Saga, sang CEO dengan aura sedingin es, tersembunyi di balik tembok kekuasaan dan ketidakpedulian. Wajahnya yang tegas dihiasi brewok lebat, sementara rambut panjangnya mencerminkan jiwa yang liar dan tak terkekang.
Di sisi lain, Nirmala, seorang yatim piatu yang berjuang dengan membuka toko bunga di tengah hiruk pikuk kota, memancarkan kehangatan dan kelembutan.
Namun, bukan pencarian cinta yang mempertemukan mereka, melainkan takdir yang penuh misteri.
Akankah takdir merajut jalinan asmara di antara dua dunia yang berbeda ini? Mampukah cinta bersemi dan menetap, atau hanya sekadar singgah dalam perjalanan hidup mereka?
Ikuti kisah mereka yang penuh liku dan kejutan di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beauty and The Beast 15
Perubahan suhu yang kadang panas dan kadang dingin, membuat Saga enggan meninggalkan Nirmala barang sedetik pun.
Sebentar mengeluh panas, sebentar meminta selimut mengeluh dingin. Tiga lapis selimut tebal tak mampu menghalau rasa dingin yang dirasakan Nirmala.
Sudah dua hari Nirmala demam. Akhirnya, Saga memutuskan untuk masuk di balik selimut yang sama setelah menanggalkan kemeja putihnya. Ia memeluk tubuh Nirmala yang terasa dingin.
Ia juga sigap saat merasakan perubahan suhu pada tubuh Nirmala yang berubah panas, dengan telaten mengompres kening Nirmala.
"Emh... Saga, kamu?" ucap Nirmala lirih. "Iya, ini aku," jawab Saga.
Pembantu yang bertugas mengantarkan makanan ke kamar Nirmala pun terheran melihat perubahan yang terjadi pada tuannya. Saga bukanlah tipikal orang yang bisa berbelas kasih, apalagi sampai rela menunggu seorang gadis di saat seperti ini.
"Permisi, Tuan," ucap pelayan tersebut, menyerahkan secangkir kopi hitam setelah meletakkan nampan berisi makanan untuk sang tuan.
Pelayan itu bergegas pergi meninggalkan keduanya, tak ingin mengganggu momen mereka. Mendengar ucapan pelayan membuat kepala pelayan tersenyum. Akhirnya, sekian lama tuannya tidak pernah tersenyum.
Saga meraih secangkir kopi dan perlahan menyeruputnya, lalu berdiri di balkon menikmati malam.
Grep...
Saga tersentak, dua tangan mungil memeluk tubuhnya dari belakang. Pria itu menikmati pelukan dari tubuh mungil Nirmala.
"Terima kasih," bisik Nirmala, sampai berjinjit menyamakan tinggi tubuhnya dengan Saga.
Saga berdehem sembari mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya menatap wanita yang dua malam ini mengganggu tidurnya. "Kamu sudah sehat?" ucap Saga sambil memeriksa kening Nirmala.
Nirmala mengangguk sambil tersenyum. Senyuman di wajah pucat itu membuat Saga lega.
"Makan, minum obat, lalu tidur," perintah Saga.
"Apa kamu masih akan menemaniku?" tanya Nirmala malu-malu sambil menundukkan kepalanya.
Saga tersenyum dan mengelus kepala wanita mungil itu. "Iya, aku akan terus berada di sisimu," ucap Saga. Akhirnya, mereka berdua pun makan bersama. Setelah selesai, Saga menyelimuti tubuh Nirmala hingga setengah perut. "Tidurlah. Aku akan tidur di sofa."
Saga keluar perlahan dari kamar Nirmala, lalu berjalan menuju pintu keluar. Di sana, seorang wanita sudah lama menunggunya.
Wanita itu langsung memeluk erat tubuh Saga, seolah tak ingin melepaskannya lagi. "Kenapa lama sekali?" protes wanita itu dengan bibir yang maju.
Saga mendorong tubuh wanita itu. Ia terkejut mendapat perlakuan seperti ini dari kekasihnya. "Kamu kenapa? Apa karena wanita itu kamu mencampakkanku?" ucapnya.
"Pergilah dan jangan pernah kembali," ucap Saga sebelum akhirnya menghilang di balik pagar besi yang menjulang tinggi.
Wanita itu menghentakkan kedua kakinya, kesal karena setelah lama pergi dan baru kembali ke Indonesia, ia malah mendapat perlakuan seperti ini.
Isabel berlari memasuki mobilnya dan meninggalkan mansion milik Saga. Kejadian ini tidak luput dari pandangan seorang wanita. Ia maju, menampilkan dirinya di bawah sinar bulan. Nirmala, yang baru saja hendak terjaga dari tidurnya, dikejutkan oleh dering ponsel milik Saga yang tertinggal di kamarnya. Ia mengusap layar tersebut, menampilkan pesan yang berisikan "Aku tunggu di bawah."
