NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:761
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Bunga menatap pesan dari Reza. Senyumnya sedikit memudar.

Ia menatap layar ponselnya. Lalu ia mendongak, menatap Arga yang sedang asyik membersihkan piringnya dengan sendok kuah opor terakhir. Arga sama sekali tidak sadar akan gejolak di hati Bunga.

Bunga tiba-tiba merasa bersalah. Sangat bersalah.

Besok, ia akan pergi "kencan" pertama di kehidupan kampusnya. Dan ia akan berbohong pada laki-laki di depannya ini—suaminya, pelindungnya, dan orang yang baru saja memuji opor ayam buatannya.

Ia tidak membalas pesan Reza. Belum. Nanti saja, sebelum tidur, pikirnya.

"Kenapa bengong?" Suara Arga membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu sudah berdiri, membawa piring kotornya ke tempat cuci.

"Eh, nggak, Mas," elak Bunga cepat. "Cuma... capek aja."

"Ya sudah. Mas cuci piring, kamu istirahat saja," kata Arga.

Malam itu, Bunga berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit. Perasaan hangat dan damai setelah makan malam bersama Arga kini tercemar oleh sebersit rasa cemas. Ia akhirnya membalas pesan Reza.

[Bunga]

Iya, Kak. Siap. Sampai ketemu besok. 🙂

Setelah mengirim pesan itu, ia meletakkan ponselnya jauh-jauh, seakan benda itu adalah barang bukti kejahatan.

Pagi harinya adalah hari terakhir OSPEK. Suasana di apartemen terasa ringan dan normal. Arga membuat kopi untuknya dan roti panggang untuk mereka berdua. Bunga membalasnya dengan memasukkan bekal makan siang—nasi dan sisa opor semalam—ke dalam tas kerja Arga.

"Nggak usah repot-repot," kata Arga, tapi Bunga bisa melihat senyum tipis di bibirnya saat ia menerima kotak bekal itu.

"Biar Mas Arga nggak usah beli makan siang," kata Bunga.

Saat mereka bersiap-siap berangkat, Bunga memberanikan diri. Ini saatnya. Waktunya berbohong.

"Mas," panggilnya, berusaha agar suaranya terdengar sesantai mungkin. "Nanti sore... Bunga pulangnya agak telat, ya."

Arga, yang sedang memakai sepatunya, mendongak. "Telat kenapa? Ada acara penutupan OSPEK?"

"Bukan. Ada... ada kerja kelompok pertama, Mas. Buat mata kuliah Pengantar Arsitektur," kata Bunga. Dusta itu keluar dari mulutnya lebih lancar dari yang ia duga. "Mau bahas tugas besar buat satu semester ke depan."

Arga selesai mengikat tali sepatunya dan berdiri. Ia menatap Bunga. Tatapannya tenang, tidak curiga sama sekali.

"Oh, ya? Cepat juga dosennya ngasih tugas," komentarnya. "Ya sudah. Bagus. Makin cepat mulai, makin bagus."

"Iya, Mas." Bunga menahan napas.

"Kerja kelompoknya di mana?" tanya Arga lagi.

Pertanyaan itu membuat Bunga sedikit panik. "Di... di perpus, Mas. Iya, di perpustakaan pusat."

"Oke," kata Arga. "Jangan pulang malam-malam. Kalau sudah mau Maghrib dan belum selesai, lebih baik dilanjut besok. Kasih tahu Mas kalau mau pulang, biar Mas bisa perkirakan kamu sampai apartemen jam berapa."

Rasa bersalah menghantam Bunga seperti gelombang. Arga begitu percaya. Ia bahkan memberinya nasihat praktis. Ia tidak curiga sedikit pun.

"I-iya, Mas. Pasti Bunga kabari."

"Ya sudah, ayo berangkat," kata Arga, membukakan pintu untuknya.

Di dalam lift, Bunga tidak berani menatap Arga. Ia merasa seperti penjahat paling licik di dunia.

Hari terakhir OSPEK diisi dengan upacara penutupan dan pengenalan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Bunga sama sekali tidak fokus. Pikirannya terus melayang ke jam empat sore. Vina, tentu saja, tidak berhenti menggodanya.

