Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Gadis Idaman Satya
‘Entah mengapa rasa takut kehilanganmu selalu muncul ketika melihatmu lemah, dan reaksi dari tubuh yang tak mampu untuk berbohong itu pun memunculkan satu perasaan aneh yang tak pernah aku alami. Kau hanyalah adik perempuanku, tapi seakan ada ikatan hati yang tak aku mengerti itu apa.’
Mbok Indung datang membawa piama handuk, langsung digunakan untuk membungkus tubuh Hanin. Satya berniat membawa Hanin ke rumah sakit karena Hanin tak kunjung sadar, tapi mendadak Hanin bergerak dan membuka matanya. Memuntahkan air dari dalam mulutnya.
Satya terpaku antara lega dan marah. Apa yang dilakukan Hanin dengan berenang dalam kondisi baru sembuh tentu saja tidak dibenarkan.
“Gadis yang tidak patuh,” gumam Satya kesal.
Melihat wajah marah kakaknya Hanin merasa bersalah. Dia kemudian bangun dan duduk.
“Aku pikir tidak masalah, kakiku bahkan sudah bisa dibawa berjalan,” balas Hanin.
“Tetap saja belum bisa untuk beraktivitas seperti ini. Setelah kau bisa membawa kakimu berlari seratus meter dengan normal tanpa kesakitan lagi, itu artinya sudah sembuh.”
Satya mengangkat tubuh Hanin membawanya masuk ke dalam rumah, mengantarnya hingga ke kamar. Meminta Hanin untuk segera mandi air hangat.
“Jangan berendam, selesai mandi kakak tunggu di ruang makan,” kata Satya, setelah itu meninggalkan kamar pergi menuju kamarnya sendiri.
Di ruang makan, Hanin benar-benar terlihat seperti orang yang sedang kelaparan, sama sekali tak terlihat seperti orang yang baru saja mengalami musibah. Tenggelam di dalam air sepertinya tak membuatnya trauma.
“Kau baru saja tenggelam, tapi makan begitu banyak,” ungkap Satya begitu melihat kelakuan Hanin.
“Hani sudah selamat untuk apa dipikirkan. Lagi pula bukan pertama kali ini Hani kecelakaan. Kecelakaan motor, disekap dan tenggelam sepertinya bukan hal yang menakutkan lagi.” Celoteh Hanin sembari menikmati makanannya.
“Jadi, kau sudah tambah dewasa sekarang.”
“Mungkin.”
“Itu artinya mulai saat ini kau harus tidur sendirian, jangan merengek tidur ditemani lagi.”
Hanin memanyunkan bibirnya.
“Memang apa salahnya? Selama ini Hani tak pernah mengganggu tidur kak Satya.”
Satya tak memberikan penjelasan, percuma saja karena Hanin tak akan menyadari apa yang dilakukannya saat tidur.
Hari itu mereka menghabiskan banyak waktu di rumah dengan menonton televisi, main Games dan menyiram tanaman yang biasanya dilakukan Pak Harsa. Sore harinya usai mandi mereka pergi naik motor keliling kota dan pergi belanja, tapi Satya tak suka belanja, Hanin yang memaksa pergi ke Mall dan tempat yang paling dituju Satya adalah toko buku. Dia membeli beberapa buku komik kesukaannya.
Hanin yang tak suka membaca buku hanya mengikuti di belakang Satya sembari makan camilan. Ketika sepasang mata jernihnya menangkap sebuah buku novel yang terpajang di rak agak tinggi di hadapannya, Hanin berdiri diam membaca judul novel tersebut dengan serius.
Melihat apa yang tengah Hanin baca, Satya buru-buru menghampiri dan menghalangi pandangan Hanin dengan berdiri di hadapannya, hingga tak selesai Hani membaca judul buku itu.
“Apaan si, Kakak! Hani belum selesai membaca!” kata Hanin.
“Itu buku bacaan dewasa, kau belum pantas untuk melihatnya,” kata Satya.
“Bukankah tadi pagi Kakak bilang kalau Hani ini sudah dewasa, kenapa membaca buku saja ada batasannya?”
“Itu bacaan khusus untuk orang dewasa yang sudah menikah, kalau mau baca menikahlah dulu,” jelas Satya sembari menarik hidung Hanin.
“Memang siapa yang mau menikah dengan Hanin, kalau kakaknya sendiri over protektif menjaga Hanin,” gumam Hanin dengan wajah cemberut. Satya menjinjing ransel kecil di punggung Hanin, menarik gadis itu pergi meninggalkan toko buku.
