Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab enam belas. Ketika rasa itu mulai tumbuh.
Gavin muncul di pintu. Dan tersenyum lega karena wajah Bella tidak sepucat tadi lagi.
"Bagaimana dokter, apa masih ada hal lainnya?" ucap Gavin seraya menatap Bella lalu merapikan selimutnya.
"Sepertinya, Bella juga belum sarapan. itu salah satu faktor yang membuat dia pusing."
"Ah, iya. Sampai lupa." Gavin menepuk jidatnya. Menyadari kelalaiannya. Karena panik melihat Bella muntah, dia lupa tujuan utamanya yang hendak mengajak Bella sarapan tadi.
"Kami akan sarapan bersama di kamar ini. Aku akan bilang sama Bik Nani, memindahkan ruang makan ke kamar ini " kekeh Gavin bercanda.
Untuk pertama kalinya, setelah mereka tinggal satu atap, Bella mendengar tawa dan canda Gavin.
"Pak Gavin ada-ada saja." ucap Sherly. Martin yang kebetulan sudah berdiri di pintu kamar, karena mendapat panggilan mendadak dari bosnya. Juga terkejut mendengar ucapan bosnya. Kedua bola matanya sampai berputar-putar mengingat, apakah bosnya salah minum obat.
Gavin menoleh ke arah Martin, seketika tawa Gavin menghilang. Dan melototkan matanya pada Martin.
"Telat kali kamu datang!" sergah Gavin. Membuat kepala Martin makin pening.
"Maaf Bos, jalanan macet," sahut Martin sekenanya. Seraya memendam kesal. Tadi dia sudah berusaha semaksimal mungkin datang secepatnya. Perjalanan lima belas menit menjadi sepuluh menit. Masih juga dibilang telat. Hadeh, bosnya benar-benar sudah salah makan obat.
"Katakan sama Bik Nani, bawa kesini sarapan. Aku dan Bella mau sarapan di sini." titah Gavin pada Martin.
"Siap Bos!" seru Martin berbalik.
"Tunggu dulu! Aku sarapan di bawah saja. Aku tidak apa-apa." seru Bella menatap ke arah Gavin. Tapi Gavin geleng kepala. Itu artinya dia menolak permintaan Bella. Suasana hening mendadak membelenggu.
"Saran Pak Gavin ada benarnya Bella, mengingat kondisimu yang lemah. Kamu bedrest dulu." ucap Dokter Bella memecah keheningan. "Aku balik dulu ya, nanti kalau ada apa-apa, aku dihubungi saja, Pak." timpal Sherly.
"Terima kasih dokter. Mari saya antar ke pintu."
"Saya bisa turun sendiri, Pak." sahut Sherly.
"Tidak apa-apa. Kebetulan juga mau melihat persiapan Bik Nani, menyiapkan sarapan." Gavin memberi jalan untuk Dokter Sherly. Lalu mereka jalan bersisian menuruni anak tangga.
"Bu dokter, berapa lama keadaan Bella mual muntah." ucap Gavin serius.
"Itu tergantung kondisi Bella, Pak. Juga bawaan hormonnya. Biasanya pada trimester pertama kebanyakan ibu-ibu hamil mengalami mual muntah, susah makan, atau tidak suka mencium aroma yang tajam. Maunya makan yang pedes-pedes atau asam. Dan hormon setiap ibu hamil itu berbeda-beda." Sherly menjelaskan panjang lebar. Gavin menyimak serius setiap penjelasan dokter. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuk makanan.
Dalam hati Dokter Sherly tersenyum, melihat betapa antusiasnya Gavin menyimak setiap penjelasannya.
"Terima kasih dokter. Besok kami akan datang untung kontrol kandungan istri saya." ucap Gavin tanpa sadar menyebut Bella istrinya. Dokter Sherly juga sedikit terkejut, karena dia tau status pernikahan sahabatnya itu. Tapi cara Gavin mengucapkannya, membuat Sherly menilai. Sepertinya Gavin telah terjerat dalam labirin yang dia buat sendiri.
Entah bagimana akhir dari kisah mereka ini nanti. Apakah akan berakhir bahagia atau sebaliknya menjadi kisah tragis. Yang jelas Sherly akan berdoa untuk kebaikan dan kebahagian mereka.
