NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Nindya,” sapanya sambil menarik kursi untuknya, sebuah sikap sopan yang jarang ia temui dari lelaki lain.

Nindya duduk, menyibakkan rambutnya yang sedikit basah terkena gerimis. Ia menatap Andrew tanpa senyum.

“Andrew, aku harus bicara jujur,aku… aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini.”

Andrew terdiam sesaat, lalu mencondongkan tubuhnya.

“Apa maksudmu?.”

“Aku merasa seperti berada di persimpangan, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”

Andrew menatapnya dalam-dalam.

“Aku mengerti ketakutanmu, Nindya.:

"Tapi dengar ini aku sudah mengatakan apa adanya,harus bagaimana lagi meyakinkan kamu?.”

Nindya menelan ludah. Kata-kata itu indah, terlalu indah. Tapi justru karena itulah ia ragu. “Akupun tidak tahu bagaimana membangun kepercayaan pada orang baru,”

Andrew menghela napas panjang.

“Atau kamu masih berada di bawah bayang bayang mantan suamimu?."

"Tidak ..saya sudah lama mengubur semua kenangan tentang dia” tukas Nindya.

“Lantas apa yang membuatmu sulit percaya pada orang baru,” jawab Andrew mantap.

“Trust issue.” sahut Nindya singkat

Nindya menunduk, jemarinya meremas cangkir kopi yang masih mengepul. Dalam hati, ia ingin sekali percaya.

Tapi bayangan masa lalu selalu datang menghalangi. Ia seperti berjalan di jalan sempit yang diapit jurang di kiri dan kanan.

Ketika mereka berpisah sore itu, langkah Nindya terasa berat. Ia sadar, keputusan apa pun yang ia ambil akan membawa konsekuensi besar.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan ketakutan—takut kehilangan kesempatan untuk bahagia, tapi juga takut terjerumus pada luka yang sama untuk kedua kalinya.

Suasana kafe sore itu hangat. Aroma kopi bercampur dengan suara musik akustik yang lembut.

Nindya dan Andrew duduk di pojok dekat jendela, menikmati waktu setelah seharian tenggelam dalam pekerjaan. Di luar, hujan baru saja reda, menyisakan sisa rintik yang menempel di kaca.

Nindya menatap Andrew, berusaha menyingkirkan keraguan yang akhir-akhir ini semakin menggerogoti hatinya. Andrew terlihat santai, menikmati alunan musik.

Namun ketenangan itu pecah ketika ponsel Andrew bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuat degup jantung Andrew lebih cepat, Michelle?!.

Ia menelan ludah, cepat-cepat meraih ponsel. Tapi Nindya sudah sempat melirik. alisnya bertaut.

“Kenapa tidak diangkat?” tanya Nindya, suaranya tenang tapi penuh tanda tanya.

Andrew berusaha tersenyum.

"Michelle kan?."Namun Andrew sepertinya tidak mendengar ucapannya.

Namun ponsel kembali bergetar. Kali ini Andrew tak punya pilihan selain mengangkat. “Halo?” suaranya berubah, lebih lembut, nyaris intim.

Nindya memperhatikan.Nada itu berbeda dari biasanya, dan itu cukup membuat perutnya mual.

“Ya, aku sedang di luar,” kata Andrew di seberang.

“Nanti kita bicarakan loupo.”

Nindya merasakan darahnya berdesir. Kata-kata itu sederhana, tapi intonasi Andrew terlalu akrab. Ada sesuatu di balik percakapan itu yang tidak bisa ia abaikan.

" Lǎopó?... Bukankah itu artinya istri?."Gumam Nindya dalam hati.

Andrew menutup panggilan dengan cepat, meletakkan ponsel, lalu menatap Nindya dengan senyum yang dipaksakan.

Tapi Nindya tidak bisa diam.

“Michelle?” tanyanya, menatap lurus tanpa berkedip.

Andrew terdiam, jelas tidak siap.

“Bukan… rekan lama urusan pekerjaan.”

“Urusan pekerjaan?! ...jelas jelas itu Michelle” suara Nindya meninggi, membuat beberapa pengunjung kafe menoleh sekilas.

“Andrew, aku ini bukan anak kecil dan aku tidak buta!.”

Andrew mencondongkan tubuh, mencoba meredakan ketegangan.

“Nindya, dengar aku jangan salah paham.”

