"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya.
"Jangan ..., jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lorong kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB16
Satu bulan sudah kepergian Dino. Dua bulan usia pernikahannya dengan Athur. Semenjak kejadian itu, Athur sering sekali bermalam di rumah. Menambah kesan kedekatan pasangan baru yang masih tidur terpisah.
Pagi itu terasa sangat berbeda seakan menyapa dengan lembut, udara segar menyusup lewat cela-cela jendela dan pintu. Suara ayam berkokok terdengar merdu terlinga.
Rara menggerutu sendirian sambil membongkar laci lemari pakaian. Banyak pakaian Dino di dalam yang bercampur pakaian Nina. Ia ingin menyimpan semua pakaian Dino di gudang. Bagaimanapun mereka harus ikhlas.
Athur masuk tanpa mengetuk pintu yang hanya mengenakan handuk yang hanya di lilitkan.
"Ah ...." teriak Rara terkejut menutu wajahnya.
"Ada apa?" tanya Athur penasaran.
"Mas Athur masuk kenapa nggak ketok pintu?"
"Lah emang kenapa?"
"Ya nggak kenapa-kenapa. Tapi Mas, kenapa cuman pake handuk." ucapnya masih menutup wajahnya.
"Tadi kelananya jatuh di kamar mandi basah." Jawabnya santai namun pria itu saat ini berada tepat di belakang Rara.
"Mas, ngapain?" tanya Rara panik.
Jantung Rara berdebar begitu cepat. Posisi Rara yang berdiri di depan kemari pakaian, sedangkan Athur berada tepat di belakang tubuhnya seakan tak ada jarak.
Berbisik di telingan Rara, "mau ambil celana. Buang pikiran mesummu itu. Tapi kalau mau lihat juga sangat boleh loh?" goda Athur hembusan nafas Athur terasa sangat hangat. Pria itu entah sadar atau tidak dia justru malah memeluk tubuh Rara. Membenakan kepalanya di pundak sang istri. Satu kata yang bisa di utarakan nyaman.
Jangan tanya bagaimana memerahnya wajah Rara menahan saat ini menahan malu. Gugup dan salah tingkah di buatnya."Mas ...," panggil lirih Rara yang terdengar manja di telinga Athur.
"Hmm ..., kenapa?" sahutnya yang masih tak mau melepaskan Rara.
Rara bingung mau jawab apa, sedangkan dia suaminya. Dia bahkan berhak meminta lebih dari saat ini. Tetapi Rara belum siap sama sekali, akhirnya satu kata yang lolos dari bibir gadis itu.
"Lepasin."
"Sebentar lagi."
Rara diam, ia sama sekali tak bisa mengontrol detak jantungnya. Athur sebenarnya mendengar suata tak beraturanya dari detak jantung Rara. Tetapi dia pura-pura tidak tahu, bahkan dirinya sebenarnya juga sama.
"Buka." perintah Athur.
"Hah." sahut Rara bingung, cukup lama diam dan berfikir.
"Maksud mas?"
"Buka tanganmu. Masih kecil pikiran mesum mulu." sahut Athur menunjuk pada tangan Rara yang berada di wajahnya.
"Memang Mas sudah pake celana?" tanya Rara belum berani membuka tanganya.
"Buka Ra ...," Rara masih ragu.
Mengetahui tak ada pergerakan, Athur melepaskan pelukanya dan dengang singkat kini posisi mereka sudah saling berhadapan. Lebih tepatnya Athur mengukung Rara. Pria itu tak memberikan jarak. Satu tanganya menarik tangan Rara dengan perlahan tapi pasti.
Cup!
"Manis." satu kata yang terucap langsung mengecup bibir merah ceri milih Rara. ketika wajahnya nampak jelas di hadap Athur. Tubuhnya mematung, bola mata yang masih terpejam, namun ucapanya terdengar oleh gadis itu membuat salah tingkah.
"Kak." panggil Nina yang terkejut melihat adegan dua sejoli itu. Nina langsung memalingkan tubuhnya.
Rara di buat terkejut oleh panggilan sang adik. Sedikit mendorong tubuh Athur memberi ruang. Pria itu justru cuek. "Minggir mas," kesal Rara karen Nina pasti saat ini sedang berpikir yang tidak-tidak.
"Upss ..., maaf Nina nggak sengaja." lalu berjalan meninggalkan keduanya. Wajah gadis itu masih panik, pikiranya menerawang jauh agedan dewasa. Kemudian menggelengkan kepalanya membuang isi pikiran di kepalanya.
Bug!
Auw ... Nina mengusap keningnya sedikit sakit menabrak sesuatu di hadapanya, lau mendongak.
"Eh, Bang Devan?" ucap Nina cengengesan sambil mengusap keningnya.
"Jalan tu pake mata, bukan pake jidat."