Awalnya, ia tak ingin ambil pusing, tapi mengingat Saga yang langsung pergi keluar setelah menyelimutinya, ia langsung curiga.
Nirmala bergegas berjalan ke balkon. Dalam kegelapan malam yang melindunginya, ia melihat adegan itu. Adegan berpelukan yang dilakukan oleh Saga. Tangannya menggenggam erat. "Menyuruhku menetap, tapi masih ada wanita lain di sisinya? Sungguh konyol kamu, Nirmala."
Nirmala menghapus jejak air matanya, lalu melangkah masuk dan kembali menyelimuti dirinya seperti semula, seolah tak ada riak yang mengusik ketenangannya.
Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Saga yang sudah berganti pakaian dengan lebih santai kaus hitam dan celana pendek selutut. Rambutnya yang masih basah, disisirnya ke belakang dengan jemarinya, memancarkan pesona yang sulit ditolak.
Meski rambutnya panjang, tak sedikit pun mengurangi pesonanya. Pria itu duduk di sofa, memangku laptopnya, ditemani secangkir kopi yang dibawanya dari dapur.
Setelah setengah jam berkutat dengan dunia kerjanya, Saga bangkit dan duduk di pinggir ranjang, menatap wajah tenang Nirmala. Wajah yang beberapa hari ini membuatnya panik. Saga tersenyum; memandang wajah polos Nirmala justru menjadi kesenangan tersendiri baginya.
****
Matahari menyembul dari ufuk timur, cahayanya perlahan menerobos jendela kaca, mengusik tidur wanita cantik meski tanpa polesan make-up.
Nirmala meregangkan tubuhnya sejenak, lalu duduk dan menatap sekeliling ruangan. Sudah tidak ada! Ia mencari sosok yang semalam berjaga di sofa, entah apa saja yang dikerjakan pria itu semalam.
Nirmala teringat adegan semalam, dan senyum sinis terukir di bibirnya. Matanya melirik ke arah laci, tangannya terulur membuka dan mengambil kartu hitam yang ia letakkan di sana.
"Baik, kita akan mulai permainannya, Tuan Saga," ucap Nirmala sambil tersenyum. Ia tak ingin mengharapkan apa pun dari Saga, karena ia tahu masih ada wanita lain di hati pria dengan rambut panjang dan brengos tebal itu.
Entah apa niat Saga memintanya untuk menetap di sisinya, tetapi di lain sisi, Saga pula yang seolah tak membutuhkannya. Hatinya terasa seperti taman yang dijanjikan bunga, namun hanya ditumbuhi ilusi.
Nirmala bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi. Ia sudah memutuskan untuk pergi. Dengan polesan make-up tipis, ia berjalan perlahan menuju pintu keluar, mengendap seperti pencuri. Dengan cepat, ia berlari keluar dari mansion.
Nirmala tersenyum puas. "Akhirnya bisa menghirup udara bebas," gumamnya. Nirmala mengambil ponselnya, mengetikkan sesuatu, lalu menempelkannya di telinganya.
"Aku siap," ucapnya sebelum mengakhiri panggilan. Tak berselang lama, sebuah mobil Civic putih menghampirinya. Tanpa ragu, Nirmala membuka pintu dan mobil itu menghilang di balik tikungan tajam.
Nirmala pergi tanpa menoleh ke belakang. "Apa kamu yakin?" tanya Isabela pada wanita di sebelahnya.
"Ya, melihat adegan berpelukan semalam membuat ku sadar," ucap Nirmala sambil menoleh ke arah Isabela.
"Hah, kamu melihatnya? Ah... Maafkan aku, baby," ucap Isabela sambil tersenyum sinis. Isabela senang, setidaknya Nirmala sudah tidak tinggal bersama Saga.
Urusan Saga akan kembali padanya atau tidak, biar dipikirkan nanti. Yang terpenting, ia harus menyembunyikan Nirmala di tempat yang jauh dari jangkauan Saga. Ibarat menyembunyikan rembulan di balik awan kelabu, begitu kira-kira.
Mobil Civic putih itu melaju membelah jalanan, hingga berhenti di pelabuhan. Di sana, sudah bersandar kapal pesiar besar.
"Kapalmu sudah siap, ini kunci mobilnya," ucap Isabela sambil melemparkan kunci mobil, yang ditangkap dengan mulus oleh Nirmala.
Nirmala mengangguk puas. "Sembunyikan aku," ucapnya sambil tersenyum. Nirmala segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan masuk ke bagian bawah kapal.
Isabel tersenyum. Ia mengambil ponsel dan menempelkannya di telinga. "Siapkan semua," ucapnya lalu mematikan sambungan telepon, tanpa menunggu jawaban dari seberang. Senyumnya bagai mentari yang menyinari rencana liciknya.