Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecupan Dingin di Altar
Waktu menunjukkan pukul 08.45 pagi. Rombongan keluarga Aldridge sudah siap untuk berangkat ke Hotel imperium. Para driver sudah memanaskan mesin mobil-mobil mewah. Kakek Umar, mengenakan tuksedo paling elegan, berdiri di lobi utama, menatap jam tangannya dengan tidak sabar.
Amelia dan Ethan berdiri di sampingnya. Amelia terlihat cemas, sementara Ethan berusaha tenang.
"Ethan, di mana Arya?" tanya Kakek Umar, nadanya tajam. "Rombongan akan berangkat dalam lima menit. Jangan sampai calon pengantin pria terlambat di hari pernikahannya sendiri. Itu akan menjadi aib!"
Ethan terlihat bingung. "Saya kira dia sudah siap, Pa. Saya akan segera menyuruh Bima memeriksanya."
Bima yang mendengar namanya dipanggil, segera menghampiri. "Maaf, Tuan Besar. Saya sudah cek kamarnya, Tuan Arya tidak ada. Tapi saya mendapat laporan dari Kepala Keamanan bahwa Tuan Arya sudah berangkat lebih dulu."
Kakek Umar mengerutkan kening. "Berangkat lebih dulu? Untuk apa?"
"Dia bilang ada masalah logistik kecil yang harus dipastikan di venue, Tuan. Dia ingin memastikan keamanan dan persiapan," lapor Bima, mengulangi alasan Arya.
Kakek Umar mendengus, tetapi ekspresinya sedikit mereda. Alasan itu terdengar profesional dan masuk akal untuk seorang Aldridge.
"Anak itu! Selalu membuat drama sendiri," gerutu Kakek Umar. "Baiklah. Amelia, Ethan, kita berangkat sekarang. Telepon Arya dan pastikan dia sudah tiba di sana. Kita tidak boleh terlambat semenit pun."
Amelia segera meraih ponselnya, hatinya dipenuhi kecurigaan. Ia tahu Arya tidak peduli dengan detail logistik. Ia curiga Arya menggunakan kesempatan ini untuk melakukan hal yang tidak seharusnya.
Rombongan Aldridge pun mulai bergerak, menuju Hotel imperium, tidak menyadari bahwa Arya sudah berada di hotel itu, tetapi bukan untuk mengurus logistik pernikahan.
...***...
Di saat yang sama, Arya tiba di Hotel imperium. Ia segera memarkir mobilnya di area parkir VVIP dan bergegas masuk ke dalam hotel. Waktu menunjukkan pukul 08.55. Ia berjalan cepat menuju lantai dua, tempat ballroom utama berada. Suasana hotel sudah ramai dengan lalu lalang staf wedding organizer.
Saat berjalan, Arya menyadari ia tidak tahu persis di mana Olivia berada. Ia harus berhati-hati agar tidak terlihat oleh siapa pun dari rombongan Aldridge atau Wijaya.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Olivia.
"Olivia, kamu ada di mana? Aku sudah di lantai ballroom," bisik Arya, suaranya tegang.
Tiba-tiba, suara lembut dan menggoda terdengar dari belakangnya.
"Di sini, di belakangmu," kata Olivia.
Arya terperanjat. Ia membalikkan badan. Olivia berdiri di dekat deretan pilar, tampak memukau dengan pakaian yang tidak seperti tamu undangan.
"Olivia," panggil Arya, namanya keluar sebagai desahan lega dan putus asa.
Arya tidak peduli dengan sekeliling. Ia segera berjalan dan memeluk Olivia erat-erat, meremasnya seolah ini adalah pelukan terakhir.
"Arya, jangan di sini! Ikut aku," bisik Olivia, menarik tangan Arya.
"Ya," kata Arya, tanpa berpikir dua kali.
Olivia menuntun Arya melalui lorong samping, menjauhi keramaian. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil yang sepi, mungkin ruang utilitas atau ruang staf yang tidak terpakai, di sudut yang sangat tersembunyi.
Olivia segera masuk, menarik Arya masuk, dan mengunci pintu dari dalam.
Tanpa basa-basi, Olivia mendorong Arya ke dinding. Matanya penuh gairah dan ancaman. Ia langsung menangkup wajah Arya dengan kedua tangannya dan menciumnya dengan kasar, sebuah ciuman yang dipenuhi kerinduan dan keputusasaan.
Arya segera membalasnya dengan intensitas yang sama. Ia memeluk pinggang Olivia erat-erat, membalikkan keadaan, dan mencium Olivia dengan rakus. Ciuman itu berpindah dari bibirnya, turun ke leher Olivia. Mereka berdua terperangkap dalam momen terlarang itu, di lokasi di mana Arya akan mengucapkan janji pernikahan palsu sebentar lagi.
