Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 TEROR LEAK Part 16
Ledakan energi itu bukan hanya sebuah ledakan fisik yang menghancurkan, melainkan gelombang spiritual yang mengoyak jiwa dan mengoyak batas antara dunia manusia dan alam gaib. Bagus tergeletak di tanah, matanya menangkap kilatan cahaya putih dan hitam yang saling bertabrakan seperti petir ganas dalam badai yang mengamuk tanpa henti.
Di tengah pusaran gelap dan cahaya itu, Marni melayang, tubuhnya menjadi medan pertempuran mengerikan antara dua kekuatan dahsyat. Antara jiwa murninya yang rapuh namun berani, melawan warisan hitam dan penuh dendam dari ibunya sang leak yang haus darah dan kekuasaan.
Mang Dirga, dengan tubuh penuh luka dan darah yang merembes dari robekan-robekan di kulitnya, merangkak dengan susah payah mendekati Bagus. Matanya yang sayu namun penuh tekad berkilat dalam kegelapan malam penuh malapetaka itu.
"Dengarkan aku!" teriaknya, suaranya nyaris terhimpit oleh gemuruh energi yang mengamuk di sekeliling mereka. "Ini bukan lagi ritual Panglukatan (pembersihan)! Ritual ini telah berubah menjadi Ritual Penyeimbang! Marni adalah kunci terakhir! Dia harus memilih, sekarang juga!"
"Memilih apa?!" Bagus berusaha bangkit, dadanya sesak oleh rasa takut yang membelit. Tubuhnya goyah, tetapi matanya tidak mau lepas dari sosok Marni.
"Menjadi penyeimbang! Menjadi jembatan antara dua dunia yang saling berperang! Jika dia memilih cahaya, dia bisa mengusir semua kegelapan itu! Tapi jika dia terpengaruh oleh ibunya... dia akan jatuh dan menjadi ratu leak yang baru, pembawa malapetaka tanpa akhir! Segalanya akan hancur!" pekik Mang Dirga.
Sementara itu, dari bayang-bayang kelam yang berputar-putar seperti kabut maut, Balian Rawa dan Ida Rengganis melangkah mendekati Marni yang kini tak berdaya, terjebak di tengah pusaran energi yang mengoyak langit dan bumi. Mereka yang dulu bermusuhan kini bersatu dalam niat jahat mereka, bersekutu tanpa ampun untuk menguasai jiwa Marni dan menjadikan tubuhnya sebagai sosok penguasa kegelapan di dunia manusia.
"Bergabunglah dengan kami, Nak," suara Ida Rengganis bergema, merdu namun beracun, seperti bisikan ular berbisa yang menggoda mangsa. "Lihatlah kekuatan yang kau miliki. Kau bisa memiliki segalanya. Tidak ada lagi yang akan menyakitimu. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi penderitaan."
"Bersamaku, kau akan menjadi yang terkuat," desis Balian Rawa, suaranya penuh janji manis yang mematikan. "Kau bisa membalas semua yang pernah menyakitimu, menghancurkan mereka yang berani melawan."
Dalam kesadarannya yang bergejolak dan terombang-ambing antara hidup dan mati, Marni melihat dua jalan yang mengerikan itu.
Di satu sisi, pelukan dingin ibunya, yang selama ini dirindukannya dan janji kekuatan tanpa batas yang menyesatkan. Di sisi lain, ada Bagus, yang berdarah dan terluka, namun matanya membara penuh cinta dan harapan. Ada kenangan-kenangan indah bersama ayahnya, desa Banjaran yang damai yang pernah menjadi rumahnya sebelum semua mimpi buruk ini bermula.
Pertarungan batin ini adalah yang paling menentukan, pertarungan antara jiwa yang ingin bertahan dan bayangan kegelapan yang ingin menelan semua. Bagus, menyaksikan Marni terjebak dalam pusaran neraka batin itu, tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu, meski tubuhnya lemah dan terluka.
Dengan sisa tenaga yang hampir habis, ia memberanikan diri berlari menembus pusaran energi yang membara. Angin gaib menghantamnya, mencabik-cabik kulit dan dagingnya dengan kristal-kristal membeku yang menusuk hingga tulang. Namun, Bagus terus maju, menjerit memanggil nama Marni.
"Marni! Jangan dengarkan mereka! Itu bukan kedamaian! Itu adalah penjara gelap yang akan memenjarakan jiwamu selamanya! Aku mencintaimu! Ayahmu mencintaimu! Desa ini membutuhkanmu! Sadarlah!"
Ucapan Bagus terbang terbawa angin malam yang dingin, membelah kegelapan yang pekat. Dan untuk sesaat yang sangat singkat, Marni mendengarnya. Kepala gadis itu sedikit menoleh, dan mata mereka bertemu dalam tatapan penuh pergulatan, harapan, dan kehilangan. Amarah Balian Rawa pun meledak.
"Bisukan dia!" raungnya, suaranya seperti gemuruh bumi yang hendak runtuh. Salah satu leak bawahan mereka, Leak Tapa Waru, pengendali badai yang legendaris, mengangkat tangannya yang bertanduk menyeramkan. Dari ujung jari-jari panjangnya melesat sebuah gumpalan energi hitam pekat yang berdesis seperti ular berbisa. Energi itu menghantam dada Bagus dengan kekuatan dasyat, melemparkannya ke belakang seperti boneka yang terseret angin badai. Bagus tergeletak tak berdaya, tubuhnya terhempas keras di dekat Mang Dirga yang terkapar.
