Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Dua minggu telah berlalu dalam keheningan yang mencekam. Empat belas hari yang terasa seperti berjalan di atas ladang ranjau. Lima puluh nama di papan tulis itu terasa seperti lima puluh bom waktu, dan Daniel Tirtayasa tidak tahu mana yang akan meledak lebih dulu.
Setiap hari adalah rutinitas yang melelahkan. Tim menggali latar belakang keuangan, melacak pergerakan, mewawancarai rekan bisnis secara diam-diam. Pekerjaan itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Keheningan ini tidak terasa seperti perdamaian; rasanya seperti tarikan napas panjang sang predator sebelum menerkam lagi.
Daniel merasakan tekanan itu lebih dari siapa pun. Setiap pagi, ia menatap daftar itu, mencoba menebak siapa di antara wajah-wajah sukses itu yang paling menarik perhatian Sang Hakim. Setiap malam, ia pulang ke rumah dengan beban bahwa salah satu dari mereka bisa menjadi korban berikutnya.
Hingga pada hari kelima belas, sebuah terobosan datang.
“Ndan, saya rasa ada yang aneh.”
Suara Kompol Reza memecah keheningan di ruang komando. Semua mata menoleh padanya.
“Saya sedang menggali data salah satu target di daftar 50 kita. Jonathan Tjahjadi. Mantan bankir, skandal penggelapan, sekarang jadi motivator spiritual.”
“Ya, dia di prioritas sepuluh besar. Kenapa?” tanya Daniel.
“Saya menyisir arsip forum-forum lama terkait kasusnya. Saya menemukan satu pengguna yang sangat vokal di forum korban penipuan Jonathan. Pengguna ini terobsesi. Bukan hanya pada Jonathan, tapi pada konsep ‘pengampunan’ yang didapat Jonathan setelah menyumbang ke beberapa panti asuhan.”
Jantung Daniel mulai berdebar sedikit lebih cepat. “Seberapa vokal?”
“Sangat vokal. Puluhan postingan selama bertahun-tahun. Menggunakan kutipan-kutipan filosofis, teologis. Sangat cerdas, sangat marah. Dia menyebut Jonathan 'Serigala berbulu domba' dan pertobatannya 'lelucon yang dibeli dengan uang haram'.”
“Siapa dia?” tanya Daniel.
“Saya melacak IP-nya,” kata Reza, jari-jarinya menari. “Nama penggunaannya 'Justitia_Vindex'. Tapi saya berhasil menembus anonimitasnya. Namanya Antonius Malik.”
Di seberang meja, Iptu Hasan, yang sedang meninjau arsip kasus lama Jonathan Tjahjadi, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Matanya melebar.
“Malik?” kata Hasan. “Saya baru saja membaca nama itu. Antonius Malik. Dia putra dari salah satu korban Jonathan. Keluarga Malik. Mereka kehilangan segalanya. Ayahnya bunuh diri seminggu setelah putusan pengadilan.”
Ruangan itu mendadak sunyi.
“Ya Tuhan,” bisik Adit.
“Cari tahu semua tentang dia,” perintah Daniel, suaranya kini tegang.
Dua jam berikutnya, ruang komando berdengung oleh energi baru. Mereka tidak lagi mencari di antara 50 nama. Mereka kini fokus pada satu nama.
“Dia cocok, Ndan,” kata Adit, setelah menggali data kependudukan dan media sosial Antonius. “Lulusan terbaik SMA-nya. Masuk fakultas teologi, tapi drop out tepat setelah ayahnya bunuh diri. Dia memiliki luka psikologis yang sempurna.”
“Tunggu,” kata Hasan. “Ini bagian terbaiknya. Setelah putus kuliah, dia bekerja serabutan. Coba tebak di mana dia bekerja selama hampir dua tahun?”
Hasan menempelkan selembar catatan ke papan tulis.
“Asisten perawat. Di bagian kamar mayat, Rumah Sakit Umum Tangerang.”
Semua kepingan puzzle seolah jatuh tepat pada tempatnya. Motif yang sangat kuat. Ideologi yang cocok. Kecerdasan di atas rata-rata. Dan sebuah hubungan bukan lagi hipotesis tapi hubungan langsung dengan dunia medis dan forensik.
“Dia adalah target kita,” kata Hasan dengan keyakinan. “Dia bukan korban. Dia adalah tersangka.”
Daniel merasakan debaran adrenalin. Ini terasa benar. Tapi ia harus yakin.
Satu jam kemudian, wajah Dr. Maya dan Dr. Samuel muncul di layar monitor. Daniel memaparkan semua temuan mereka tentang Antonius Malik.
Dr. Maya adalah yang pertama memberikan analisisnya. Ia mendengarkan dengan saksama, matanya menyipit saat ia mempelajari foto dan kutipan tulisan Antonius.
“Dia cocok dengan beberapa kriteria penting,” kata Dr. Maya hati-hati. “Luka psikologis yang jelas, obsesi pada keadilan, dan kemungkinan narsisme intelektual. Tapi…”
“Tapi apa, Dok?” desak Daniel.
“Ada sesuatu yang tidak pas,” kata Maya. “Tulisan-tulisannya di dunia maya, meskipun cerdas, sangat emosional. Penuh dengan amarah, caci maki. Ini adalah gaya seseorang yang ingin berteriak agar didengar. Ini adalah amarah yang panas.”
