Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Yang Harus Aku Lakukan?
Udara di dalam ruang kerja yang pengap ini terasa menipis, tersedot habis oleh dua kalimat terakhir yang diucapkan Aldo. Genggaman telepon yang terasa berat di tanganku akhirnya terlepas, jatuh menghantam lantai kayu dengan bunyi ‘brak’ yang memekakkan, memecah keheningan yang mencekik.
“Nggak…” bisikku, menggelengkan kepala dengan panik. Rasanya seperti seluruh organ dalam tubuhku berjatuhan ke dasar perut. “Nggak, kamu bohong. Kamu pasti bohong.”
“Aku berharap aku bohong, Aerra.” Suara Aldo tak lagi mengandung senyum atau nada main-main. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang dingin dan getir. Tatapan matanya yang penuh luka itu menembus pertahananku, membuatku merasa telanjang dan rapuh.
“Ini pasti bagian dari permainan kamu, kan?!” pekikku, menunjuk wajahnya dengan tangan gemetar. “Kamu sengaja ngarang cerita ini buat nyiksa aku! Kamu fitnah Ibu!”
“Fitnah?” Aldo mengambil satu langkah maju, membuatku refleks mundur hingga punggungku menabrak rak buku di belakang. “Apa aku perlu bukti? Apa kamu mau lihat surat cinta yang ibumu tulis untuk ayahku? Atau mungkin foto-foto mereka? Oh, atau mungkin… hasil tes DNA yang diam-diam aku lakukan setahun yang lalu?”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah senjata yang menghantam sisa-sisa kewarasanku. Tes DNA. Jadi, dia sudah tahu selama ini? Setidaknya selama setahun?
“Kenapa…?” suaraku pecah, lebih terdengar seperti rintihan. “Kalau kamu tahu semua ini, kenapa kamu nikahin aku, Al? KENAPA?!”
“Kenapa?” ulangnya, nadanya datar seolah menjawab pertanyaan cuaca hari ini. “Karena kamu adalah jaminan terbaikku, Aerra. Kamu adalah pion paling sempurna. Putri sulung kesayangan Susi yang patuh. Dengan menikahi kamu, aku memastikan ibumu tidak akan pernah bisa lari dari dosanya.”
Aku terkesiap, napasku tercekat di tenggorokan. “Jadi… pernikahan ini… lima tahun ini…”
“Hanyalah sebuah sandiwara,” potongnya cepat, tatapannya tajam dan tanpa ampun. “Selama lima tahun aku pura-pura jadi suami yang bucin. Nonton kamu mainin peran sebagai istri yang berbakti, padahal hatimu buat laki-laki lain. Rasanya sakit, tentu saja. Tapi rasa sakit itu nggak ada apa-apanya dibanding kenyataan yang aku temukan.”
Ia berjalan mendekat, kini jarak kami hanya sejengkal. Aroma parfum mahalnya yang dulu selalu membuatku tenang, kini terasa seperti racun yang menyesakkan.
“Tadinya aku pikir, masalah terbesar pernikahan kita itu karena kamu nggak cinta sama aku,” lanjutnya dengan suara berbisik yang mengerikan. “Ternyata aku salah. Masalah terbesar pernikahan kita adalah darah yang sama yang mengalir di tubuh adik kesayanganmu… dan di tubuhku.”
Aku mendorong dadanya dengan sisa tenaga yang kumiliki. “Jangan sentuh aku!”
Aldo bahkan tidak bergeming. Ia justru menggenggam kedua lenganku, tidak keras, namun cukup untuk membuatku tidak bisa bergerak. “Aku monster? Coba kamu telepon ibumu lagi, tanya siapa yang memulai semua ini. Dia yang datang ke dalam keluargaku. Dia yang menghancurkan ibuku pelan-pelan sampai meninggal karena sakit hati. Dia yang membuat Ayah jadi orang yang hancur sampai akhir hayatnya. Dia!”
“Aku nggak percaya!” isakku. “Ibu nggak mungkin kayak gitu!”
“Oh, ya? Lalu kenapa dia mati-matian jual kamu ke aku? Kenapa dia rela berbohong tentang kondisi keuangan keluargamu?” tantang Aldo. “Karena dia tahu aku sudah mulai curiga. Dia pikir, dengan menjadikanmu istriku, aku akan berhenti mencari kebenaran. Dia salah besar. Pernikahan ini justru memberiku akses tak terbatas untuk mencari kebenaran.”
Kepalaku terasa mau pecah. Semua kepingan puzzle yang aneh selama ini mulai menyatu. Sikap Aldo yang terkadang terlalu posesif. Caranya menatap Ibu dengan sorot yang aneh. Semua permainan dan tes yang ia berikan padaku. Semuanya adalah bagian dari rencana balas dendamnya.
