Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 : CEPAT SELESAIKAN, KAU SUDAH BAYAR BUKAN?
Ranjang besar yang empuk itu terasa seperti hamparan duri bagiku. Erlangga tidak memberikan celah untukku bernapas. Gerakannya tidak memiliki kelembutan sedikit pun; ia bergerak seolah sedang meluapkan amarah yang tidak kuketahui asalnya.
"Masih mau diam saja, Shilla?" bisiknya dengan suara rendah yang penuh penekanan.
Ia mencengkeram pergelangan tanganku, menguncinya di atas kepala dengan satu tangan. Aku memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibir bawahku hingga rasa anyir darah mulai terasa. Aku tidak akan bersuara. Aku tidak akan memberinya kepuasan melihatku hancur.
Namun, saat ia bergerak semakin menuntut, rasa sakit yang luar biasa menghantam tubuhku. Itu bukan sekadar rasa sakit fisik karena sentuhannya yang kasar, melainkan rasa sakit dari luka-luka lama di tubuhku yang belum sempat pulih dari siksaan mahendra kemarin, ditambah dengan rasa sesak yang menghimpit dada.
"Akh—!"
Suara rintihan itu lolos begitu saja dari sela bibirku. Tubuhku menegang, dan tanpa bisa dibendung, air mata mengalir dari sudut mataku, membasahi bantal sutra di bawah kepalaku. Sakitnya begitu menusuk hingga aku merasa seolah tubuhku akan terbelah.
Erlangga tiba-tiba membeku. Ia merasakan tubuhku yang gemetar hebat di bawah dekapannya. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dan menatap wajahku yang kini pucat pasi dengan keringat dingin yang mulai bercucuran.
"Kau... kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit berubah. Ada nada bingung yang tidak bisa ia sembunyikan.
Aku hanya bisa terengah-engah, mencoba mencari oksigen di tengah rasa perih yang menjalar. "Lakukan saja... cepat selesaikan," bisikku dengan suara yang hampir habis. "Kau sudah bayar, bukan? Jangan berhenti hanya karena aku terlihat menyedihkan."
Erlangga terdiam. Ia melihat bercak merah yang merembes di kain sprei putihnya—bukan darah dari apa yang ia bayangkan, melainkan darah dari luka di pinggangku yang terbuka kembali karena gerakannya yang terlalu brutal tadi.
Ia menatap tangannya yang sedikit ternoda darahku, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat asing. Keangkuhan yang tadi memenuhi matanya seolah retak dalam sekejap.
Erlangga tidak berhenti. Mendengar tantanganku, rahangnya justru semakin mengeras. Ia seolah menulikan telinga terhadap rintihan kesakitanku, menganggapnya sebagai bagian dari "perlawanan" yang harus ia taklukkan. Ia melanjutkan tindakannya dengan ritme yang semakin cepat dan menuntut, memaksaku untuk menerima setiap inci kehadirannya meski tubuhku menjerit karena luka yang semakin terbuka.
Aku mencengkeram sprei hingga kuku-kukuku terasa akan patah. Rasa sakit fisik di pinggangku kini bercampur dengan rasa hampa yang luar biasa. Di bawah cahaya lampu temaram, aku menatap langit-langit kamar, membiarkan pikiranku terbang jauh dari ruangan ini—berusaha mati rasa.
Hingga akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang dan berat, Erlangga mencapai klimaksnya. Ia mengerang pelan, menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku sambil terengah-engah. Keheningan kembali menyelimuti kamar itu, hanya menyisakan suara detak jantung yang berpacu dan hembusan napas kami yang tidak beraturan.
Erlangga berbaring diam selama beberapa saat, menatap langit-langit. Namun, saat ia melirik ke samping dan melihatku masih terisak tanpa suara dengan noda darah yang semakin lebar di sprei satinnya, sorot matanya berubah. Amarah yang tadi membara kini padam, digantikan oleh gurat kecemasan yang samar.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan kembali celana pendeknya dengan terburu-buru. Tanpa menatap mataku, ia berjalan menuju interkom di dinding kamar.
"Bi Sumi! Ke kamar saya sekarang. Bawa kotak P3K," perintahnya dengan suara yang tidak lagi sedingin tadi, melainkan terdengar gusar.
Tak butuh waktu lama, ketukan pelan terdengar di pintu. Bi Sumi masuk dengan wajah khawatir. Matanya membelalak saat melihat kondisiku yang meringkuk lemah di atas ranjang dengan sprei yang ternoda darah.
"Ya Tuhan, Den... Mbak Shilla..." gumam Bi Sumi tertahan.
"Obati dia, Bi. Bersihkan lukanya," potong Erlangga cepat. Ia mengambil sebatang rokok dari atas meja, menyalakannya dengan tangan yang sedikit bergetar, lalu berjalan menuju balkon—tempatku berdiri tadi.
Bi Sumi mendekatiku dengan sangat lembut. Ia menyelimuti tubuhku yang gemetar dengan kain bersih sebelum mulai membersihkan luka di pinggangku.
"Maafkan Den Erlangga ya, Mbak. Dia memang orang yang keras kalau hatinya sedang kalut," bisik Bi Sumi sambil mengoleskan obat merah. Perihnya membuatku meringis, namun sentuhan tangan Bi Sumi yang keibuan sedikit menenangkan badai di jiwaku.
Dari balik pintu kaca balkon yang transparan, aku bisa melihat bayangan Erlangga di luar sana. Ia berdiri membelakangi kamar, menghembuskan asap rokoknya ke langit malam yang pekat. Untuk pertama kalinya, pria angkuh itu tampak tidak seberdaya biasanya. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa ia telah merusak sesuatu yang seharusnya ia jaga.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,