Setelah mobil yang membawa dokter Sherly menghilang di balik pintu gerbang. Gavin kembali ke dalam rumah. Langkahnya nampak santai karena tidak ada hal yang membuatnya terburu-buru. Setidak untuk hari ini. Dia telah membatalkan beberapa pertemuan penting.
Coba untuk apa dia lakuin itu. Semua karena Bella. Gavin tidak tega membiarkan Bella.Padahal Bella cuma mual muntah. Namun, bagi Gavin itu adalah masalah serius. Tanpa Gavin sadari dunianya kini hendak berpusar pada Bella. Dan pada anak yang ada dalam kandungannya.
Gavin yang dingin dan acuh pada wanita perlahan memperlihatkan sisi lain dari dirinya.
"Bik, apa semua sudah siap?" seru Gavin di anak tangga, saat melihat Bik Nani memasuki dapur.
"Sudah Nak Gavin. Bibik mau ambilkan saus dan kecap." Gavin melanjutkan langkahnya. Sesampainya di kamar Gavin melihat beberapa hidangan di atas meja kecil.
Lantas Gavin meramu makanan di atas piring, untuk Bella. Mengambil juga untuknya.
"Ini, makanlah. Aku suapin ya?" ucap Gavin tanpa canggung. Sebaliknya Bella yang merasa segan.
"Aku bisa suap sendiri," ucap Bella lirih, takut Gavin tersinggung.
"Baiklah kalau begitu." Tanpa aba-aba, Gavin menyusun bantal supaya Bella bisa duduk lebih santai. Bella yang tidak menduga sama sekali, sangat terkejut dan membeku ketika mencium aroma tubuh Gavin.
Bella menahan nafas. Aroma tubuh Gavin yang membuatnya mual tadi, tidak lagi membuatnya mual. Malah membuatnya rileks dan menyukai aroma itu.
"Kamu kenapa, Bella. Mual lagi,?" seru Gavin saat melihat Bella menutup kedua matanya.
"Bu-bukan," sahut Bella gugup. Dia merasakan kedua pipinya memerah karena malu. Dalam hati dia merutuki kekonyolannya.
"Ayok, sarapan kalau begitu." Gavin meletakkan meja kecil dihadapan Bella. Dalam hatinya merutuk juga. Ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Yang membuatnya bingung. Gavin tadi sempat melihat pipi Bella yang bersemu merah. Membuatnya sangat menggoda. Pipinya yang ranum itu seperti buah apel yang baru dipetik.
Gavin melihat dalam beberapa bulan ini perubahan dalam diri Bella. Wajahnya bersinar lebih menggemaskan. Tubuhnya juga padat berisi, membuat pikiran Gavin traveling kemana-mana. Sangat jauh berbeda dengan sosoknya saat pertama kali mereka bertemu.
Dia adalah pria normal, kalau selama ini dia menutup diri pada wanita, karena memang belum ada yang berhasil menggetarkan kalbunya. Beda dengan Bella saat pertama kali bertenu di ruang praktek dokter Sherly. Gavin sudah merasakan sesuatu yang aneh menjalari hatinya. Sesuatu yang diluar dugaannya selama ini.
Itulah sebabnya dia bergegas menjemput Bella, saat Dokter Sherly menghubunginya kalau Bella setuju mau menandatangani kontrak.
Dan mengiyakan permintaan kakeknya untuk menikahi Bella. Hanya saja sebagian dari dirinya belum bisa menerima Bella seutuhnya. Mungkin kejadian lima tahun lalu masih terpatri dalam alam bawah sadarnya. Menyisakan trauma karena beberapa kali kehilangan. Yang paling tragis, kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam satu kecelakaan.
Suasana terasa kaku saat Bella dan Gavin sarapan. Gavin tidak fokus menikmati sarapannya karena pikirannya tengah dimana-mana.
Bella pura-pura batuk, untuk memecahkan keheningan diantara mereka. Gavin tersentak, dan buru-buru mengambil air putih.
"Pelan-pelan makannya," tegur Gavin. Dia sendiri memaki dirinya atas pikiran liar dalam otaknya.
Usai sarapan, Gavin mengupas jeruk dan memberikannya pada Bella. Bella sangat terharu dengan perhatian Gavin. Dia merasa dimanja. Perlakuan manis itu belum pernah dia rasakan dari mantan suaminya dulu.
Tanpa Bella sadari, sudut mata Bella mengenang oleh air mata. Sekuat hati dia mencoba menahan agar bulir-bulir air mata itu jangan sampai jatuh.***