Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Pengepungan dipinggir kota
Stefanus akhirnya tiba di dekat rumah pamannya di pinggiran kota. Rumah sederhana itu terletak di antara kebun bambu, jauh dari jalan utama.
Ia mengetuk pintu dengan tergesa.
“Paman, ini aku, Stefanus!”
Pintu terbuka. Seorang lelaki paruh baya dengan wajah ramah muncul. “Stefanus? Astaga, kenapa wajahmu pucat sekali? Masuk cepat!”
Stefanus masuk, lalu menjatuhkan diri di kursi tua. “Paman, aku… aku dalam masalah besar.”
Pamannya menatap serius. “Masalah apa?”
Namun sebelum Stefanus sempat menjawab, suara deru motor terdengar dari kejauhan. Banyak sekali.
Stefanus memucat. “Mereka menemukan aku…”
Beberapa mobil dan motor berhenti di jalan tanah dekat rumah pamannya. Puluhan pria berbaju hitam turun, membawa senjata.
Boris memimpin mereka, wajahnya dingin. “Rumah itu. Dia ada di sana. Jangan beri dia kesempatan lari.”
Pamannya Stefanus berdiri di depan rumah, mencoba menghentikan mereka. “Hei, ini rumah pribadi! Apa yang kalian”
Namun salah satu anak buah Boris mendorongnya kasar ke samping. “Minggir, Pak Tua. Ini urusan yang bukan untukmu.”
Stefanus muncul di pintu dengan wajah penuh kemarahan. “Apa maumu?!”
Boris tersenyum sinis. “Bos hanya ingin bicara. Ikut saja dengan baik-baik, mungkin kau masih bisa hidup.”
Stefanus tahu itu bohong. Sekejap kemudian, ia berlari ke belakang rumah, mencoba mencari jalan keluar.
Belakang rumah pamannya adalah hutan bambu lebat. Stefanus berlari di antara batang-batang bambu yang tinggi, suaranya bergemerisik saat diterpa angin.
Di belakangnya, suara langkah kaki dan teriakan terdengar.
“Kejar dia!”
Beberapa tembakan dilepaskan, pelurunya menghantam batang bambu dan tanah di sekitarnya. Stefanus nyaris terkena dua kali, tapi ia terus berlari sekuat tenaga.
Nafasnya semakin berat, kakinya mulai terasa lemas, tapi ia tidak bisa berhenti. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah terus bergerak.
Di jalan depan hutan bambu, mobil mewah berhenti. Pak Arman keluar, wajahnya dingin seperti patung.
“Anak itu?” tanyanya singkat.
Boris mengangguk. “Masuk ke hutan. Kami sedang mengejarnya.”
Pak Arman menatap ke arah hutan yang lebat. “Jangan pulang sebelum mayatnya ada di tangan kita.”
Perkataannya membuat suasana semakin mencekam.
Stefanus Terpojok
Di dalam hutan, Stefanus akhirnya sampai di tepi jurang kecil. Di bawahnya ada sungai deras.
Di belakangnya, suara langkah kaki semakin dekat. Ia terjebak.
“Berhenti!” teriak salah satu anak buah Boris. “Kau tidak punya jalan keluar lagi!”
Stefanus memandang sungai di bawahnya, lalu memandang para pengejarnya.
Pilihan di hadapannya hanya dua: menyerah dan mati di tangan mereka, atau melompat dan mungkin mati di sungai deras itu.
Tanpa pikir panjang, ia melompat.
Tubuh Stefanus menghantam air dengan keras. Sungai itu deras, arusnya kuat, tapi entah bagaimana ia berhasil muncul ke permukaan dan terbawa arus menjauh dari para pengejarnya.
Boris dan anak buahnya hanya bisa memandang dari tepi jurang.
“Bos tidak akan suka mendengar ini,” gumam Boris kesal.
Mereka menuruni jalur lain menuju sungai, tapi arusnya terlalu kuat. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Stefanus masih hidup atau sudah mati terbawa arus.
Ketika Boris melapor bahwa Stefanus melompat ke sungai dan menghilang, wajah Pak Arman menjadi gelap.
“Cari dia! Hidup atau mati, aku tidak peduli. Aku ingin dia ditemukan!”
Suara Pak Arman bergema di antara batang-batang bambu. Semua orang tahu, perburuan ini belum berakhir. Malam nanti, kota ini akan kembali menjadi ladang pembantaian jika Stefanus masih hidup.
Telepon berdering di ruangan besar dengan dinding kaca. Di luar sana, malam masih gelap, hanya diterangi lampu kota yang temaram. Pak Arman duduk di kursi kerjanya, memutar gelas berisi wiski di tangannya. Di meja kerjanya, setumpuk dokumen bisnis mafia tergeletak begitu saja, tapi pikirannya tak ada di sana.
“Bos,” suara anak buahnya di seberang telepon terdengar gugup, “kami sudah menyisir sepanjang tepi sungai. Tidak ada tanda-tanda dia.”
Pak Arman memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras. “Kalian yakin?”
