Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.15 : Misi Berbahaya
Cakra dan Dhyas saling tatap. Mereka baru saja mendengar misi yang harus mereka jalankan yang disampaikan Mbah Lodra.
"Guru, maaf bukan tidak sopan, tapi.... Misi kali ini terlalu berisiko," ucap Cakra.
Mbah Lodra mengangguk pelan,
"Betul. Aku juga ragu untuk menjalankan misi ini tapi tidak ada yang mau melakukan misi ini. Panglima Wira sangat berharap, padepokan kita bisa membantu misi ini,"
"Maaf, Guru.. Apakah tidak ada alternatif skenario lainnya? Dan.... Aku pasti tidak akan diizinkan untuk masuk ke....rumah bordil," Dhyas mengecilkan suaranya menyebut kata terakhir.
Cakra menatap Dhyas.
Jangankan orang tuamu, aku juga tidak akan mengizinkan. (Cakra).
"Titik lemah pimpinan yang jadi target panglima Wira ada di rumah bordil milik pimpinan Belanda tersebut. Dengan bisa menyusup dan menyanderanya, panglima Wira bisa mengirim berita ke pasukan sporadis di daerah lain bahwa pimpinan Belanda sudah disandera yang artinya, mereka kalah dan harus menyerahkan diri,"
Dhyas menelan ludahnya dengan susah payah. Harga dari sebuah kemerdekaan memang sangat mahal. Kisah perjuangan kemerdekaan oleh nenek moyangnya sudah lama dia dengar tapi ternyata dia juga masih di generasi yang sama. Sama-sama masih memperjuangkan kemerdekaan.
"Tidak ada anggota lain yang bisa menjalankan misi ini," Mbah Lodra menatap Dhyas, "Tingkatan ilmu yang kamu miliki cukup mumpuni, Dhyas. Kamu bisa kebal dari racun, bisa bertahan lebih lama untuk jatuh saat dibius, dan kamu menguasai ilmu Bayu Lenyap Giri. Bergerak seperti pusaran angin yang bisa mengacaukan fokus lawan. Paket lengkap sudah ada padamu,"
Wajah Dhyas pias.
"Lalu aku...?," Cakra ingin bertanya.
"Keberadaan mu di sana memastikan Dhyas akan baik-baik saja. Kamu menjadi pelindung untuk Dhyas dan kalau terjadi situasi yang di luar dugaan, kamu bisa mengirim signal bantuan pada pasukan Panglima Wira,"
Cakra melongos.
"Kita tidak diberi waktu untuk berpikir panjang. Pasukan Indramayu sedang menunggu hasil dari misi ini. Sedangkan amunisi mereka semakin berkurang. Ada banyak nyawa bergantung pada hasil dari misi ini," tandas Mbah Lodra.
Dhyas memejamkan matanya sejenak. Mencari kekuatan dari hatinya yang paling dalam. Karena sejujurnya, dia merasa tidak mampu melakukan misi ini.
Ada banyak nyawa bergantung pada hasil dari misi ini.
Kalimat gurunya itu berputar di kepalanya.
Cakra tidak kalah berperang di batinnya. Rumah bordil. Dhyas bertugas di situ. Di sana banyak pria hidung belang. Aakkkhhh. Cakra ingin lari dari situasi ini hingga kalimat dari Dhyas mengejutkannya,
"Aku siap, guru. Aku siap menjalankan misi ini,"
Cakra menoleh terkejut. Mbah Lodra menatap dalam pada Dhyas.
"Dhyas, mungkin kamu harus mempertimbangkan nya lagi,"
Dhyas menoleh,
"Apa arti pengorbanan, Cakra? Kalau aku harus mempertimbangkan kembali dengan alasan keselamatan ku, itu bukanlah sebuah pengorbanan,"
Cakra membuang napas kasar. Cakra hendak berkata, tapi Mbah Lodra langsung menyela,
"Subuh kalian berangkat ke sana. Orang panglima Wira akan mengurus identitas mu dan mengatur agar kamu bisa masuk ke rumah bordil itu,"
Dan itu bukan kalimat penawaran. Itu kalimat perintah. Yang harus dilaksanakan.
**
Cakra meraih tangan Dhyas,
"Kenapa harus menerima misi itu?,"
Dhyas menghentikan langkahnya. Mereka berdua sudah bertengkar dari tadi sejak keluar dari ruangan pendopo Mbah Lodra. Dhyas yang tidak menyukai pertengkaran memilih berjalan pulang. Namun Cakra yang belum puas, menyusul dari belakang.
"Apakah kamu tidak bisa berhenti bertanya? Di hadapan guru aku sudah menjawab semuanya. Aku sudah menyatakan kesanggupan ku. Lalu apa? Kita ini dilatih di padepokan. Pantang menarik lagi kata yang sudah keluar dari mulut kita," Dhyas mulai kesal.