Waktu terus berjalan, dan jarum jam semakin mendekati pukul sembilan.
Arya mencium Olivia dengan intens, tangannya menarik Olivia semakin dekat. Keintiman di ruangan tersembunyi itu semakin dalam, dipenuhi gejolak emosi dan hasrat yang tertahan.
Tepat pada puncak momen itu, suara yang sangat mengganggu memecah keheningan di dalam ruangan kecil tersebut.
Ponsel Arya yang ia simpan di saku celana, berdering keras.
Arya tersentak kaget. Mereka berdua segera menjauh satu sama lain, wajah mereka terkejut dan napas mereka terengah-engah. Arya merogoh sakunya dengan gemetar.
Layar ponselnya menampilkan nama Papa .
Arya menelan ludah. Panggilan itu adalah alarm bahaya yang paling jelas. Rombongan pasti sudah tiba, dan ia sekarang harus sudah berada di ballroom.
"Sial," desis Arya, segera mematikan dering ponselnya dan menolak panggilan tersebut.
Olivia menatapnya, matanya dipenuhi pertanyaan dan kecemasan. "Ada apa, Arya?"
"Itu Papa," bisik Arya. "Rombongan sudah tiba. Aku harus segera pergi, Liv. Aku sudah terlambat."
Arya melihat jam tangannya. Pukul 09.05. Ia hanya punya waktu kurang dari satu jam sebelum upacara dimulai. Pelarian singkatnya sudah selesai, kini ia harus kembali ke sandiwara.
Aku harus pergi," kata Arya, menjauh dari dinding. Wajahnya menunjukkan konflik batin yang besar antara kewajiban dan hasrat.
"Tunggu, Arya," pinta Olivia.
Olivia menarik Arya mendekat lagi. Ia mencium bibir Arya sekali lagi, ciuman singkat namun penuh janji dan kepemilikan. Kemudian, dengan gerakan cepat dan cekatan, ia merapikan jas Arya yang kusut—meluruskan kerah, meratakan bahu, dan menyisir rambut Arya dengan jari-jarinya. Ia ingin memastikan tidak ada satu pun jejak pertemuannya yang terlihat.
"Selesai," kata Olivia, mundur selangkah. Mata mereka bertemu. "Ingat, Sayang. Ini hanya sandiwara. Dan aku berada sangat dekat. Jangan lupakan itu."
Arya mengangguk, tidak bisa berkata-kata. Ia meraih gagang pintu, membuka kuncinya, dan melirik ke lorong. Kosong.
"Aku akan menghubungimu nanti," bisik Arya.
Ia segera keluar dari ruangan tersembunyi itu dan bergegas menuju ballroom utama, tempat ia harus bertransformasi menjadi calon suami yang sempurna.
Olivia hanya berdiri di ambang pintu, tersenyum sinis. Ia tahu, meskipun Arya akan berdiri di altar bersama Amara, hati dan pikirannya baru saja ditinggalkan di kamar hotelnya. Rencana penghancuran pernikahan itu kini siap untuk diaktifkan
...***...
Arya berjalan dengan langkah cepat dan tegang, menyusuri lorong mewah menuju ballroom utama Hotel imperium. Jantungnya masih berdebar kencang karena pertemuannya dengan Olivia. Ia berusaha keras menormalkan napas dan merapikan ekspresinya menjadi dingin dan profesional.
Saat ia mendekati area ballroom yang telah didekorasi dengan megah, ia melihat rombongan Aldridge Group sudah tiba.
Di pintu masuk ballroom, Kakek Umar berdiri tegak, matanya menatap tajam, dikelilingi oleh Ethan dan Amelia. Mereka semua sudah siap, menunggu Arya.
Begitu Kakek Umar melihat Arya berjalan mendekat, wajahnya langsung mengeras.
"Arya! Kamu dari mana saja? Sudah hampir pukul sembilan lewat, dan rombongan keluarga Wijaya akan tiba sebentar lagi!" desis Kakek Umar, suaranya pelan namun penuh ancaman, tidak ingin menarik perhatian staf.
Amelia mendekati putranya. "Arya, kamu baik-baik saja? Mama dan Papa telepon tidak diangkat."
" Saya baik-baik saja, Ma," jawab Arya, suaranya sedikit serak. Ia berusaha keras untuk tidak terlihat terengah-engah. " Saya sudah bilang, saya akan memastikan beberapa detail keamanan yang harus di cek dengan benar. dan agar tidak terganggu saya mematikan telepon nya, Saya minta maaf."
Kakek Umar menatapnya curiga, tetapi tidak punya waktu untuk berdebat. "Sudahlah. Sekarang segera bersiap. Amelia, pastikan dia di ruang tunggu pengantin pria. Bima, awasi dia!"