“Sudah jelas kamu berbohong, kamu masih menyangkal ” Mata Nindya mulai berkaca-kaca, tapi nadanya tetap sengit

Andrew menghela napas panjang, lalu menutupi wajahnya sebentar dengan telapak tangan. Ia tahu, apa pun penjelasan yang ia berikan akan terdengar sebagai pembelaan

“Aku tidak bermaksud menyakitimu,” ucapnya akhirnya.

 “Fine.. itu emang Michelle dia hubungi aku karena anakku sakit Nindya.”Akhirnya Andrew jujur tentang siapa yang menelfonnya.

“Oh ya?” Nindya tertawa getir.

“Anak sakit tapi dari nada bicara kamu lebih seperti ke orang yang sedang membujuk wanita yang sedang marah." Bantah Nindya

Andrew hendak meraih tangannya, tapi Nindya cepat-cepat menepisnya. Tatapannya penuh luka bercampur marah.

“Andrew, hubungan yang di landasi kebohongan itu, seperti membangun istana pasir di tepi pantai begitu tersapu ombak habis tanpa sisa.”Ucap Nindya. Menganalogikan hubungannya.

Suasana meja mereka menjadi dingin. Tak ada lagi tawa, hanya keheningan yang menekan.

Andrew akhirnya berkata lirih,

“Aku tidak mau kehilangan kamu Nindya.”

“Kamu tidak begini andrew.. Saya tidak keberatan untuk mundur karena dia lebih dulu hadir “Nindya memberikan pilihan yang membuat napas Andrew sesak.

"Aku tidak mau di duakan, apalagi jadi orang ketiga"Lanjut Nindya

Andrew tidak bereaksi sedikitpun wajahnya terlihat kacau.

Mereka duduk lama dalam diam, masing-masing bergulat dengan pikirannya. Nindya tahu hatinya sudah terlanjur terikat, tapi logikanya berteriak agar segera menjauh.

Andrew, di sisi lain, merasa semakin terjepit—antara janji lamanya dengan Michelle dan keinginan barunya bersama Nindya.

Ketika akhirnya mereka beranjak pulang, tidak ada ucapan perpisahan manis, hanya langkah kaki berat yang meninggalkan kafe bersama-sama namun dengan hati yang semakin jauh.

Sejak malam itu di kafe, ada jarak yang nyata terbentang di antara Nindya dan Andrew. Meski mereka masih berada dalam satu kantor, interaksi mereka berubah dingin, kaku, dan penuh kehati-hatian.

Nindya sengaja menjaga jarak. Ia tidak lagi merespons pesan Andrew di luar urusan pekerjaan.

Jika Andrew mencoba mendekati, Nindya mencari alasan untuk menghindar. Semua sikapnya kini terukur, seolah ada tembok tak kasat mata yang ia bangun untuk melindungi dirinya.

Di ruang kerja, Andrew menatap meja Nindya dari balik pintu kaca. Perempuan itu tampak sibuk, matanya menatap layar komputer, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard.

Namun Andrew tahu, bukan hanya pekerjaan yang memenuhi pikirannya. Ada luka, ada kekecewaan yang ia sendiri yang menanam.

Rapat pagi pun berjalan dengan hambar. Biasanya Nindya selalu aktif menyampaikan ide, berdiskusi hangat dengan Andrew, bahkan sesekali menyelipkan candaan kecil yang membuat ruangan lebih hidup.

Kini, ia hanya bicara seperlunya, dengan nada datar, tanpa menoleh ke arah Andrew sama sekali.

“Baik, itu saja dari saya,” ucap Nindya setelah menyampaikan laporan. Ia segera menutup mapnya dan duduk kembali.

Andrew memperhatikan, tapi tidak berani menanggapi lebih jauh. Rekan-rekan lain jelas menyadari perubahan suasana, meski tak seorang pun berani bertanya.

Usai rapat, Andrew berusaha menghampiri. “Nindya, sebentar…”

Namun Nindya cepat-cepat berdiri, meraih berkas, lalu berkata singkat,

“Saya ada janji dengan tim finance, Pak.”

Ia melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan Andrew yang hanya bisa memandang punggungnya. Rasanya seperti ada dinding es yang semakin tebal di antara mereka.

Sepanjang hari, Andrew berulang kali mencoba membuka percakapan, tapi Nindya selalu menemukan cara untuk menghindar. Kadang pura-pura sibuk, kadang alasan rapat, atau bahkan sengaja membatasi jawaban dengan satu-dua kata.

Saat sore tiba, Andrew akhirnya memberanikan diri. Ia mengetuk pintu ruang kerja Nindya, lalu masuk tanpa menunggu terlalu lama.

“Nindya, kita perlu bicara,” ucapnya tegas.

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!