"Tapi itu rumah bordil, Dhyas. Di sana banyak serdadu hidung belang. Mereka mungkin akan...,"
"Akan apa?,"
"Menyentuhmu.. Menciummu .. Bahkan lebih parah mungkin mereka akan menidurimu,"
"Lalu kamu pikir aku anak kecil? Yang begitu saja membiarkan orang lain menyentuh tubuhku?,"
"Tapi...,"
"Ada apa denganmu, Cakra. Kenapa kamu jadi cengeng seperti anak kecil seperti itu?,"
"Siapa yang cengeng?,"
"Kamu!,"
"Tidak. Aku hanya...,"
"Tapi kamu menghalangiku menjalankan misi ini,"
"Itu bukan berarti aku cengeng,"
"Lalu apa? Lihat wajahmu seperti anak kecil yang cemberut,"
"Aku...,"
"Aku apa?,"
"Aku cemburu! Aku tidak rela kamu dipegang pria lain. Kamu didekati pria lain. Aku tidak Sudi kamu menghirup asap rokok mereka! Bahkan aku tidak ikhlas kamu berbagi udara dalam satu ruangan dengan mereka!," Cakra setengah berteriak.
Dhyas menatap Cakra. Dia berusaha menahan tawanya. Jadi lelaki yang belum genap 20 tahun di depannya ini mencoba menghentikannya menjalankan misi karena alasan cemburu.
Cakra menahan napasnya yang memburu antara marah dan malu karena mengakui rasa cemburunya.
Dhyas menyambar dada Cakra. Memeluknya dengan erat,
"Aku akan menjaga diriku. Aku hanya milikmu. Aku tidak akan membiarkan orang lain memiliki ku. Aku janji," ucap Dhyas sembari memeluk Cakra.
Cakra yang terkejut dengan tindakan Dhyas langsung luluh. Amarah yang tadi menggebu sekarang menguap bersamaan dengan pelukan Dhyas. Tangannya bergerak pelan tapi pasti menyentuh kepala Dhyas. Mengusapnya.
Cakra kehabisan kata-kata. Dia hanya mampu memberi kecupan kecil di kepala Dhyas.
**
"Verdomme!!," umpat Meneer Lorens, "Aku akan turun langsung menghadapi gadis licik itu. Dia belum tahu sedang bermain-main dengan siapa,"
Amarahnya meluap begitu mengetahui, salah tangkap yang dilakukan preman suruhan Lukman adalah akal-akalan pihak Dhyas.
"Cari tahu jelas latar belakangnya. Keluarganya. Semuanya. Apapun tentang gadis itu. Harga diriku taruhannya kalau aku tidak bisa menaklukan gadis itu," perintahnya pada seorang suruhannya. Suaranya pelan tapi memberi penekanan dan dendam di setiap katanya.
**
Dhyas berjalan memasuki halaman padepokan. Dia dan Cakra akan dijemput oleh utusan panglima Wira pagi itu.
"Dhyas," seseorang memanggilnya.
Dhyas berpaling. Arya muncul dari arah salah satu pendopo.
"Arya? Sepagi ini sudah di padepokan?," tanya Dhyas sambil mendekati Arya.
"Aku dengar kamu dan Cakra akan menjalankan misi besar,"
Dhyas menunduk sejenak lalu menatap Arya,
"Yah, lebih tepatnya menjalankan keharusan,"
"Aku dengar misinya cukup berbahaya,"
Dhyas mengangguk sambil tersenyum kecut.
"Jaga dirimu baik-baik di sana. Semoga semesta melindungimu,"
Dhyas menatap Arya. Arya termasuk jarang bicara. Dan kali ini dia berbicara seperti memikul beban yang berat. Dhyas merasakan sesuatu. Tapi tidak ingin melukai hati Arya, Dhyas tersenyum,
"Terima kasih doanya Arya. Kita pasti bertemu lagi. Tenang saja," Dhyas tertawa kecil. Dia tidak mau suasananya menjadi haru biru.
"Bawa ini," Arya menyodorkan sesuatu, "Ini belati dari kakekku. Sangat kecil dan tipis tapi sangat membunuh. Kamu bisa menyelipkannya di dalam bajumu. Keberadaannya sulit untuk dilacak karena tipis. Semoga ini dapat berguna di situasi terdesak mu,"
Dhyas menatap benda itu, lalu ragu-ragu mengambilnya.
"Terima kasih Arya," Dhyas menyimpan benda itu di sakunya.
Dari kejauhan, Ayudiah menatap perbincangan dua orang itu dengan suasana hati yang campur aduk. Mungkin...kita sebut saja dengan rasa cemburu.