"Aalah Bang ..., dimana - mana jalan itu pake kaki." jelas Nina tak setuju.
"Ha. Lo itu memang sangat nyebelin," jemari Devan menoyor kening Nina.
''Ih ... Abang yang nyebelin." sungutnya dengan bibir yang sedikit maju. "Selalu datang Kaya jaelangkung tak di undang, pulang tak di antar." balas Nina tak mau kalah.
Selama musibah itu mereka dekat dan sedikit faham sikap masing-masing. Lontaran demi lontara sudah hal biasa bagi keduanya juga Athur.
"Apa lo bilang anak kecil?"
"Nina udah gede Bang," sahutnya tak terima.
"Gede dari mana? Ngaca sono, biar tahu tubuhnya seberapa kecilnya."
"Udah deh jangan basa basi. Mau apa kesini?" tanya Nina mengintrograsi. "Jangan bilang kalau mau jemput Abang Athur buat ketemu dedemit itu." tambahnya lagi.
"Ha ... ha ... ha ...," cantik gitu lo bilang dedemit. Gua bilangin nanti," ancam Devan.
"Bilangin aja nggak takut. Wle ...., Nina menjulurkan lidahnya.
Devan benar - benar games di buatnya. sikap gadis itu random kadang bar-bar kadang lembut, kadang menyebalkan. Tidak asyik bagi pria itu jika datang ke sana tidak adu mulut denganya. Dia saat ini seakan memiliki mainan baru yang selalu meri dukannya.
"Mana Athur?"
"Husst jangan gangggu mereka?" ucapannya mampu membuat Deva langsung berfikir ngeres kearah sesuatu hal. Dimana pria dan wanita yang sudah menikah.
"Apa mereka sedang ..." kedua tangan Deva menunjukan isyarat seakan dengan agedan ciuman. Di balas anggukan oleh Nina santai.
Bola mata Devan membulat tak percaya. Dalam hatinya bersorak, "akhirnya dia mulai melirik kecantikan istrinya." Nina mengangguk-anggukan kepalanya mengiyakan perkataan Devan.
"Hah kamu tahu dari mana jika mereka sedang," tanya Devan yang baru tersadar dengan reaksi Nina.
"Tadi tidak sengaja mau panggil Kak Rara. Eh tahunya malah sedang itu ... tu ...an," sahut Nina lalu meminum air mineral yang baru di sambarnya dari atas meja.
*****
Dirumah mewah milik keluarga Louise, seseorang baru saja datang. Sikapnya seperti ratu yang selalu ingin di layani. "Mba!" teriaknya seakan rumah itu miliknya sendiri.
"Apaan sih! pagi-pagi udah teriak Kaya di hutan." bentak Alden dari lantai dua.
"Heh Al, Athur mana?" tanya Vina cuek yang tak menanggapi sama sejaki ucapan Alden.
Ingin sekaki rasanya Alden berteriak mengataka jika sang kaka berada di rumah istrinya. Namun pria itu tak sejahat itu pada sahabat juga kakaknya. Dia hanya menanggapi dengan menaik turunkan bahunya menandakan tidak tahu. Kemudian berjalan menuruni anak tangga dengan sedikit berlari.
"Maaf nona Vina ada apa?" tanya art di sana.
"Buatkan just alpukat." perintah Vina tanpa melihat wajahnya.
Di belakan Alden ada seorang perempuan yang sudah kelihatan berumur berjalan pelan menuruni anak tangga. Dia adalah Mama juga papa Alden, biasa di panggil Sintya dan Louise.
Alden menarik kursi lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. Di susul Sintya juga Louise yang saat ini sudah duduk di posisi masing -masing.
"Sayang sudah lama?" tanya ramah Sintya.
"Tante ...," panggilnya manja.
"Kenapa? Athur melakukan hal yang tidak baik atau bagimana?" tanya sintya lembut.
"Athur sudah seminggu nggak ngasih kabari." Aku tanya Devan dia katanya sibuk.
Sintya menatap suaminya yang saat ini sedang menyuapkan sendok berisi nasi dan lauk ke dalam mulutnya. "Pah, apa Athur ke luar kota lagi. Jangan berikan pekerjaan yang memberatkannya."
"Ini semua tugasnya, kenapa malah Mama jadi ikut campur pekerjaan Athur.
"Permisi, ini just nya nona." ucap lirih menghormati tuan rumah.
Kedua wanita berbincang menceritakan perasaan dan apapun yang jadi unek-unek di hati. Sintya juga nampak kesal dengan perubahan sikap anaknya yang hanya mendengar dari segi salah satu orang.
kok bisa dinikahkan sih ?
Duh kasihan sekali masih muda 17 tahun sudah dinikahkan, terlalu muda sekali, mana suaminya juga baru kenal.....kok begitu sih ?😭