Ia menunjuk ke foto TKP Riana Wulandari di papan tulis. “Sedangkan pelaku kita sangat presisi, dingin, dan sunyi. Ini adalah penghakiman yang dingin. Antonius ini terasa seperti orang yang akan melakukan kejahatan karena dorongan impulsif, bukan seseorang yang akan merencanakan ritual metodis selama berminggu-minggu. Personanya tidak cocok dengan eksekusinya.”
Analisis itu mendinginkan semangat di ruangan itu.
“Jadi, Anda bilang dia bukan orangnya?” tanya Hasan, jelas kecewa.
“Saya bilang ada anomali yang signifikan,” koreksi Dr. Maya.
Daniel menoleh ke wajah kedua di layar. “Sam, bagaimana menurutmu? Terutama soal kamar mayat itu.”
Dr. Samuel, yang sejak tadi hanya diam, mencondongkan tubuhnya.
“Analisis Dokter Maya sangat tajam,” Samuel memulai, suaranya yang tenang menarik perhatian semua orang. “Perbedaan antara persona dan modus operandi memang sebuah anomali.”
Ia berhenti sejenak, seolah memberikan bobot pada keraguan Maya.
“Tetapi,” lanjutnya, dan kata itu mengubah seluruh dinamika, “dalam investigasi, kita tidak bisa mengabaikan data empiris. Dan data untuk Antonius Malik sangat kuat. Dia adalah satu-satunya individu yang kita temukan yang memenuhi tiga pilar secara bersamaan: motif yang sangat kuat, ideologi yang terdokumentasi, dan kesempatan untuk memperoleh keahlian yang dibutuhkan. Bekerja di kamar mayat selama dua tahun lebih dari cukup untuk memahami anatomi dasar dan cara kerja instrumen bedah.”
Ia menatap lurus ke arah kamera, seolah berbicara langsung kepada Daniel.
“Mengenai anomali perilaku yang disebutkan Dokter Maya,” kata Samuel, “kita harus mempertimbangkan hipotesis lain. Mungkin saja persona online-nya yang penuh amarah itu adalah sebuah kamuflase? Sebuah misdirection yang sengaja ia ciptakan? Seseorang yang cukup cerdas untuk merencanakan pembunuhan ini tentu juga cukup cerdas untuk menciptakan persona palsu untuk mengelabui para profiler.”
Argumen itu brilian. Samuel tidak hanya menepis keraguan Maya, tetapi ia membalikkannya menjadi sebuah bukti lain dari kecerdasan si pelaku.
Dr. Maya tampak tidak setuju. “Dokter Samuel, itu asumsi yang sangat besar. Kita tidak bisa…”
“Apa kita bisa mengabaikan fakta bahwa dia bekerja di kamar mayat?” potong Samuel, suaranya tetap tenang namun kini ada nada tajam di dalamnya. “Apa kita bisa mengabaikan fakta bahwa ayahnya bunuh diri karena target di daftar kita? Psikoanalisis memang berguna, Dokter Maya, tapi saya lebih percaya pada data forensik yang bisa diukur. Dan data ini menunjuk langsung ke Antonius Malik.”
“Data Anda hanya menunjukkan kemungkinan, bukan kepastian,” balas Maya, suaranya juga mengeras.
“Dan kemungkinan itu adalah petunjuk paling konkret yang dimiliki tim ini dalam tiga minggu,” tutup Samuel.
Kata-kata Samuel bergema di ruangan itu. Logis. Rasional. Berdasarkan bukti. Itu adalah bahasa yang dipahami setiap polisi. Keraguan Maya kini tampak seperti teori psikologis yang abstrak.
Daniel merasa pikirannya menjadi jernih. Samuel benar. Mereka tidak bisa terjebak dalam teori jika ada target nyata di depan mereka.
“Baik,” kata Daniel, membuat keputusan. “Terima kasih atas masukan Anda berdua. Untuk saat ini, Antonius Malik adalah prioritas utama kita.”
Di layar, Dr. Maya terlihat jelas tidak senang, tetapi ia hanya mengangguk patuh.
Daniel berbalik menghadap timnya, wajahnya kini kembali menunjukkan keyakinan. “Hasan, Adit, saya mau pengawasan penuh terhadap Antonius Malik. Fisik dan digital. Saya mau tahu dia bernapas berapa kali dalam semenit. Reza, retas semua perangkatnya. Cari dasar hukum untuk penggeledahan. Kita bongkar hidupnya.”
Sebuah gelombang energi baru menyapu tim. Mereka akhirnya memiliki sebuah wajah. Sebuah nama. Sebuah target.
Malam itu, Ipda Adit dan Bripka Roni (yang dipinjam kembali untuk Satgasus karena pengalamannya) duduk di dalam sebuah van tanpa penanda. Van itu diparkir di seberang sebuah kompleks apartemen sederhana di Jakarta Timur.
Adit mengangkat radio komunikasi, suaranya berbisik. “Dia ada di dalam, Ndan. Lantai empat. Lampunya baru saja menyala.”
Suara Daniel terdengar dari seberang. “Tetap di posisi. Jangan biarkan dia lepas dari pandangan sedetik pun. Kita dapatkan dia.”
Di dalam van yang gelap itu, Adit merasakan getaran kemenangan. Mereka berada di ambang penyelesaian kasus ini. Harapan palsu itu terasa begitu nyata dan hangat.