Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 16.
Lain kali Malik akan lebih giat belajar mengarang cerita. Tak usah lah terlalu jujur kalau dengan Anindya. Bilang saja habis berkelahi dengan preman saat sedang nongkrong di warkop seberang rumah sakit. Sebagian uangnya dirampok dan tangan kirinya jadi sasaran bacokan celurit. Biar nekat begitu, Malik tahu tekad Anindya tidak akan seberapa bulat kalau sadar lawannya lebih kuat. Lain cerita kalau gadis itu tahu lawannya lebih lemah, bisa dikejarnya sampai lubang semut sekalipun.
Sebab sekarang Malik menyesal sudah bercerita jujur soal ular dan si gendut. Gara-gara tahu kalau pelaku kekerasan terhadap Malik hanyalah makhluk berbulu dengan ukuran tubuh sepersepuluh dari ukuran tubuhnya, Anindya jadi bertekad untuk menemukan si gendut dan mengajaknya bicara. Katanya, Si gendut itu harus minta maaf! Padahal si gendut cuma hewan yang tidak punya pikiran. Bagaimana pula caranya membuatnya minta maaf?
"Udahlah, Anin, kita balik aja. Lagian itu kucing liar, belum tentu juga kamu bisa ketemu dia lagi di sini."
Di posisi jongkok dengan mata selalu waspada, Anindya menolehkan kepala. Raut wajahnya lebih serius daripada dosen pembimbing Malik yang berjuluk Pembunuh Berdarah Dingin.
"Nggak mau." Si keras kepala menggeleng. "Anin bakal temukan si gendut jelek itu dan bikin dia minta maaf sama Mas Malik."
"Dia cuma hewan."
"Hewan juga bisa diajak bicara!" Kesal, Anindya bangkit lalu bersedekap. Dagunya terangkat penuh percaya diri. "Caca juga hewan, tapi bisa diajak bicara. Kalau dia bikin salah dan Anin marahin, dia ngerti. Kalau Anin lagi sedih, dia bisa berusaha buat hibur."
"Caca kan anjing rumahan, beda sama si gendut yang cuma kucing liar."
Sanggahan Malik itu malah dibalas dengan telapak tangan tersodor di depan wajahnya. Anindya seakan ingin membungkam, tak mau terlibat perdebatan lebih jauh.
"Anindya."
"Kalau Mas Malik capek, balik aja sana. Anin bisa tungguin si gendut itu sendirian di sini." Lalu si keras kepala kembali ke posisi; jongkok, kepala celingukan, mata berlarian memindai semak-semak lebat.
Sedangkan Malik dilanda dilema hebat. Kalau ditinggalkan sendiri, takut Anindya kenapa-kenapa. Walaupun si ular merah merona merekah itu termasuk makhluk nokturnal, bukan tidak mungkin bisa muncul di tengah hari bolong begini kalau ketenangannya diusik. Tapi kalau Malik harus menunggui Anindya sampai ketemu si gendut, dia khawatir kepalanya akan meledak saking panasnya cuaca.
"Balik aja ayo," bujuknya sekali lagi.
Habis keras kepala, Anindya macak tuli. Omongan Malik tidak didengar sama sekali. Masih asyik saja tuh celingukan macam agen FBI sedang bertugas mengincar target.
"Anindya."
Tak dijawab.
"Ayolah."
Tetap dicueki.
"Anindya Semesta."
Hanya embusan napas disusul decakan keras.
Malik memejamkan mata. Keras upayanya menyabarkan diri menghadapi manusia kecil mungil bernama Anindya Semesta ini.
"Saya tinggalin beneran ya."
Masih tidak dijawab juga.
Mata Malik terbuka dan di hitungan ketiga, dia balik badan. Sibuk saja benaknya meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa, Anindya akan baik-baik saja. Berdoa saja di antara dua hal: si gendut segera ketemu atau Anindya lelah lalu memutuskan menyerah.
Tapi ujung-ujungnya tidak tega juga. Baru enam langkah pergi, Malik berhenti. Dia berbalik dan melihat Anindya masih tidak beranjak dari posisinya semula.
"Kalau satu jam ke depan nggak ketemu juga, kamu harus berhenti."
Nah, nah. Sudah berfungsi kembali kupingnya Anindya. Walaupun tatapannya jadi setajam mulut tetangga.
"Kalau enggak, saya panggil damkar buat gotong paksa kamu biar pergi dari sana."
