Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
He is gone
Saat sedang marah, atau dalam keadaan emosi yang tidak terkendali. Ada baiknya kita tidak mengambi keputusan apapun. Karena itu akan menghasilkan efek yang diluar dugaan.
Alex, Rehan, Ira, Amelia dan Harlan duduk di kursi di ruang keluarga. Suasana ketegangan sangat kental menyelimuti keluarga itu. Mereka menunggu sang kepala keluarga berbicara. Sejak tadi dia hanya diam seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Papa benar-benar tidak menyangka, jika selama ini kalian memiliki hubungan. Sudah berapa lama?”
“Setahun lebih, Om.”
“Dan kalian menyembunyikan ini dari kami?”
“Nggak. Mama tau.” Ira menjawab.
“Mama membiarkan mereka begitu saja?”
“Tidak, mama memantau mereka. Mama juga membaca chat mereka setiap sepekan sekali.”
Ucapan Ira membuat Harlan sedikit terkejut dan juga merasa malu. Selama ini chat mereka dibaca oleh Ira.
“Maaf,” bisik Amelia bahkan tanpa suara saat Harlan meliriknya meminta penjelasan.
Alex menghela nafas berat. Dia menahan amarah pada anak sekaligus istrinya. dia merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri.
“Saya tidak melakukan hal-hal di luar norma, Om. Entah itu perkataan ataupun perbuatan. Saya tulus mencintai Amelia dan—”
“Om tau, Lan. Om percaya sama kamu. Hanya saja om merasa kecewa sama ibunya anak-anak. Dia bahkan menyembunyikan ini dari saya.”
“Pa, mama hanya tidak ingin papa marah pada Amelia dan melarang Harlan main lagi ke sini. Mama cuma takut nanti kita akan jadi canggung.”
“Apapun masalahnya, berbohong bukanlah solusi yang baik.”
“Maaf, Pa.”
Alex kembali terlihat mencoba mengatur nafas nya.
“Om bukan tidak setuju, kalian boleh menikah dengan siapapun tapi tidak untuk pacaran. Banyak mudzorotnya. Sekarang kalian akrab satu sama lain, kalau terlibat pacaran dan putus, maka silaturahmi akan terputus selamanya. Beda jika kalian taaruf dan langsung menuju jenjang pernikahan.”
“Iya, Om. Saya minta maaf kalau memenjarakan Om kecewa, tapi saya tidak akan meminta maaf telah mencintai Amelia. Meski terlihat hanya sekedar main-main, tapi saya serius. Bahkan saya akan menunggu dia sampai menyelesaikan pendidikannya.”
“Lan, lebih baik kamu kuatkan saja dulu pondasi ekonomi kamu. Om bukan matre ataupun menolak kamu karena kamu tidak punya apa-apa. Tapi coba pikirkan, kamu cuma punya ibu, cuma kamu yang bisa mengurus beliau. Jika suatau saat kamu terjebak di kondisi harus mendahulukan kebutuhan ibu atau istrimu, bagaimana?”
“Saya mengerti, Om.”
“Adek, kamu fokus belajar dan kejar cita-cita kamu menjadi dokter. Jangan lupa belajar memasak dan ngurus rumah juga karna itu qodrat wanita. Ada bibi pun ‘kan bibi tugasnya hanya membantu, bukan menggantikan peran istri dan ibu.”
“Iya, Pa.”
“Dan kamu, Lan. Datanglah kembali untuk melamar anak saya jika semuanya sudah siap.”
“Baik, Om.”
Setelah pembicaraan selesai. Mereka membubarkan diri dengan keadaan masih tegang. Alex dan Ira pergi terlebih dahulu ke kamar mereka. Sementara Rehan naik ke atas untuk memberikan ruang pada Amelia dan Harlan.
“Maaf ya, kak. Gara-gara aku terlalu emosi, kita ketahuannya kayak gini.”
“Gak apa-apa, justru aku merasa lega. Kita tidak usah lagi sembunyi-sembunyi dari siapapun.”
“Emang iya?”
Harlan tersenyum hambar sambil mengangguk. Amelia terlihat girang mengetahui hal itu.
Setelah kejadian itu, Amelia dan Harlan masih berkomunikasi dengan baik. Tidak ada yang berubah. Alex dan Ira pun sudah berdamai.
Hari-Hari berjalan seperti biasanya sampai tibalah hari wisuda Rehan. Amelia dan keluarganya pergi ke Semarang untuk menghadiri wisuda sang kakak.
Setelah acara wisuda selesai, Amelia mencoba melihat sekeliling. Dia mencari keberadaan kekasihnya, hingga Amelia sadar satu hal setelah mendengar Ira bertanya pada Rehan.
“Harlan kok tadi gak ada, Han?”
“Hmmm, dia diwakilkan sama orang buat naik ke atas tadi.”
“Loh, kenapa?”
“Gak tau, dia tiba mengundurkan diri lebih cepat dan minta ijazah sebelum wisuda dimulai.”
Amelia segera mengecek ponselnya. Pagi tadi mereka masih selat berbicara. Namun …
“Hp nya gak aktif. Mama, gimana ini? Ke mana kak Harlan? Apa terjadi sesuatu sama dia? Ada apa? Mama, gimana ini?” Amelia mulai panik. Berkali-kali dia mencoba menelpon kekasihnya tapi tidak juga tersambung. Chat pun hanya ceklis satu.
Harla menghilang.