Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16
Entah apa yang ada dalam pikiran Nindi sebenarnya. Karena pada akhirnya, yang dia pilih adalah, ikut bersama Sadan ke mobil si pria. Terlepas dari segala hal, yang ada dalam pikiran Nindi saat ini hanyalah ingin pergi. Tidak ingin tetap tinggal di tempat itu lagi.
Suasana senyap tanpa suara. Hanya deru mesin mobil berpadu dengan rintik hujan saja yang terdengar. Sesekali, Sadan mencuri pandang untuk melihat wanita yang sedang duduk di kursi belakang dari mobilnya.
"Kita-- "
"Tolong, antar kan aku ke rumah ayah ku. Bisa 'kan?"
"Rumah ayah mu? Di mana? Katakan saja alamatnya. Aku bisa mengantarkan kamu ke mana saja yang kamu inginkan."
Nindi langsung menyebutkan alamat yang harus mereka tuju. Sadan pun langsung mengiyakan apa yang Anin katakan. "Baiklah kalau gitu. Kita akan ke sana. Tapi, sebelum kita ke sana, apa tidak sebaiknya kamu ganti dulu baju mu yang basah itu? Aku punya baju, di sekitar sini ada toilet umum. Untuk penutup kepala, kamu bisa gunakan handuk itu terlebih dahulu. Bagaimana? Kamu mau?"
"Tidak. Tidak usah. Terima kasih untuk pinjamannya. Tapi, aku rasa, aku tidak ingin melakukannya. Aku hanya ingin segera pulang."
Suara Sadan yang sebelumnya penuh semangat pun langsung berubah. "Baiklah. Kalau itu yang kamu inginkan, kita akan segera pulang."
Kecepatan mobil tidak bertambah. Namun, mobil itu terus berjalan dengan pelan di jalan yang basah. Hujan pun masih tidak kunjung mereda. Sesekali, Sadan yang fokus ke jalan mencuri pandang untuk melihat si wanita yang duduk diam di kursi belakang.
Hatinya berkata tanpa sadar. 'Siapapun kamu, aku tidak perduli. Mau kamu istri dari sepupuku, atau mantan istri. Aku tidak akan pernah mempermasalahkan status itu. Karena hatiku, tidak akan pernah rela melihat kamu terluka.'
"Anu ... nona. Bisa aku tahu ... nama kamu?"
Nindi langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya lurus ke depan. "Namaku ... Anindia. Terserah mau panggil Anin atau Nindi. Panggil apapun, sama saja."
"Oh, wah. Nama yang indah. Seindah orangnya. Anindia. Mm ... Nindi saja."
Sementara Sadan terus sibuk dengan ocehannya, Nindi malah memilih untuk tetap bungkam. Hingga pada akhirnya, mereka tiba ke tempat yang ingin mereka tuju. Kediaman orang tua Anindia.
Sadan turun duluan sambil membawa payung. Setelah membuka pintu mobil untuk Nindi, matanya sibuk mengamati sekeliling. Tentu saja tempat itu membuatnya sedikit bingung. Tempat yang sangat tidak asing lagi untuk dirinya.
"Ini ... rumah ayah kamu, Nindi?"
"Iya. Ini rumah ayah. Kenapa? Apa rumah orang tua ku terlalu kecil?"
"Ah, bukan. Tidak. Bukan itu maksudku. Anu-- "
Belum sempat Sadan menyelesaikan ucapannya, seorang lelaki paruh baya langsung mengalihkan perhatian mereka. Lelaki yang memang tidak asing di mata Sadan.
"Anin." Lelaki itu menatap Nindi dengan tatapan penuh tanda tanya. Tatapan lekat penuh selidik. "Bayah? Kenapa, Nak?"
"Ayah." Tidak perlu menunggu lama. Anindia langsung menghambur ke dalam pelukan si pria yang tak lain adalah ayah kandungnya. Pria yang selama ini sudah membesarkan Anindia seorang diri. Dialah sosok ayah, dia jugalah sosok ibu untuk wanita tersebut.
Anindia menangis dalam pelukan ayahnya. Tidak dia pikirkan lagi tubuhnya yang basah, yang sedang mendekap si ayah. Karena yang ada dalam pikiran Anindia saat ini hanyalah, dia butuh bahu sebagai tempat bersandar. Mencurahkan seluruh keluh kesah yang sedang dia pendam.
"Ayah."
