Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Suara dering handphone berbunyi terdengar, membuat Aira yang masih terlelap di dalam alam mimpi secara perlahan-lahan mulai membuka mata dan menggerakkan tangan kanan untuk mengambil benda pipih itu dari atas meja samping tempat tidurnya.
Aira mengedipkan mata beberapa kali guna menormalkan kembali indera penglihatan yang masihlah sangat buram pada saat ini, lantas segera mematikan dering alarm yang masih terus berbunyi setelah melihat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Setelah mematikan alarm, Aira menaruh kembali handphone ke tempat semula, lalu secara perlahan mulai bangun dari posisi tidurnya—menyandarkan punggung ke headboard kasur sambil mengusap wajah cantiknya dengan begitu sangat lembut.
“Udah pagi … hari ini aku ada jadwal buat ngisi kelas psikologi …,” gumam Aira, menyingkirkan selimut tebal yang sedang menutupi tubuh bagian bawahnya, lantas pelan-pelan menggerakkan tangan kanan untuk menyentuh serta memberikan elusan lembut pada bagian paling sensitif miliknya yang masih terasa sedikit nyeri, “Tapi, bagian bawahku masih terasa nyeri … Aku bisa datang dengan keadaan normal nggak, ya? … Kalau nggak bisa, apa aku izin aja buat hari in—nggak … nggak boleh. Aku nggak boleh nyerah dan malas-malasan hanya cuma karena hal ini … aku harus tetap kuat walaupun masih ngerasa sedih dan kecewa. Ya, aku harus tetap kuat.”
Aira menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum pada akhirnya dengan gerakan pelan serta penuh kehati-hatian mulai turun dari atas tempat tidur. Ia berdiri diam sejenak—seolah sedang berusaha menahan rasa nyeri yang semakin terasa—kemudian dengan langkah gontai mulai melangkahkan kaki menuju pintu masuk ruangan kamar mandi.
Sepanjang perjalanan menuju kamar mandi, Aira menggigit bibir bawahnya cukup kencang, berusaha sedikit menghilangkan rasa nyeri yang terus-menerus menyerang tubuh bagian bawahnya.
Sekitar sepuluh menit berlalu, Aira dengan penuh kehati-hatian mulai masuk dan mendudukkan tubuh di dalam bathtub yang telah dirinya isi menggunakan air hangat.
Perempuan berparas cantik itu menyandarkan kepalanya di tepi bathtub yang terasa begitu sangat dingin—sangat kontras sekali dengan suhu air yang kini tengah memeluk tubuh polosnya. Ia pelan-pelan menutup mata, menikmati kehangatan yang seakan sedang berusaha untuk menghapus setiap pikirin negatif di dalam dirinya.
Detik demi detik berlalu, tanpa sadar sebuah senyuman tipis mulai terukir di wajah cantik Aira, kala semua ingatan buruk tentang perlakuan sang mahasiswa kepadanya kemarin mulai menghilang tanpa tersisa.
“Damai … nggak ada rasa sakit … hangat … semuanya hilang … aku baik-baik saja sekarang ….”
•••
“Ssss … gara-gara kemarin aku banting handphone … aku hampir aja lupa kalau hari ini ada jadwal kuliah. Untung aja ada Livia yang pagi-pagi udah datang ke apartemen … kalau nggak … aku mungkin masih tidur sampai sekarang.”
Azka mengepalkan kedua tangan di atas meja warung kopi yang berada tepat di seberang kampus tempat dirinya menimba ilmu. Ia mengembuskan napas panjang beberapa kali, mengambil kaleng berisikan kopi susu dan meneguknya hingga tidak tersisa, sebelum mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya.
Tanpa menunggu waktu lama, Azka mengambil sebatang rokok dan sesegera mungkin menghidupkannya—guna berusaha menormalkan kembali pikirannya yang sudah berkeliaran ke mana-mana.
Setiap hisapan dan hembusan asap, seolah membawa pergi berbagai macam masalah yang tengah dirinya derita untuk beberapa saat, memberikan rasa rileks yang sangat sulit untuk dirinya dapat.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi Azka seketika teralihkan saat tiba-tiba saja mendengar suara seorang cewek yang begitu sangat dirinya kenali tengah memanggil namanya dari arah parkiran warung kopi.