“Y-yakin, Bos. Arus sungainya deras sekali. Mungkin… dia sudah—”
“Diam.” Suara Pak Arman dingin dan berat. “Kalian pikir aku bodoh? Kalau dia mati, mana mayatnya?”
Tak ada jawaban di ujung telepon. Anak buahnya menahan napas, takut salah bicara.
Pak Arman menegakkan tubuhnya, pandangannya menusuk tajam ke arah jendela gelap di depannya. “Dengar baik-baik. Selama tidak ada mayat, aku anggap dia masih hidup. Dan kalau dia masih hidup, itu berarti dia bisa bicara. Kalian tahu apa artinya, kan?”
“Ya, Bos.”
“Cari dia.” Suara Pak Arman kini seperti racun yang menetes perlahan. “Gunakan semua orang kita. Semua kontak, semua mata-mata. Aku mau tahu siapa dia, di mana rumahnya, siapa keluarganya. Aku mau semua informasinya sebelum matahari besok terbit.”
Telepon ditutup dengan suara klik yang terdengar dingin di udara malam.
Pak Arman bersandar di kursinya. Matanya menyipit, pikirannya berputar cepat. Ia adalah orang yang sudah lama hidup di dunia gelap. Ia tahu satu saksi saja bisa menghancurkan segalanya. Satu orang yang bicara ke polisi bisa membuat seluruh kerajaan bisnis hitamnya runtuh.
Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Pak Arman memanggil dua orang kepercayaannya, Reno dan Surya. Mereka masuk ke ruangan dengan wajah tegang.
“Bos?”
“Kalian sudah dengar kabarnya. Ada saksi. Anak itu masih hidup.”
Reno mengangguk. “Kami akan cari dia, Bos.”
Pak Arman berdiri, menatap kedua orang itu satu per satu. “Aku tidak butuh janji. Aku butuh hasil. Malam ini juga. Kalau perlu, cek semua rumah sakit. Anak itu mungkin luka-luka. Orang bodoh biasanya lari ke tempat yang paling gampang ditebak.”
Surya mengangguk. “Kami akan mulai sekarang.”
Namun sebelum mereka keluar, suara berat Pak Arman menahan mereka. “Dengar baik-baik. Aku tidak peduli siapa dia, dari keluarga mana. Begitu kalian tahu siapa dia, jangan langsung bunuh. Bawa dia ke aku. Aku mau lihat wajah orang yang berani mengganggu urusan kita.”
Reno dan Surya saling pandang. Mereka tahu apa artinya itu: pemuda itu mungkin akan berharap lebih baik mati di sungai daripada jatuh hidup-hidup di tangan Pak Arman.
Di sisi lain, telepon Pak Arman berbunyi lagi. Kali ini dari seseorang di kepolisian—kontak rahasia yang sudah lama ia bayar untuk menutup kasus-kasus tertentu.
“Pak Arman,” suara di seberang terdengar hati-hati, “ada laporan penembakan di gudang lama malam ini. Polisi sedang dalam perjalanan ke sana.”
Pak Arman menggeram pelan. “Pastikan tidak ada bukti. Seperti biasa.”
“Baik, Pak.”
Telepon ditutup. Pak Arman meneguk habis wiskinya, merasakan panasnya alkohol bercampur dengan amarah yang mendidih di dadanya. Malam ini adalah malam yang panjang. Dan sampai pemuda itu ditemukan, tidak akan ada yang bisa tidur dengan tenang.
Di luar ruangan, Reno dan Surya sudah mulai menggerakkan anak buah. Mobil-mobil hitam melaju ke berbagai arah, orang-orang menyebar ke terminal bus, stasiun kereta, rumah sakit, bahkan tempat penampungan gelandangan. Siapa pun yang terlihat mencurigakan akan ditanyai. Foto gudang lama sudah dibagikan diam-diam ke jaringan kriminal di kota itu.
Pak Arman tahu caranya membuat orang-orang bicara. Dunia gelap punya cara sendiri untuk mencari jejak seseorang—cara yang tidak pernah ada di buku-buku polisi.
Sementara itu, di sebuah gubuk reyot di tepi sungai beberapa kilometer dari tempat kejadian, Stefanus meringkuk kedinginan. Tubuhnya penuh memar, napasnya tersengal-sengal. Ia berhasil lolos malam ini, tapi ia tahu perburuan belum selesai.
Ia belum tahu siapa orang-orang itu, apa yang mereka lakukan di gudang tadi, atau mengapa mereka membunuh seseorang. Yang ia tahu hanyalah satu hal: mereka pasti akan memburunya sampai dapat.
Dan ia tidak punya siapa-siapa.
Tidak ada orang tua—mereka sudah lama meninggal. Hanya ada pamannya, pria baik yang selama ini merawatnya. Stefanus tidak bisa melibatkan pamannya dalam hal ini. Itu terlalu berbahaya.
Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar. Tapi Stefanus justru tidak merasa lega. Ia tahu dunia orang-orang berseragam itu kadang tak berbeda jauh dengan dunia orang-orang seperti Pak Arman.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang pucat, seorang pemuda miskin tanpa sengaja masuk ke dalam lingkaran setan yang mematikan.
Dan sekarang, hidupnya tak akan pernah sama lagi.