"Bagus!" teriak Marni, suaranya pecah oleh kepanikan dan kesedihan. Melihat cintanya terluka parah adalah cambuk terakhir yang mendorongnya untuk melawan.
Kesedihan yang dalam dan murni itu justru membangkitkan kekuatan luar biasa dalam darah leak yang mengalir di nadinya. Kali ini, darah warisan gelap itu tidak berubah menjadi kegelapan yang mematikan, melainkan cahaya putih yang bersinar cemerlang, mengelilingi tubuh Marni dengan aura suci.
Cahaya itu menolak dan mendorong mundur gelombang energi hitam ibunya dan Balian Rawa, membatasi kekuatan gelap mereka hingga ada dinding tak terlihat yang menghalangi.
"Aku menolak!" teriak Marni, suaranya bergema mengguncang langit dan bumi, dipadu dengan suara lain yang lebih tua, lebih bijaksana, seperti bisikan roh penjaga pura yang telah lama terbangun.
"Aku tidak memilih kegelapan, dan aku tidak akan menjadi alat cahaya yang membutakan! Aku memilih keseimbangan! Aku adalah Penyeimbang! Aku penjaga garis batas antara dunia!" teriak Marni.
Balian Rawa dan Ida Rengganis menjerit kesakitan, tubuh mereka terlempar mundur oleh gelombang energi putih yang Marni pancarkan. Cahaya itu tidak memusnahkan mereka, tapi membungkus dan mengurung mereka, melemahkan kekuatan mereka dan mengekang mereka dalam belenggu tak kasat mata.
Marni perlahan turun ke tanah, tubuhnya berdiri dengan tegak dan penuh kewibawaan. Ia bukan lagi gadis rapuh yang dulu dikenal oleh Bagus. Matanya kini berkilau perak, memancarkan kekuatan yang menakutkan sekaligus mengagumkan.
Gadis itu menatap sekeliling, menatap setiap bayangan leak yang tersisa dengan tatapan penuh kewibawaan dan perintah.
"Kembali ke tempatmu," perintah Marni dengan suara yang tak terbantahkan. "Garis batas telah diperkuat. Tidak ada yang boleh melanggarnya." titah Marni lagi.
Satu demi satu, bayangan leak itu menghilang, dipaksa kembali ke alam mereka yang gelap dan jauh, terkunci oleh kekuatan Marni. Hanya Balian Rawa dan Ida Rengganis yang masih berdiri, meski tubuh mereka tampak melemah dan penuh luka gaib.
"Ini belum berakhir, Anakku," desis Ida Rengganis. Ada ketakutan yang samar dalam matanya yang dulu penuh keyakinan.
"Bagi kami, sudah," jawab Marni dengan penuh keyakinan juga. "Tapi aku belum selesai dengan urusanku di dunia manusia." ucap Marni sambil menoleh ke arah Bagus yang tergeletak, tubuhnya tak bergerak namun masih bernafas.
"Dia adalah bagian dari keseimbanganku sekarang. Aku tidak akan membiarkannya mati." Dengan langkah mantap, Marni mendekati Bagus, mengabaikan kedua leak kuat itu seolah-olah mereka tak ada.
Marni lantas berlutut dan meletakkan tangannya di dada Bagus yang berdarah. Cahaya perak memancar dan merambat ke seluruh tubuh Bagus, menyembuhkan luka-luka parah yang menganga di dadanya.
Bagus tersadar dan terbatuk lalu membuka mata perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah mata perak Marni yang penuh kekuatan dan kasih sayang.
Bagus tersenyum lemah, suara serak keluar dari tenggorokannya, "Kau... telah berubah."
"Ya," jawab Marni lembut, "tapi aku masih diriku. Hanya... lebih lengkap."
Marni membantu Bagus berdiri, menegakkan tubuhnya yang rapuh. "Tapi ini semua belum selesai. Ayahku masih terperangkap di antara batas dunia ini. Untuk membebaskan dia sepenuhnya, kita harus pergi ke sumbernya yaitu Gua Miris. Sekarang, aku memiliki kekuatan untuk membuka jalan itu."
Mang Dirga yang menyaksikan semua itu dengan rasa kagum dan haru, mengangguk pelan. "Dia benar. Hanya Penyeimbang yang bisa memasuki gua itu tanpa terjerat oleh jebakan gaibnya. Tapi kau..." matanya menatap Bagus penuh arti, "harus selalu bersamanya. Kau adalah jangkar yang menghubungkan dia ke dunia manusia. Tanpamu, dia akan tersesat selamanya di antara dua dunia, terperangkap dalam kegelapan abadi."
Marni mengulurkan tangan kepada Bagus, tatapannya penuh harapan dan keyakinan. "Maukah kau menemaniku sekali lagi, melewati kegelapan ini?"
Bagus menggenggam tangan itu erat, tanpa ragu. Jawabannya sederhana namun penuh tekad, "Ke mana pun kau pergi."
Dengan keputusan itu, mereka berbalik meninggalkan Pura Kahyangan, meninggalkan Mang Dirga dan Gede Raka yang terluka namun penuh harapan. Marni, sang Penyeimbang, dan Bagus, jangkarnya, kini melangkah menuju Gua Miris, siap menyelamatkan ayahnya...
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