Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kasih sayang Orang Tua
Cahaya jingga yang menyusup melalui celah gorden jendela rumah sakit membuat sepasang mata yang sedikit bergetar berusaha menyesuaikan diri. Perlahan, kelopak mata itu terbuka, dan netranya mulai menyapu sekeliling. Aroma khas rumah sakit tercium jelas. Pandangannya kemudian jatuh pada sosok yang terbaring di sofa—seorang yang ia kenal.
Siapa lagi kalau bukan Jevan, pacarnya. Hubungan mereka bukan baru seumur jagung. Mereka berdua sudah dekat sejak TK hingga SD, namun sempat terpisah saat lulus. Takdir mempertemukan mereka kembali saat masuk SMA.
Sejak saat itu, Jevan memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Mereka berdua sepakat untuk menjalin hubungan secara diam-diam (backstreet).
Ketika Alena fokus memperhatikan Jevan yang sedang tidur, terdengar suara dari pintu.
Terbukalah pintu, dan di sana terlihat sepasang suami istri yang baru saja masuk, dengan senyuman yang terpatri di wajah mereka.
"Alena... Anak Mantu Mama yang cantik," ujar wanita paruh baya itu sambil berjalan cepat ke arah Alena.
"Gimana kabar kamu? Pasti sakit banget, ya? Sini, Mama peluk." Wanita paruh baya—Mama Jevan—langsung memeluk Alena.
Alena yang mendengar perkataan Mama Jeni hanya tersenyum hangat sambil menerima pelukan. Walaupun terasa sedikit nyeri, ia tak keberatan.
"Aku baik kok, Ma, cuma nyeri sedikit saja," kata Alena, sambil memeluk Mama Jeni.
Tiba-tiba pelukan mereka dilepas paksa oleh Papa Hendrik, sang suami.
"Sudahlah Ma, lihat tuh Alena menahan sakit begitu," ujar Papa Hendrik yang berhasil melepaskan pelukan antara istrinya dan kekasih sang anak.
"Hehehe, maafin Mama ya, Alena." Mama Jeni meminta maaf dengan cengirannya.
"Oh iya, Mama juga bawa makanan. Nanti dimakan ya, cuma cemilan saja sih.
Sebenarnya mau bawain kamu Tom Yum, tapi dimarahi sama suami Mama," kata Mama Jeni sambil melirik sinis ke suaminya, yang sudah duduk di sofa tunggal.
"Hmm, tapi kan Ma, masa orang sakit dibawain Tom Yum? Mana boleh begitu? Apalagi pesannya seafood, Alena kan alergi seafood," Papa Hendrik yang tidak mau disalahkan begitu saja oleh sang Istri.
"Oh iya, Mama lupa kalau kamu alergi seafood." Mama Jeni langsung merasa bersalah.
"Enggak apa-apa kok, Ma," Alena berusaha menenangkan Mamanya Jevan.
Mama Jeni yang mendengar langsung tersenyum haru menatap Alena. Setelah itu, ia melangkah menuju sofa, tempat Jevan masih tertidur pulas. Ia mengamati wajah sang anak yang terlihat lingkaran hitam di area mata, dan raut kelelahan yang tampak jelas walau masih tertidur.
Mama Jeni menunduk ke arah wajah Jevan, dan mulai mengelus lembut kepala anak semata wayang ini.
Di benaknya, ia tidak menyangka bahwa putranya sudah besar, bahkan kini sudah memiliki kekasih. Ia teringat bagaimana ia dan suami adalah salah satu pejuang "garis dua." Setelah enam tahun usia pernikahan, barulah ia dinyatakan positif hamil.
Dan lahirlah Jevan, anak laki-laki semata wayangnya. Jevan terlahir sedikit lebih cepat dari perkiraan, dan saat kecil Jevan sering sakit-sakitan.
Makanya, ia sangat takut terjadi apa-apa dengan Jevan.
Jevan yang merasa terusik dengan pergerakan di kepalanya, mulai membuka kedua kelopak matanya dan melihat wajah sang Mama yang sedang tersenyum teduh, sehingga ia secara tidak sadar hanyut dalam senyuman itu.
"Eh, anak Mama sudah bangun? Maaf ya, Mama bikin kamu kebangun," ucap sang Mama yang merasa bersalah.
"It's okay, Ma. Mama udah lama datangnya?" tanya Jevan yang mulai memposisikan dirinya dari tiduran menjadi duduk. Tak lupa Jevan sedikit mengucek matanya.
"Enggak, Mama sama Papa baru datang kok. Kamu kalau masih capek, lanjut tidur dulu. Biar Alena, Papa, dan Mama yang temani," Mama Jeni langsung duduk di samping Jevan, dengan terus menatap anaknya ini.
"Eh, aku udah cukup tidur, dan udah enggak merasa ngantuk lagi."
"Oh, kalau begitu kamu mandi dulu. Mama ada bawa baju ganti kamu dan Alena," ujar Mama sambil menunjuk Duffel Bag yang terletak di atas meja kecil di samping TV.
Jevan hanya menganggukkan kepalanya, dan berdiri. Setelah itu, Jevan melangkahkan kakinya menuju Hospital bed Alena, yang sedari tadi melihat bagaimana hangatnya keluarga Jevan.
"Ay, kamu enggak apa-apa kan?" tanya Alena yang melihat bahu Jevan terdapat noda darah kering.
