Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 / THTM
Ruangan itu masih sama sunyi nya.
Tapi setelah kata-kata terakhir Alaric, keheningan berubah jadi sesuatu yang mencekik.
Nayara berdiri di sana, kaku, seperti tubuhnya tak tahu harus menuruti otak atau hatinya.
Tangannya gemetar, menekan dada sendiri — mencoba meredakan degup yang begitu keras, tapi percuma.
“Aku cuma pengen semuanya normal lagi,” katanya lirih, hampir seperti anak kecil yang minta maaf tanpa tahu salahnya di mana.
“Aku pengen sekolah, pengen bantu ibu… aku pengen semuanya kayak dulu.”
Suara itu pecah di akhir kalimat.
Air mata akhirnya menetes, pelan tapi terus-menerus, menodai pipinya yang sudah pucat.
Alaric yang sejak tadi berdiri membelakanginya perlahan berbalik.
Tatapan dinginnya sedikit mencair, meski hanya sesaat.
Ia melangkah pelan, lalu berhenti di depannya.
Tidak ada kata.
Tidak ada pergerakan berlebihan.
Hanya pandangan tajam yang kini terasa lebih dalam, bukan sekadar ingin menguasai — tapi juga mencari sesuatu di mata gadis itu.
“Normal…” gumam Alaric pelan, “kata yang menarik.”
Ia mendekat sedikit.
“Kamu pikir, setelah malam itu, ada yang masih bisa ‘normal’, Nayara?”
Nada suaranya rendah, bukan marah, tapi lebih ke arah lelah dan getir.
Dan itu justru membuat Nayara makin ingin menangis.
“Aku nggak minta banyak hal, aku cuma…” ia terhenti, menunduk, menahan isak.
“Aku cuma pengen tenang.”
Untuk sesaat, Alaric tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menatap — dalam, lama, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Kemudian tangannya terangkat, bukan untuk memegang, tapi hanya menyentuh pipi Nayara dengan ujung jarinya, ringan seperti angin.
“Tenang, ya?” katanya pelan.
“Kamu pikir aku bisa tenang juga?”
Nayara menatapnya kaget, matanya masih basah.
Ia tak tahu apa maksud pria itu — marah kah? Atau justru… kecewa?
“Aku nggak tahu harus gimana…” ucap Nayara lirih.
“Kamu nggak perlu tahu,” jawab Alaric cepat.
“Kamu cuma perlu datang saat aku minta, dan pulang saat aku izinkan.”
Nada itu kembali berubah — dari lembut jadi dingin dalam sekejap.
Dan seperti biasa, Nayara terdiam.
Ia benci dirinya karena selalu diam, tapi di hadapan pria ini, lidahnya seolah tak punya kendali.
Alaric menurunkan tangannya, lalu berbalik ke arah mejanya.
Suara kancing kemejanya terdengar samar saat ia membetulkannya, sebelum ia berkata tanpa menoleh:
“Pulanglah dulu. Aku akan kirim supir untuk mengantar.”
“Dan mulai besok, setiap perintah yang ku berikan kau harus datang ke sini tanpa banyak kata-kata yang tidak di butuhkan.”
“Kamu mau atau tidak, aku tidak peduli. Intinya aku yang tentukan kapan kau harus datang dan pulang.”
Nada tegas itu menutup semua ruang bicara.
Nayara hanya berdiri, air matanya sudah berhenti tapi matanya merah.
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan semua yang ingin ia lontarkan.
Namun yang keluar hanyalah satu kalimat pendek, hampir tak terdengar:
“Aku benci kak Alaric…”
Dan untuk pertama kalinya, Alaric tersenyum — senyum kecil, tapi anehnya tidak ada kemenangan di sana.
Lebih mirip luka yang disembunyikan rapat-rapat.
“Kamu nggak benci aku, Nayara,” katanya pelan tanpa menatap.
“Kamu cuma benci karena kamu nggak bisa berhenti mikirin aku.”