"Gimana? Udah mikirin mau pakai baju apa buat ngopi sama Pangeran Reza?" bisik Vina saat mereka duduk di aula.

"Apaan, sih! Baju OSPEK aja belum ganti," balas Bunga.

"Ya ganti, lah! Di toilet! Bawa baju ganti, kan?"

Bunga menggeleng. Ia sama sekali tidak terpikir sejauh itu.

Menjelang pukul tiga sore, saat acara akan berakhir, Bunga merasa harus melakukan sesuatu. Ia tidak mungkin bertemu Reza dengan seragam hitam-putih yang sudah lecek dan bau keringat.

"Vin, anterin gue ke musholla, yuk," ajak Bunga.

"Ngapain? Mau berdoa biar kencannya lancar?"

"Sholat Ashar, Vina!" kata Bunga, memutar bola matanya.

Mereka berjalan ke musholla fakultas yang sejuk dan tenang. Setelah mengambil wudhu, Bunga menggelar sajadahnya di shaf perempuan. Suasana hening musholla terasa kontras dengan kekacauan di hatinya.

Ia melaksanakan sholat Ashar. Saat sujud terakhir, ia berdoa dalam hati.

Ya Allah, maafkan Bunga karena sudah berbohong. Bunga nggak bermaksud jahat. Bunga cuma... Bunga cuma bingung. Lindungi Bunga dari hal-hal yang tidak baik. Lancarkanlah urusan kuliah Bunga.

Doanya terasa ambigu. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia minta.

Setelah sholat, ia duduk sejenak, merasakan ketenangan yang langka. Ia melihat ke cermin di dinding musholla. Wajahnya terlihat kusam.

"Aku nggak bisa ketemu Kak Reza kayak gini," gumamnya pada Vina.

Vina tersenyum penuh kemenangan. "Nah, kan! Untung gue selalu sedia!" Ia membuka tas ranselnya yang besar dan mengeluarkan sebuah pouch. "Nih! Bedak, lip tint, parfum, sama sisir. Setidaknya biar nggak kelihatan kayak orang habis lari maraton."

Bunga bersyukur memiliki sahabat seperti Vina. Di toilet musholla, ia merapikan penampilannya. Ia melepas kemeja putihnya, menyisakan kaus dalaman hitam polos yang untungnya cukup sopan. Ia menyisir rambutnya, memoleskan sedikit bedak dan lip tint. Setidaknya, kini ia terlihat lebih segar.

Pukul empat kurang lima menit, ia sudah berdiri di depan Kafe. Jantungnya berdebar kencang. Kafe itu terlihat trendi, penuh dengan mahasiswa yang sedang nongkrong atau mengerjakan tugas di laptop.

Ia menarik napas, lalu melangkah masuk.

Reza sudah ada di sana, duduk di meja dekat jendela. Ia terlihat sangat santai, mengenakan hoodie abu-abu dan sedang mengetik sesuatu di laptopnya. Saat ia mendongak dan melihat Bunga, senyumnya langsung merekah.

"Hai, Melati. Tepat waktu," sapanya.

"Hai, Kak," balas Bunga, berjalan mendekati mejanya.

"Duduk," kata Reza. "Mau pesan apa? Kopi? Teh? Di sini latte-nya enak."

"Samain aja kayak Kakak," jawab Bunga, terlalu gugup untuk memilih.

Reza memanggil pelayan dan memesan dua iced coffee latte.

"Gimana OSPEK-nya? Selamat, ya, sudah resmi jadi mahasiswi," kata Reza, membuka percakapan.

"Makasih, Kak. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga."

Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Reza adalah pembicara yang hebat. Ia menceritakan tentang proyek sosial BEM-nya dengan penuh semangat. Ia ingin membangun taman baca untuk anak-anak jalanan di dekat stasiun. Ia menunjukkan beberapa sketsa kasar di laptopnya.

"Nah, di sini," katanya, menunjuk layar, "saya butuh visualisasi 3D yang bagus. Sesuatu yang bisa kita tunjukkan ke calon donatur. Kamu bisa pakai SketchUp atau sejenisnya, kan?"

"Bisa, Kak. Diajarin sedikit waktu SMA."