Arya mengangguk patuh. Ia mengambil napas dalam-dalam.
Hanya berselang beberapa menit setelah Arya dimarahi oleh Kakek Umar, suasana di area ballroom semakin sibuk.
Dari kejauhan, terlihat rombongan mobil mewah lainnya tiba. Itu adalah keluarga Wijaya.
Di pintu masuk utama ballroom, Amelia dan Ethan bergerak cepat menyambut kedatangan mereka, sesuai dengan protokol.
Zayn melangkah masuk, memimpin rombongan. Di sampingnya, dalam balutan gaun pengantin yang megah dan elegan, berdiri Amara.
Amara berjalan dengan anggun, memancarkan aura ketenangan profesional. Ia terlihat sempurna dan menawan, menyembunyikan semua kegelisahan dan rasa sakit hati yang ia rasakan semalam.
Kakek Umar, yang melihat Amara dari kejauhan, tersenyum kecil—puas dengan pilihan calon menantunya yang tampak berkelas dan siap.
Amelia segera menyambut Zayn dan Amara dengan pelukan formal.
"Selamat datang, Zayn, Amara. Kalian tepat waktu," sambut Amelia hangat.
"Terima kasih, Amelia. Amara sudah siap," balas Zayn.
Pandangan Amara segera mencari Arya. Ia melihat calon suaminya berdiri sedikit menjauh, di samping Kakek Umar. Arya menatapnya, tetapi tatapannya sedingin es, tanpa emosi, dan tanpa sedikit pun kehangatan atau kekaguman .
Amara mengabaikan tatapan itu. Ia tersenyum tipis pada Kakek Umar.
" Kakek Umar, mari kita mulai," ujar Amara, suaranya tenang.
Kakek Umar mengangguk. "Bagus. Arya, kamu temani Amara di ruang tunggu pengantin. Amelia, kamu urus tamu-tamu. Upacara dimulai sepuluh menit lagi."
Arya dan Amara diarahkan menuju ruang tunggu pengantin, untuk menghabiskan menit-menit terakhir sebelum janji pernikahan palsu itu diucapkan.
...***...
Arya dan Amara kini sudah berada di ruang tunggu pengantin yang mewah. Ruangan itu didesain untuk keintiman, tetapi yang terasa hanyalah jarak yang membekukan.
Sesuai dengan sikapnya yang menolak, Arya bahkan tidak duduk. Ia berdiri di dekat jendela, memunggungi Amara. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya, meskipun sebenarnya ia sedang menunggu pesan dari Olivia, mengabaikan setiap detik yang berharga sebelum upacara.
Amara duduk di sofa tunggal, gaun pengantinnya yang megah memenuhi sebagian besar sofa itu. Ia menatap punggung Arya, rasa sakit dan frustrasi memuncak di hatinya.
Ia tahu, ia harus mencoba bersikap normal, setidaknya untuk menjaga sandiwara ini.
"Arya," panggil Amara lembut, mencoba memulai percakapan. "Dekorasinya... apakah kamu melihatnya? Bagaimana menurut mu? "
Arya tidak menoleh. Jari-jarinya terus bergerak di layar ponsel, meskipun ia hanya berpura-pura mengetik.
"Arya?" panggil Amara lagi, sedikit lebih keras.
Arya menghela napas panjang, menunjukkan betapa terganggunya ia.
" Lumayan" jawab Arya, suaranya datar dan dingin, tanpa berbalik. "
Amara terdiam. Ia merasakan hatinya mencelos karena diabaikan secara terang-terangan seperti itu. Ia tahu mencoba berbicara lagi hanya akan sia-sia. Arya sudah menetapkan batasan yang jelas: tidak ada interaksi pribadi.
Amara pun mengalihkan pandangannya dari punggung Arya, mengambil napas dalam-dalam. Ia memutuskan untuk tidak membuang energinya lagi. Ia kembali fokus pada ketenangan dirinya, mempersiapkan diri untuk berjalan di lorong ballroom itu sendirian, tanpa dukungan emosional dari pria yang akan menjadi suaminya.
...***...
Keheningan yang dingin dan mematikan di ruang tunggu itu akhirnya terpecahkan.
Terdengar ketukan pelan di pintu.
"Tuan Arya, Nona Amara," panggil suara lembut dari luar, itu adalah Koordinator Acara yang sudah menunggu.
"Waktu sudah tiba. Para tamu sudah menempati tempat duduk mereka. Upacara akan segera dimulai."
Arya segera menyimpan ponselnya ke dalam saku. Meskipun ia baru saja mengabaikan Amara, panggilan untuk upacara itu adalah sinyal bahwa ia harus kembali ke perannya sebagai pewaris Aldridge.