Anindia terus menangis. Si ayah yang bingung hanya terus membelai punggung anaknya dengan penuh kasih. Sementara Sadan yang ada di tengah-tengah mereka, hanya bisa diam menyaksikan pelukan ayah dan anak yang terlihat sungguh menyentuh hati.
Beberapa saat lamanya pelukan itu terjadi. Hingga akhirnya, ayah Nindi melonggarkan pelukan mereka. Ayah dan anak itupun langsung melepas pelukan.
"Anin, apa yang terjadi?"
Nindi yang menangis tentu saja tidak akan memberikan jawaban yang ayahnya inginkan. Sementara si ayah yang bertanya, merasa tidak mendapatkan jawaban, langsung mengalihkan pandangan ke arah Sadan.
"Nak Sadan."
"He ... pak Roslan. Maaf, saya .... Saya menemukan Nindi di jalan. Katanya, dia ingin pulang. Jadi, saya antar kan." Sadan menjelaskan dengan sangat hati-hati.
Sayangnya, penjelasan yang Sadan berikan malah terasa aneh di telinga ayah Nindi. Anehnya karena penjelasan yang Sadan berikan terkesan seolah, Sadan sudah mengenali Nindi dengan sangat baik. Padahal, sebelumnya, keduanya sama sekali tidak saling kenal.
"Nak Sadan. Apa ... kalian sudah saling kenal sebelumnya?"
"Anu, ah. Belum, Pak. Tapi, anu-- " Sadan yang gugup malah tidak tahu harus bicara apa. Sungguh, pria itu kini menjadi sangat gugup karena perasaannya yang takut akan salah bicara di depan ayah dari wanita yang sudah membuatnya merasa cukup tertarik.
"Ah, nanti saja bicaranya. Ayo! Masuk dulu."
Tanpa berniat menolak sedikitpun, Sadan langsung menerima ajakan itu. Mereka masuk ke rumah. Sementara Nindi dan ayahnya mengganti pakaian karena basah, Sadan di tinggal seorang diri di ruang tamu.
Sadan terdiam sendirian di sana. Dia perhatikan lagi semua yang ada di ruangan tersebut. Rumah yang sudah beberapa kali ia kunjungi, tapi tidak pernah menarik perhatiannya. Karena dulu, saat ia berkunjung, dia hanya akan bicara soal tanaman hias yang selalu menarik perhatiannya.
Tapi sekarang, yang membuatnya tertarik bukan lagi tanaman atau tumbuh-tumbuhan milik si lelaki yang punya rumah. Melainkan, anak yang si lelaki miliki.
Mata Sadan tertuju pada bingkai foto keluarga yang terlihat sudah sangat tua. Foto gadis kecil terpajang di sana. "Apa itu ... dia?"
Baru juga Sadan ingin bangun dari duduknya, ayah Nindi malah sudah menampakkan diri.
"Maaf, nak Sadan. Bapak membuat kamu menunggu lama."
"Ah, gak papa, pak Ros. Santai saja."
"Tunggu sebentar. Bapak buatkan air hangat untukmu ya."
"Ah, tidak, Pak. Gak perlu."
"Tapi, cuaca sedang sangat dingin. Air hangat adalah pilihan yang paling baik untuk menghangatkan tubuh. Tunggu sebentar, biar bapak buatkan."
"Ayah. Biar aku saja. Ayah duduk saja temani tamu kita. Aku yang bikin," ucap Nindi yang baru muncul dari balik pintu kamar.
"Baiklah."
Tidak membutuhkan waktu lama, Anindia selesai menyiapkan teh hangat untuk Sadan dan ayahnya. Obrolan mereka berlanjut kini dengan Nindi yang ikut bergabung setelah meletakkan teh hangat.
Ngobrol sesaat, akhirnya, Sadan pulang. Anindia malah bersedia mengantarkan Sadan hingga depan pintu rumah. Sebelum benar-benar pergi, Sadan Huda melontarkan pertanyaan yang sejak tadi dia tahan.
"Nindi. Apa ... sekarang, kamu sudah baik-baik saja?"
Nindi terdiam sesaat. Setelahnya, barulah jawaban singkat dia lontarkan. "Iya. Sudah."
"Terima kasih sudah bersedia mengantarkan aku sampai ke rumah ayah."
"Ah, tidak perlu berterima kasih. Jujur, aku sedikit terkejut dengan kenyataan yang ternyata kamu adalah anaknya pak Roslan. Anaknya bapak yang sering aku minta bantuan untuk merawat pohon-pohon kesayangan ku."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.