"Bagus. Nggak perlu yang rumit. Yang penting kelihatan menarik dan nyaman buat anak-anak," kata Reza.

Bunga mendengarkan dengan saksama, memberikan beberapa ide. Tentang rak buku yang tingginya bisa dijangkau anak-anak, tentang area duduk yang menggunakan bean bag berwarna-warni. Reza terlihat sangat terkesan.

"Wah, idemu bagus juga," pujinya. "Kamu beneran punya bakat, Melati."

Pipi Bunga memerah.

Seiring percakapan, topik mereka bergeser dari proyek sosial ke hal-hal yang lebih personal. Reza bertanya tentang asal Bunga, tentang keluarganya.

"Aku anak tunggal, Kak. Dari kota kecil di Jawa Timur," jawab Bunga.

"Oh, ya? Merantau, dong. Hebat," kata Reza. "Tinggal di mana di sini? Kost?"

Pertanyaan itu adalah jebakan. "I-iya, Kak. Kost," jawab Bunga cepat. Kebohongan kedua hari ini.

"Harus hati-hati, ya, jadi anak kost. Apalagi cewek," nasihat Reza. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya."

"Iya, Kak. Makasih."

Bunga mulai membandingkan. Reza begitu mempesona. Dia seorang pemimpin, punya visi, ambisius, dan sangat pandai membuat lawan bicaranya merasa istimewa. Dia adalah paket lengkap seorang idola kampus.

Sementara Arga... Arga praktis. Logis. Bicaranya tentang struktur bangunan, jadwal kereta, dan menu makan malam. Dia tidak akan memuji Bunga dengan kata-kata manis, tapi dia akan memastikan Bunga makan sebelum mengerjakan tugas.

Reza terasa seperti mimpi. Arga terasa seperti... kenyataan.

"Kamu sendiri gimana, Kak?" Bunga memberanikan diri bertanya. "Kakak asli Jakarta?"

"Asli," jawab Reza. "Rumahku nggak jauh dari sini. Makanya sering di kampus sampai malam. Kegiatan BEM, kepanitiaan, belum lagi tugas kuliah." Ia tertawa kecil. "Jadi pacar aja nggak sempat."

Jantung Bunga berdebar. Kode?

"Masa, sih, Kak? Kakak kan populer," kata Bunga, mencoba terdengar santai.

Reza menatapnya, senyumnya sedikit menggoda. "Populer bukan berarti laku, kan?" Ia mencondongkan tubuhnya sedikit. "Jujur aja, susah cari cewek yang ngerti kesibukan saya. Kebanyakan maunya ditemenin terus."

Ia menatap Bunga lekat. "Tapi kalau ceweknya sepintar dan semandiri kamu... mungkin beda ceritanya."

Wajah Bunga serasa terbakar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa tertawa canggung. Fantasi tentang romansa kampus terasa begitu nyata di depannya.

Tapi kemudian, bayangan Arga kembali melintas. Bayangan Arga yang menunggunya pulang. Bayangan Arga yang berkata, 'Kamu... istri orang. Walaupun pura-pura.'

Pura-pura atau tidak, status itu nyata di atas kertas.

Ponsel Bunga bergetar. Sebuah pesan dari Arga.

[Mas Arga]

Sudah mau Maghrib. Gimana kerja kelompoknya? Selesai?

Bunga terlonjak. Ia melihat jam di dinding kafe. Sudah pukul setengah enam. Langit di luar sudah mulai jingga. Ia sudah duduk di sini hampir dua jam.

"Aduh, Kak. Maaf banget. Bunga harus pulang," katanya panik.

"Lho, buru-buru banget?" tanya Reza, terlihat sedikit kecewa.

"Iya, Kak. Nggak enak sama... sama ibu kost. Ada jam malamnya," Bunga kembali berbohong, merasa semakin terjerat.

"Oh, begitu," Reza mengangguk mengerti. "Ya sudah. Nggak apa-apa."

"Soal tugasnya, nanti Bunga coba kerjain sketsa awalnya di rumah, ya, Kak. Nanti Bunga kirim."

"Oke. Santai aja, nggak usah buru-buru." Reza memanggil pelayan untuk membayar. Saat Bunga hendak mengeluarkan dompet, Reza menahannya. "Saya yang traktir. Kan saya yang ajak."