Amara menarik napas panjang, merapikan gaunnya sekali lagi. Ini dia. Momen yang ia persiapkan, sandiwara yang ia latih.
" Mari, Tuan Arya, Nona Amara. Kita sudah ditunggu." kata koordinator acara.
Arya segera melangkah menuju pintu tanpa menunggu Amara.
Amara mengikuti di belakang. Ia mengaitkan tangannya ke lengan Zayn yang kini sudah berdiri di ambang pintu, menunggu untuk mengantarnya.
Zayn menoleh pada putrinya. "Siap, Sayang?"
Amara mengangguk. "Siap, Pa."
Dengan iringan musik yang megah, pintu ballroom utama terbuka. Cahaya lampu yang terang, dekorasi mewah dari bunga-bunga champagne dan navy memenuhi pandangan. Di ujung lorong, Arya sudah berdiri di altar, di samping Kakek Umar, memasang wajah sedingin mungkin.
Amara memaksakan senyum di wajahnya. Langkah demi langkah, ia dan Zayn berjalan menyusuri lorong, memulai sandiwara pernikahan yang akan mengikat dua keluarga besar ini.
...***...
Di dalam ballroom yang megah, musik orkestra mengalun lembut mengiringi langkah Zayn dan Amara. Semua mata tertuju pada Amara, yang terlihat sempurna dalam gaun putihnya. Dia berjalan dengan anggun, tetapi pandangannya tetap fokus.
Di ujung lorong, Arya berdiri kaku di samping Kakek Umar, raut wajahnya sedingin patung marmer. Meskipun matanya terpaku pada Amara yang mendekat, pikirannya masih dipenuhi bayangan Olivia dan ciuman panas di ruang utilitas tadi.
Zayn mengantar putrinya hingga ke altar. Ia menatap Arya dengan tatapan penuh peringatan, sebuah isyarat yang jelas.
Zayn kemudian memberikan tangan Amara kepada Arya. Sentuhan tangan mereka dingin, tanpa kehangatan.
"Jaga putriku," bisik Zayn pelan kepada Arya, hanya didengar oleh mereka berdua, sebelum ia mundur.
Arya hanya mengangguk kecil, matanya menghindari Amara.
Upacara pun dimulai.
Di hadapan pendeta dan ratusan tamu penting, Amara dan Arya berdiri berdampingan.
"Saudara Arya Pratama Aldridge," suara pendeta bergema, "Bersediakah Anda menerima Amara Selvana Wijaya sebagai istri Anda, untuk dicintai dan dihormati, dalam keadaan susah maupun senang, sakit maupun sehat, hingga maut memisahkan?"
Arya menarik napas dalam. Suara Olivia, Jangan sentuh dia, jangan cintai dia, berputar keras di kepalanya. Ia melirik sekilas pada Kakek Umar yang menatapnya dengan tajam.
"Ya, saya bersedia," jawab Arya, suaranya mantap, tetapi terdengar hampa.
Pendeta beralih ke Amara. "Saudari Amara Selvana Wijaya, bersediakah Anda menerima Arya Pratama Aldridge sebagai suami Anda..."
Amara menatap Arya. Ia melihat ketidakpedulian di mata pria itu. Ia tahu, janji ini hanyalah formalitas, perjanjian bisnis yang kejam.
"Ya, saya bersedia," jawab Amara, suaranya tenang dan tegas. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa meskipun pernikahan ini palsu, ia akan menjalaninya dengan kepala tegak.
Setelah pertukaran cincin Arya memasangkan cincin dengan gerakan cepat dan dingin, tibalah saat yang dinanti, ciuman pertama sebagai suami istri.
Semua tamu bersorak dan bertepuk tangan.
Arya mendekat. Amara menutup matanya, bersiap untuk kehangatan yang tidak akan pernah datang.
Arya menyentuh bibir Amara. Itu bukan ciuman, melainkan sentuhan bibir yang sangat singkat dan dingin—hanya formalitas, tidak lebih dari sekadar sentuhan ringan, persis seperti janji yang ia buat pada Olivia. Arya menjauh segera setelah itu, bahkan sebelum Amara sempat membuka mata.
Kakek Umar tersenyum lebar, puas. Sandiwara berhasil.
"Sekarang, dengan ini saya nyatakan kalian resmi sebagai suami dan istri!" seru pendeta.
Amara membuka matanya. Ia merasakan bibirnya dingin. Ia tahu ciuman itu adalah penegasan, bukan cinta, melainkan kontrak. Ia adalah Nyonya Aldridge, dan inilah awal dari pernikahan yang dingin dan palsu.
Bersambung.....