“Lika…” lirihku, nama adikku terasa pahit di lidah. “Apa dia tahu?”
“Tentu saja tidak,” jawab Aldo cepat. “Dia, sama sepertimu, hanyalah korban dari keegoisan seorang wanita. Dia tidak bersalah. Sama sepertiku.”
Aku menatapnya. “Terus apa mau kamu sekarang? Kamu udah tahu semuanya. Kamu udah dapat kebenarannya. Kamu mau ceraiin aku? Mau hancurin keluarga aku? Lakuin aja!”
Aldo tertawa, sebuah tawa dingin tanpa kebahagiaan. “Cerai? Aerra, Aerra… kamu masih naif sekali, ya. Kalau aku menceraikanmu, permainannya selesai. Dan aku nggak suka permainan yang selesai terlalu cepat.”
“Jadi, kamu mau apa, brengsek?!”
“Aku mau keadilan,” ucapnya, cengkeramannya di lenganku sedikit menguat. “Aku mau ibumu merasakan apa yang ibuku rasakan. Kehilangan segalanya. Hidup dalam ketakutan. Dan kamu… kamu yang akan jadi alatku.”
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku nggak akan bantu kamu.”
“Oh, kamu akan bantu aku,” sahutnya penuh percaya diri. Ia melepaskan cengkeramannya, lalu berjalan santai ke arah meja kerjanya. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal.
“Lihat ini.” Ia melemparkan amplop itu ke meja di depanku. Isinya berceceran keluar. Beberapa lembar foto lama, salinan surat-surat, dan beberapa dokumen resmi.
Tanganku bergetar saat mengambil selembar foto. Di sana, seorang wanita yang jauh lebih muda,ibuku,tersenyum mesra ke arah seorang pria paruh baya yang tampak berwibawa. Pria itu adalah Hartono Wiratmadja. Ayah Aldo.
“Dan ini,” kata Aldo sambil menunjuk sebuah dokumen, “adalah bukti transfer rutin dari rekening ayahku ke rekening pribadi ibumu. Berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan setelah Lika lahir. Ibumu bukan hanya selingkuhannya, Aerra. Dia juga lintah darat yang menggerogoti harta keluargaku.”
Perutku mual melihat semua bukti itu. Kebohongan yang telah menopang hidupku selama ini hancur berkeping-keping. Ibuku… wanita yang melahirkanku… ternyata adalah orang yang begitu asing dan mengerikan.
“Sekarang kamu sudah lihat, kan?” tanya Aldo, nadanya kembali tenang dan terkendali. “Posisimu sangat jelas.”
Aku mengangkat wajahku, air mata mengalir deras. “Apa yang harus aku lakuin?” tanyaku dengan suara kalah.
Senyum tipis yang mengerikan itu kembali tersungging di bibirnya. “Bagus. Aku suka perempuan yang inisiatif.”
Ia mengambil ponselnya dari saku jas, membuka sesuatu di layarnya, lalu meletakkannya di atas meja di hadapanku. Layar itu menampilkan kontak dengan nama ‘Lika Sayang’.
“Permainan pertama kita sangat sederhana,” ujarnya. “Aku mau kamu tetap jadi istriku. Tetap jadi menantu Wiratmadja yang sempurna di depan semua orang. Dan di belakang layar… kamu akan melakukan semua yang aku perintahkan untuk membuat Susi membayar setiap air mata yang pernah ditumpahkan oleh ibuku.”
“Aku…”
“Kalau kamu menolak,” potongnya, jarinya kini melayang di atas tombol panggil di layar ponselnya, “detik ini juga, aku akan telepon adik kita berdua. Aku akan ceritakan semuanya. Tentang siapa ayah kandungnya, tentang siapa ibunya sebenarnya, dan tentang pernikahan palsu kakaknya. Bayangkan kehancuran yang akan dia alami. Apa kamu mau itu terjadi padanya?”
Mataku terpaku pada layar ponsel itu, pada nama adikku. Lika yang polos, yang ceria, yang tidak tahu apa-apa. Membayangkan dunianya hancur seperti duniaku saat ini membuat jantungku terasa diremas.
“Jangan…” mohonku lirih. “Tolong jangan libatkan dia.”
“Kalau begitu, pilihan ada di tanganmu, Aerra,” kata Aldo, tatapannya sedingin es. “Jadi bonekaku, atau hancur bersama-sama dengan seluruh keluargamu.”
Ia mendorong ponsel itu sedikit lebih dekat ke arahku. Di ruangan yang terasa seperti neraka pribadi ini, aku dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menghancurkan.
“Angkat genggaman telepon yang ada di lantai,” perintahnya dengan suara pelan namun tegas. “Hubungi ibumu. Bilang padanya… kalau kamu sudah memilih pihakmu.”