Sulastri tak menyangka kalau dia akan jadi korban pemerkosaan oleh pria yang tak dia kenal, dia sampai hamil dan dihakimi oleh warga karena merasa kalau Sulastri merupakan wanita pembawa sial. Sulastri meninggal dunia dan menjadi kuntilanak.
Wanita yang menjadi kuntilanak itu datang kembali untuk membalas dendam kepada orang-orang yang dulu membunuhnya, dia juga terus gentayangan karena mencari siapa yang sudah merenggut kesuciannya.
Jangan lupa follow Mak Othor biar gak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BD Bab 16
"Ayah, kok bengong aja?"
Juragan Saleh sedang melamun dengan dalam di dalam ruang kerja khusus untuk dirinya, Dea yang baru saja masuk merasa heran melihat ayahnya yang hanya diam sambil memangku dagunya dengan kedua telapak tangannya.
"Eh? Sayang, kamu kenapa datang? Nggak jagain warung?"
Bukannya menjawab pertanyaan dari putrinya, juragan Saleh justru malah bertanya kembali kepada putrinya itu. Dia menghampiri putrinya dan dengan cepat mengajak putrinya itu untuk duduk di atas sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Aku sengaja datang ke sini, mau beli bakso. Kata Sultan kalau seduh mie-nya pake bakso pasti lebih enak. Jadi sengaja datang ke sini, terus... Kenapa Ayah bengong aja?"
"Nggak apa-apa, bagaimana dagang hari ini?"
Juragan Saleh sebenarnya merasa aneh dengan sikap istrinya tadi malam, entah apa yang ingin disampaikan oleh istrinya dia sungguh tidak paham. Wanita itu terus menangis sambil menunjuk obat, tapi dia tak tahu apa maksud dari hal itu.
"Lumayan, Yah. Ternyata banyak yang beli, banyak kuli panggul dari pasar yang datang untuk ngopi. Ada juga beberapa orang yang datang untuk sekedar beli gorengan atau makan mie," jawab Dea.
"Alhamdulillah, ya udah ayo ke tempat pembuatan bakso. Kamu pilih sendiri baksonya, mau yang ayam, daging atau ikan."
"Siap, Yah."
Dea membeli beberapa bungkus bakso, saat Dea sedang memilih bakso yang akan dia beli, Dea bertemu dengan Johan. Pria itu mendekati Dea dan menyapa wanita itu.
Terlihat sekali jika Johan ingin mendekati Dea, tetapi Dea mengabaikannya. Karena dia datang ke sana bukan untuk mendekati anak buah ayahnya, tetapi dia datang untuk membeli bakso.
"Neng Dea buka warung deket perkebunan?"
"Iya," jawab Dea biasa saja.
"Wah! Kapan-kapan saya boleh dong mampir untuk ngopi di sana?"
"Boleh, tapi jangan ngutang. Nggak nerima kasbon," jawab Dea.
"Neng Dea bisa aja, mana mungkin saya kasbon. Setiap satu minggu sekali saya pasti gajian, kalau sekedar buat beli kopi atau beli mie instan saya masih sanggup."
"Kalau gitu saya tunggu, belinya yang banyak."
"Siap," ujar Johan bersemangat.
Setelah itu dia kembali ke warung. Dea tersenyum karena ketika dia datang, Sultan sedang sibuk melayani. Dea merasa kagum juga terhadap Sultan, karena ternyata pria itu bisa menjadi pelayan di warung.
"Cape ya, pas aku tinggal?"
"Capek sih, tapi seru."
Keduanya tertawa, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Hingga saat malam hari tiba ada mobil bak terbuka yang datang dan masuk ke perkebunan, tak lama kemudian seorang pria muda dan juga pria paruh baya mampir di warung. Karena bak terbuka itu sedang diisi oleh sayuran.
"Nang Dea? Jadi yang buka warung beneran Neng Dea?"