Satya diam-diam memikirkan ucapan Hanin yang ikut menilai dirinya over protektif. Melarang dia berpacaran. Satya berpikir lama yang pada akhir kesimpulan mungkin memang dia terlalu berlebihan.
Jujur saja Satya tidak suka melihat Hanin berpacaran, entah benar atau salah yang pasti Satya berpikir hanya untuk menjaga Hanin dari laki-laki yang ingin menyakitinya, sebagai seorang kakak. Mungkin lain lagi jika adiknya seorang laki-laki. Hal itulah yang membuat Satya selalu membenarkan pemikirannya. Dia sendiri selama itu juga tidak pernah berpacaran.
“Nih kau baca saja komik ini biar tambah cerdas dan bisa melawan saat bertemu musuh.” Satya menunjukkan komik yang dibelinya pada Hanin ketika mereka tiba di rumah, duduk di ruang keluarga.
“Kalau aku baca buku ini maka aku tidak butuh super hero.” Hanin menyingkirkan buku itu dari pangkuannya. “Anak gadis lebih senang ada penjaga yang selalu menjaga dan melindunginya, seperti aku punya Kak Satya,” lanjutnya.
Satya tertegun dengan alasan Hanin menolak buku-buku pemberiannya. Sepertinya jiwa perempuan memang seperti itu lebih senang mendapatkan dewa penolong ketimbang menjadi pahlawan wanita itu sendiri.
“Susah memang berbicara dengan gadis manja dan pemalas.” Satya geleng-geleng kepala heran.
Hanin merasa jenuh dan bosan dengan acara televisi. Dia menguap beberapa kali dan kedua matanya serasa mulai berat. Kemudian Hanin menyandarkan kepalanya di bahu Satya.
“Kak, kenapa Kak Satya tidak punya pacar seperti lainnya?” Tanya Hanin sembari memaksa kedua matanya untuk tetap terjaga.
“Kalau kakak melarangmu, kakak juga harus melakukan hal yang sama,” jawab Satya tetap fokus pada bacaan komiknya.
“Sampai kapan?”
Cukup lama Satya untuk menjawab pertanyaan Hanin, dia tidak ingin melewatkan sedikit pun dari bacaannya.
“Sampai saat yang tepat, mungkin setelah kita sama-sama sudah bekerja,” jawab Satya.
Walaupun terpejam, pikiran Hanin belum sepenuhnya terlelap. Dia bahkan mendengar detak jantung Satya saat itu. Hanin membuka matanya kembali, memperhatikan wajah Satya dengan serius.
“Lalu gadis seperti apa yang Kak Satya suka?”
Satya menoleh pada Hanin, gadis itu buru-buru memejamkan matanya kembali setengah terpejam.
“Tentu saja harus cantik, seksi, mandiri, dewasa dan tidak suka membantah saat dinasihati.” Mendengar jawaban Satya Hanin mendengus kesal, tentu saja ciri-ciri seperti itu tidak ada pada dirinya sendiri. Dirinya tidak seksi dan selalu manja.
“Itu artinya Hani bukan tipe gadis yang kakak suka,” celetuk Hanin.
“Maksudmu?” Satya menatap heran.
Hanin tak menjawab, kini dia merebahkan kepalanya di pangkuan Satya. Harum aroma parfum Satya semakin membuat Hanin merasakan nyaman, yang akan membuat Hanin tidur dengan pulas.
“Kebiasaan,” gumam Satya. Jika sudah seperti itu Satya tidak bisa keras hatinya. Apa lagi saat tidur wajah Hanin terlihat damai, manis dan menggemaskan.
Sebenarnya Satya penasaran dengan perkataan Hanin yang terakhir. Satya sering kali menyadari sesuatu yang berbeda dari Hanin. Tak ada kemiripan dalam diri Hanin dengan Elvan maupun Miranda. Namun, dengan dirinya justru terlihat mirip, itu pun saat dipandang sekilas.
Satya senang mencium kening dan rambut Hanin yang wangi. Dia selalu melakukan itu saat Hani tidur di bahunya ataupun di pangkuannya tanpa Hanin sadari. Membelai wajah dan rambut Hanin yang hitam, dan halus.
Apa yang dilakukan Satya sering dilihat oleh Mbok Indung. Wanita itu entah mengapa sangat senang dengan perhatian Satya pada Hanin. Namun, di saat yang sama ada kecemasan di wajahnya. Wanita itu sering mengawasi Satya dan Hanin ketika sedang berada di kamar hanya berdua. Memastikan seberapa jauh mereka dekat satu sama lain. Terutama semenjak mereka menginjak masa-masa remaja.