahagiaan.
Beberapa detik berlalu.
Pumpkin kini berdiri tepat di depan sepatu mahal Alex, menggosokkan kepala dengan manja.
“PAMAN!” Alex hampir menjerit. “Ambil makhluk ini sebelum aku—”
“Jangan sakiti Pumpkin!” Suara nyaring itu memotong kalimat Alex dengan cepat, dipenuhi keberanian yang lahir dari keputusasaan.
Semua orang menoleh. Dan dari balik rumah belakang, keluarlah sosok gadis mungil dengan wajah ketakutan, yang semalam mengganggu tidur Alex.
Malika berlari kecil, lalu langsung berdiri di depan Pumpkin sambil merentangkan tangan, seolah melindungi makhluk kecil itu dengan seluruh nyawanya.
“Jangan sakiti Pumpkin, Tuan. Dia tidak bersalah!” seru Malika.
Alex terdiam. Jimmy juga terdiam.
Para pelayan menutup mulut mereka, ngeri sekaligus terkejut, karena tidak ada satu pun orang di rumah ini yang berani berdiri sedekat itu di hadapan Alex, apalagi menegurnya.
Alex menurunkan pistol perlahan. Tatapannya tajam menusuk, mengamati gadis kecil yang kini gemetar sambil memeluk Pumpkin ke dadanya.
“Bukankah dia gadis berisik yang membuatku tak tidur semalaman? Berani sekali dia muncul langsung dihadapanku!” batin Alex di dalam hatinya.
Alex berdiri terpaku. Mata yang biasanya tajam dan dingin seperti bilah pisau, tertahan pada sosok gadis kecil yang kini menunduk dalam-dalam di hadapannya.
Namun aneh, Alex tidak merasa jijik. Tidak juga merasa terganggu seperti biasanya. Ia justru diam dan itu saja sudah cukup membuat Jimmy terkejut.
“Apa kepalanya baru saja terbentur? Bukankah tadi dia ingin sekali melenyapkan kucing itu? Kenapa malah diam seperti patung?” pikir Jimmy.
Ada sesuatu pada cara gadis itu menunduk. Bukan karena takut semata, tetapi lebih seperti, ia sedang berusaha keras menahan diri agar tidak menangis.
Alex menelan ludah tanpa sadar. Kenapa aku memperhatikannya?
Ia membenci sensasi itu. Sebuah rasa tak dikenal lagi-lagi menyelinap dari dadanya, naik ke tenggorokan dan berhasil membuatnya gelisah.
Seolah gadis kecil itu memasukkan sesuatu ke dalam dirinya tanpa izin.
Sialnya, Alex tidak bisa membenci kehadirannya. Yang ia benci adalah perasaan yang tiba-tiba muncul lagi di hatinya. Seakan-akan ada bagian dalam dirinya yang ingin mengangkat wajah gadis itu, ingin memastikan ia tidak menangis.
“Kenapa aku begini lagi,” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Pria yang bahkan dari keluarganya sendiri menjaga jarak aman, kini berhenti hanya untuk menatap seorang gadis dengan rambut kusut dan pakaian lusuh.
Rasanya tidak nyaman dan sangat mengusik.
Dan hal yang paling Alex muak dari semuanya adalah, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Sementara Malika terus berdoa dalam hati agar Alex tak mengenalinya sebagai Lucy di kamar 203.
“Bantu Lika, Tuhan…” batinnya.
malika dan Leon cm korban😄🤣