"Apaan tiba-tiba damkar? Jangan suka menyalahgunakan wewenang deh."
"Nggak ada hubungannya sama penyalahgunaan wewenang. Jangan asbun kenapa sih jadi orang."
Kejulidan Anindya mulai muncul tipis-tipis. Karena malas menghadapi, Malik langsung balik badan dan tancap gas pergi. Sambil jalan sambil mengatur timer di ponselnya. Kalau dalam satu jam ke depan Anindya betulan tidak kembali, akan Malik bawa paksa gadis itu entah bagaimana pun caranya. Panggil damkar pun tak masalah.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Masalah Anindya dan ambisinya menemukan si gendut saja belum selesai, kini Malik juga harus menghadapi Yudhis dengan segala drama yang mendadak hadir. Padahal sudah diwanti-wanti untuk stand by di kantor kalau-kalau ada pekerjaan urgent yang hanya mereka berdua bisa tangani. Tapi Yudhis malah secara ceroboh memilih mengikuti permintaan Anindya: datang ke rumah sakit untuk merawatnya.
"Cuma tangan kiri saya yang luka, tangan kanan masih berfungsi sebagaimana mestinya."
Malik bicara begitu setelah sesendok penuh nasi campur mendarat persis di depan mulutnya. Oma dari ranjangnya sana menertawakan pelan, sambil menikmati buah potong yang Yudhis juga bawakan. Sedangkan Yudhis si pelaku bersikeras menodong sendok sampai Malik membuka mulutnya. Di hati dan pikirannya sudah terpatri satu instruksi: merawat Malik dengan baik.
"Kalau nggak kamu singkirin, gaji kamu saya potong setengah."
Tapi sepertinya ancaman itu tidak mempan. Yudhis menggeleng dan malah menabrakkan sendok ke permukaan bibir Malik pelan-pelan.
"Ardana Yudhistira." Malik setengah menggeram, namun Yudhis tetap tidak goyah.
Malik heran. Sebab tidak biasanya Yudhis berani mengabaikan perintahnya. Dia tidak tahu saja kalau ancaman Anindya jauh lebih dahsyat daripada sekadar gaji dipotong setengah.
Kalau Mas Yudhis nggak rawat Mas Malik dengan baik, saya bakal sebarin rumor kalau Mas Yudhis aslinya gay.
Ough Yudhis merinding sekali kalau ingat tone suara Anindya waktu mengatakannya. Terdengar sungguh-sungguh dan penuh tekad membara. Dipotong gaji tak seberapa (walau merana juga), daripada harus menghadapi dunia yang mencap dirinya sebagai penyuka pria.
"Aaaa...." Demi harga dirinya, Yudhis akan terjang badai kemarahan Malik. Sekonyong-konyong dia selundupkan sendok ke dalam mulut sang bos. Mendalami peran ibu-ibu yang punya seribu satu cara menghadapi balita GTM.
"Nah, kunyah pelan-pelan, Pak. Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru. Saya sabar kok suapin Bapak sampai makanannya habis."
Beruntung saja mulut Malik penuh, jadi dia tidak bisa mengomel lagi. Toh sudah terlanjur di dalam mulut, Malik mengunyah makanannya pelan-pelan sesuai instruksi Yudhis.
Tak terasa setengah piring habis dilahap. Yudhis tersenyum bangga. Setidaknya untuk saat ini, reputasinya selamat dari ancaman Anindya.
"Aaaa lagi." Yudhis menyodorkan satu sendok lagi. Namun, Malik mencegah sendok itu mendekati mulutnya sebab distraksi datang dari arah lain.
Ponselnya di atas meja menyala terang, menunjukkan satu panggilan masuk.
"Udah, saya kenyang." Malik ambil ponselnya, dipencet tombol hijau, lalu ditempelkan ke telinga.
"Halo, kena--"
"Mas Malik! Cepetan balik ke taman!"
Malik refleks bangkit dari sofa. Dadanya bergemuruh. Pikirannya bercabang dengan berbagai kemungkinan. Mendadak panik mendengar suara Anindya menggaung kencang bagai gelegar petir di siang bolong.
"Apa? Kenapa?"
"Cepetan!"
Fak kewarasan dan pikir panjang. Malik langsung berlari kencang menuju TKP.
"Tunggu, saya ke sana sekarang!" serunya. Walaupun tidak tahu apa gerangan yang terjadi.
Bersambung....