Wisnu ternyata yang datang ke perkebunan bersama dengan sang sopir, dia menjadi kernet agar mendapatkan upah. Dia akan pergi mengantarkan sayur ke kampung sebelah dengan sang sopir.
"Iya, Kang. Mau ngopi?"
"Iya, Neng. Biar gak ngantuk, soalnya habis nganter ke kampung sebelah, mau anter ke pasar juga."
Dea mengernyitkan dahinya, lalu dia menolehkan wajahnya ke arah Sultan.
"Memangnya sekarang perkebunan buka terus ya? Terus, pasokan sayurnya langsung dari kebun?"
"Iya, kalau pagi sampai malam ayah yang urus. Kalau malam sampai pagi bang Syahdan yang urus, mereka sudah sepakat."
Dea mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti, ternyata kalau orang kota itu taktik berjualannya jauh beda dengan orang kampung.
"Oh, memangnya bang Syahdan itu siapanya kamu sih?"
"Orang kepercayaan ayah, dia udah lama ikut ayah. Udah buruan bikinin kopi, aku buatkan mie untuk pak sopir."
"Oke," ujar Dea.
Setelah dibuatkan kopi oleh Dea, Wisnu menyeruput kopi itu sambil menatap wajah cantik Dea. Dia tidak menyangka kalau wanita yang dulunya merupakan anak pemilik perkebunan, kini malah menjadi pelayan warung kopi.
Baru beberapa teguk dia meminum kopi hitam itu, tiba-tiba saja dia merasa ingin buang air kecil. Namun, saat hendak menumpang ke kamar mandi, ternyata ada Sultan di dalam kamar mandi itu.
"Ah! Tibang pipis doang, di kebun juga tak apa. Nyari tempat sepi aja, biar gak ada orang yang lihat."
Wisnu akhirnya pergi ke perkebunan, dia menolehkan wajahnya ke kanan dan juga ke kiri. Setelah merasa tidak ada orang, pria itu menurunkan resleting celananya, lalu mengeluarkan miliknya dan menuntaskan hajatnya.
"Kang! Lagi apa?"
Wisnu yang baru saja selesai pipis begitu kaget dengan kedatangan Dea, dia merasa malu juga karena burung perkutut miliknya itu masih ada di luar sarang. Pria itu dengan cepat hendak memakai celananya dengan benar, tetapi niatnya dia urungkan ketika Dea mencekal pergelangan tangannya.
"Eh? Kenapa, Neng?" tanya Wisnu dengan wajahnya yang memerah karena malu. Bagaimana Wisnu tidak malu kalau saat ini Dea sedang menatap miliknya.
"Kok peot sih, Kang?"
"Itu, anu. Itu----"
Wisnu kebingungan untuk menjawab, karena memang milik pria hanya akan berdiri ketika pagi hari menjelang atau saat sedang ingin hal yang lebih.
"Kasihan banget peot, dingin ya? Mau diangetin? Mau Dea bangunin?"
"Hah?"
Wisnu begitu kaget mendengar apa yang ditawarkan oleh Dea, karena seingatnya Dea merupakan wanita polos. Wanita itu baru lulus SMA, jangankan menikah, terdengar berpacaran saja belum pernah.
Namun, wanita itu memang 6 tahun berada di kota. Kalau misalkan pernah melakukan hal itu, itu merupakan hal yang wajar. Karena banyak orang yang melakukan pergaulan bebas di kota sana.
"Ma---maksudnya bagaimana, Neng?"
Dea tersenyum, lalu dia berjongkok. Tak lama kemudian Dea menurunkan celana yang dipakai oleh Wisnu, pria itu sampai memelototkan matanya.
"Neng Dea mau apa?" tanya Wisnu pelan tapi penuh penekanan.
ternyata begitu ceritanya... dasar laki-laki...
jahat pula...
kalo ada udaku geplek pala abg syahdan 🤣
syahdan ini udah termakan omongan ibunya.. kasihan juga sih.. nggak tau apa-apa, malah dimanfaatkan ibunya..