Mereka berjalan keluar kafe.

"Makasih banyak ya, Kak, buat kopinya dan... semuanya," kata Bunga.

"Sama-sama, Melati," kata Reza. "Hati-hati di jalan. Nanti kalau sudah sampai... kabari, ya?"

Permintaan itu terdengar lebih dari sekadar permintaan senior ke junior.

"I-iya, Kak."

Bunga berbalik dan berjalan cepat ke arah stasiun, tidak berani menoleh ke belakang. Jantungnya berpacu, pikirannya kacau balau.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Bunga tidak lagi merasa lelah. Adrenalin masih mengalir di tubuhnya. Ia terus memutar ulang percakapannya dengan Reza. Pujiannya, senyumnya, ajakannya.

Tapi di balik semua itu, rasa bersalah menggerogotinya.

Ia tiba di apartemen pukul setengah tujuh malam. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang diberikan Arga.

Apartemen itu terang. Arga sudah pulang. Laki-laki itu sedang duduk di sofa ruang tamu, laptopnya menyala di atas meja kopi, tapi ia tidak sedang bekerja. Ia hanya duduk menatap layar kosong, seakan sedang menunggu.

Aroma opor ayam sisa semalam yang dihangatkan samar-samar tercium.

"Assalamu'alaikum," sapa Bunga pelan.

Arga menoleh. Wajahnya datar, tidak bisa dibaca. "Wa'alaikumsalam. Sudah pulang?"

"Iya, Mas."

Bunga melepas sepatunya dan meletakkan tasnya. Ia berjalan melewati Arga, hendak langsung masuk ke kamar. Ia tidak ingin diinterogasi.

"Gimana kerja kelompoknya?" tanya Arga, suaranya tenang.

Bunga berhenti melangkah, punggungnya menghadap Arga. "Lancar, Mas. Tadi bahas... bahas konsep awal."

"Oh, ya?"

"Iya. Di... di perpus. Rame banget," tambah Bunga, semakin memperdalam kebohongannya.

Hening sejenak.

"Lain kali," suara Arga terdengar lagi, masih tenang, tapi ada nada dingin yang menusuk di baliknya. "Kalau mau ngopi... bilang saja mau ngopi."

Bunga membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia perlahan berbalik.

Arga masih duduk di sofa, menatapnya lurus-lurus. Tidak ada amarah di matanya. Hanya... kekecewaan yang tenang.

"Nggak usah pakai alasan kerja kelompok."

Bunga tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya tercekat.

Bagaimana... bagaimana dia tahu?

Apakah Vina memberitahunya? Tidak mungkin, Vina tidak punya nomor Arga. Apakah Reza? Jauh lebih tidak mungkin.

Lalu, mata Bunga menangkap sesuatu. Di atas meja kopi, di samping laptop Arga, tergeletak sebuah kantong kertas kecil berwarna cokelat. Kantong kertas dengan logo yang sama persis dengan Kafe yang ia kunjungi tadi.

Di dalamnya ada sebungkus biji kopi.

"Mas... tadi ke sana?" bisik Bunga, suaranya bergetar.

"Teman Mas buka cabang baru di sana," jawab Arga datar. "Tadi Mas mampir sebentar setelah dari kantor. Sebelum kamu datang."

Bunga merasakan seluruh tenaganya terkuras. Ia tertangkap basah. Bukan karena Arga melihatnya, tapi karena sebuah kebetulan yang fatal.

"Mas..." Bunga mencoba menjelaskan, tapi tidak ada kata yang keluar.

Arga bangkit dari sofa. Ia berjalan melewati Bunga, menuju dapur. Ia sama sekali tidak menatap Bunga.

"Makan," katanya dingin. "Opornya sudah Mas hangatkan."

Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air, dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Pintu kamarnya tertutup. Cklek.

Bunga ditinggal berdiri sendirian di tengah ruang tamu. Aroma kopi dari kantong kertas di atas meja bercampur dengan aroma opor ayam dari dapur.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Bunga merasa apartemen itu sangat dingin dan sepi. Dan ia tahu, 'Tembok Berlin' di antara mereka kini bukan lagi sekadar guling.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!