"Aku baik-baik aja kok. Tadi udah dibersihin lukanya, cuma belum diobati saja," jawab Jevan, yang melihat tatapan Alena menuju bahunya yang terkena peluru yang meleset tadi.
"Ya sudah, habis mandi baru diobati," ujar Alena.
Tanpa menjawab, Jevan hanya tersenyum lalu mengelus kepala Alena dengan tangannya. Ini sudah menjadi kebiasaan dari Jevan, karena Mamanya yang sering mengelus kepalanya.
Jevan langsung mengambil baju ganti serta handuk di dalam tas dan masuk ke kamar mandi.
Sedangkan di luar ruangan terdengar suara langkah masuk. Tepat saat Alena ingin duduk dan bersandar di sandaran Hospital bed, masuklah seorang pria paruh baya yang masih terlihat bugar di usia yang tidak lagi muda.
"Ayah," panggil Alena senang.
Sang Ayah hanya memperlihatkan wajah datarnya saja, dan berjalan menuju Alena yang menatap senang.
"Kalau sudah keluar rumah sakit, langsung pulang ke rumah, jangan ke apartemen lagi. Jangan jadi beban orang lain, seakan-akan Ayah enggak pernah punya anak perempuan," ujar Sang Ayah tanpa basa-basi dengan wajah yang masih saja datar.
Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Ayah Alena sangat sedih ketika mendengar anaknya diculik dan masuk rumah sakit, hanya saja dia bingung untuk bereaksi bagaimana. Egonya selalu mengatakan semua baik-baik saja.
Alena yang mendengar perkataan Ayahnya langsung merasa sangat sedih. Alena sangat mengharapkan kata khawatir yang terucap dari mulut sang Ayah, tapi semua itu sirna begitu mendengar perkataan tersebut.
Tidak lama, suara dering ponsel yang berasal dari saku jas Ayah Alena. Dia langsung mengambil dan melihat siapa yang menghubunginya—ternyata rekan kerja. Lalu, tanpa membuang waktu, dia langsung menekan tombol hijau.
"Halo."
"......"
"Baik, saya ke sana sekarang."
"...."
"Sekitar 20 menit, karena saya sedang di rumah sakit."
"...."
"Oke."
Panggilan telepon itu langsung dimatikan. Ayah Alena hanya melirik sebentar ke Alena, dan langsung berbalik badan sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang lagi.
Pintu tertutup kembali, seiring hilangnya bayangan tubuh tegap milik sang Ayah.
Setetes air bening jatuh membasahi pipi Alena, dan diikuti suara lirih. Tak lama, tangis Alena pecah. Air mata semakin deras membasahi wajahnya. Ia hanya bisa menunduk, meratapi apa yang baru saja ia terima dari sang Ayah.
Tidak ada sapaan.
Tidak ada senyuman.
Tidak ada ucapan sayang.
Dan lebih sakitnya, saat Ayahnya tidak menoleh sedikit pun saat berjalan keluar.
Bahu Alena bergetar. Suara tangisan semakin terdengar sampai ke telinga Jevan yang sedang berada di kamar mandi.
Dengan terburu-buru, Jevan menyelesaikan acara mandinya. Sampai-sampai, ia keluar hanya dengan sempak saja. Untung bajunya kebesaran, sehingga masih menutup "asetnya" itu.
Sampai di dekat Ranjang Rumah sakit Alena, dia melihat Mamanya sedang memeluk Alena sambil mengelus punggung sempit milik Alena dengan kata-kata penenang.
Sedangkan Papanya hanya berdiri, juga menatap tidak tega ke Alena.
"Pa? Alena kenapa nangis?" tanya Jevan ketika berdiri di samping Papanya.
"Udah, nanti diceritain. Kamu lihat keadaan Alena dulu sana," ujar Papa Hendrik yang juga tidak melihat penampilan sang anak.
"Sayang, kenapa? Badan kamu sakit? Aku panggil dokter, ya?" tanya Jevan dengan nada khawatir melihat Alena masih saja menangis.
Alena tidak menjawab, tapi Mama Jeni hanya memberikan kode agar Jevan tenang dulu.
Jevan langsung diam, tapi tangannya mengelus kepala Alena dengan rasa sayang.
Beberapa menit kemudian, tangisan Alena berhenti dan ia mulai memundurkan kepalanya dari bahu Mama Jeni.
Dengan refleks, Jevan langsung menghapus sisa-sisa air mata di wajah Alena dengan lembut.
Tapi, wajah Alena tiba-tiba memerah dan menunduk. Jevan yang melihat itu dibuat panik.
"Sayang? Kamu sakit? Aku panggil dokter dulu, ya?" ujar panik Jevan yang melihat wajah Alena semakin memerah.
Jevan langsung pergi ke samping Hospital Bed yang terdapat tombol Nurse Call Button, tapi belum sempat Jevan menekannya, teriakan Mama Jeni mengagetkan mereka—termasuk Alena yang semakin menunduk malu.
"ASTAGA! Anak lanang Mama, celana kamu ke mana? HAH?"
Jevan yang mendengar perkataan sang Mama langsung menunduk. Dia melihat bahwa di bawah sana, dia hanya menggunakan sempak pendek yang hampir tertutup dengan baju kebesarannya.
"SIALAN! MAAF, MA, JEVAN LUPA!" Teriak Jevan yang langsung berlari masuk kamar mandi, dengan perasaan malu.
Pantas saja wajah Alena memerah.