Dari tempatnya berada sekarang, Azka dapat melihat sosok Rhea tengah melangkahkan kaki mendekat sambil mengukir senyuman sangat manis. Ia segera mematikan rokok yang sedang dirinya nikmati, lantas membuangnya ke dalam tempat sampah—karena ingat bahwa salah satu sahabat baiknya itu memiliki alergi terhadap asap dari benda itu.
Rhea mendudukkan tubuh tepat di hadapan Azka, menaruh tote bag branded berwarna putih miliknya di atas meja, sebelum pada akhirnya membuka suara sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Tumben banget lu udah sampai di sini duluan? Biasa gue atau nggak Livia yang pertama datang.”
Azka sedikit menegakkan posisi tubuhnya, lalu tanpa meminta izin sedikit pun segera mengambil tote bag milik Rhea—mencari sesuatu di dalam sana—sebelum pada akhirnya membuka suara. “Terpaksa … gara-gara handphone gue kemarin gue banting … Jadi, gue harus standby di sini lebih dulu. Tadi pagi juga gue hampir tidur seharian kalau Livia nggak tiba-tiba datang ke apartemen.”
Setelah mengatakan hal itu, Azka mengeluarkan sekotak permen karet dari dalam tote bag milik Rhea. Ia mengambil serta membukanya satu, lantas memasukkannya ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah dengan ritme pelan, tetapi penuh kepastian.
Rhea mengangguk-anggukkan kepala paham saat mendengar jawaban yang telah diberikan oleh Azka. Ia mengalihkan pandangan ke arah meja dan mengambil sebuah buku menu yang berada di atas sana—membiarkan sang sahabat mengambil apa pun yang berada di dalam tote bag miliknya.
“Ya lagian lu, sih … seumur-umur gue kenal sama lu … perasaan baru kali ini, deh, lu emosi sampai banting-banting barang … lain kali kendalikan, Az, itu nggak baik sama sekali ….” Rhea menghentikan ucapannya sejenak, sedikit merekahkan senyumannya saat melihat beberapa menu makanan baru di dalam buku, sebelum kembali membuka suara. “Kalau lu lagi ada masalah, lu bisa cerita sama gue kayak kemarin malam … dan juga bisa cerita ke anak-anak yang lain. Kita ini sahabat, pasti bakal bantuin lu buat nyelesain masalah, kok … kalaupun nanti nggak bisa nyelesain masalah lu, gue sama yang lain masih bisa jadi pendengar yang baik biar bisa ngeredam emosi lu itu.”
Azka menatap wajah cantik Rhea yang terlihat begitu sangat imut serta lucu saat sedang fokus seperti sekarang ini. “Thanks, ya … lu emang terbaik, Rhe … Gue doain … nanti lu dapat cowok yang baik juga.”
“Gue nggak butuh cowok, Az … selama ada lu dan anak-anak … Gue rasa udah cukup banget umur sekarang ini ….” Rhea mengangkat kepala dan menutup buku menu, membalas tatapan yang sedang diberikan oleh Azka, sebelum bangun dari atas tempat duduknya. “Gue ke dalam dulu. Mau pesen makanan … biar nanti waktu kelasnya bu Aira nggak mati kelaparan.”
Mendengar nama Aira, membuat Azka refleks melebarkan mata dengan tubuh mematung seketika. Ia menelan air liur dengan begitu sangat susah payah, kala ingatan tentang kejadian kemarin mulai masuk dan kembali berputar-putar di dalam benaknya.
“Ah, iya … hari ini ada kelasnya ibu Aira … aduh, aku harus gimana? Aku yakin dia nggak akan lupa sama kejadian waktu itu … aish … malah jadi pusing kayak gini … Apa aku bolos aja, tapi itu bakal ngerusak nilaiku … ditambah kalau aku ngelakuin hal itu, ibu Aira jadi punya alasan kalau misalnya dia mau balas dendam ….”