Ucapan itu menutup percakapan hari itu — seperti stempel dingin pada surat perjanjian yang tak bisa dibatalkan.
——————
Langit sore meneteskan gerimis tipis ketika mobil hitam itu berhenti di depan rumah sederhana di gang kecil itu.
Nayara membuka pintu pelan, menunduk pada sopir yang menjemputnya, lalu bergegas masuk tanpa sepatah kata.
Langkahnya berat.
Lantai rumah terasa lebih dingin dari biasanya, dan dinding-dindingnya tampak lebih sempit dari yang ia ingat.
Entah kenapa — setelah keseringan berada di rumah besar keluarga Elara — rumah sendiri kini terasa terlalu kecil untuk menampung semua pikirannya.
Ia melempar tas ke atas meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap jari-jarinya yang masih gemetar.
Bekas perban di lutut kirinya tampak basah sedikit.
Ia menatapnya lama, lalu tersenyum getir.
“Lucu, ya,” gumamnya sendiri, “orang yang bikin aku luka… juga yang ngobatin.”
Kata-kata itu meluncur tanpa sadar, seperti gumaman setengah sadar yang keluar dari pikiran yang lelah.
Ia mencoba menepisnya, menepuk pipinya ringan — tapi justru semakin terasa perih.
Nayara berdiri, berjalan ke jendela.
Gerimis makin deras, aroma tanah basah menyeruak masuk bersama angin.
Ia memeluk tubuh sendiri, menggigit bibir, mencoba menahan rasa yang tidak bisa ia beri nama.
Bukan cinta, tapi juga bukan sekadar takut.
Lebih ke… kehilangan kendali.
Bayangan Alaric muncul di kepalanya — tatapannya yang tajam, suaranya yang berat, jarak di antara mereka yang selalu terlalu dekat.
Dan tanpa sadar, jantungnya berdegup lebih cepat.
“Astagfirullah… kenapa sih?” bisiknya frustrasi.
“Kenapa aku malah kepikiran dia?”
Ia mengusap wajahnya keras, lalu merebahkan diri ke kasur.
Matanya terpejam, tapi pikirannya tidak berhenti.
Kalimat Alaric terus terulang —
“Kamu nggak benci aku, Nayara. Kamu cuma benci karena kamu nggak bisa berhenti mikirin aku.”
Kalimat itu menusuk seperti paku, tapi entah kenapa, di balik marah dan malu, ada sensasi aneh yang membuat dadanya hangat.
Nayara memeluk bantal erat, seperti ingin menenangkan diri sendiri.
Tapi bayangan itu terus datang — dari kantor, dari tatapan, dari sentuhan ringan di pipinya tadi.
Ia ingin lupa, tapi tidak bisa.
“Kak Alaric…” katanya lirih tanpa sadar.
Suaranya pecah di akhir.
“Aku beneran benci kamu…”
Air mata jatuh pelan, membasahi sarung bantal.
Hujan di luar makin deras, dan malam pun menelan segalanya — termasuk perasaan Nayara yang semakin tak bisa ia bedakan antara benci, takut, dan sesuatu yang tak seharusnya ada.
———
Sudah hampir seminggu Nayara tidak berkunjung ke rumah besar itu.
Ia memberi banyak alasan pada Elara — tugas sekolah, les tambahan, bahkan alasan sederhana seperti “lagi nggak enak badan”.
Semua terdengar masuk akal.
Tapi alasan sebenarnya, hanya satu: Alaric.
Sejak kejadian di rumahnya, sejak tatapan itu, sejak tangan itu menyentuh kulitnya lalu seolah menyisakan jejak tak terlihat… Nayara tak lagi tenang.
Ia mencoba menata hati, meyakinkan diri kalau semuanya hanya kebetulan, hanya hal kecil yang tak perlu dipikirkan.
Tapi setiap kali ia memejamkan mata, sosok pria itu muncul lagi — dengan senyum sinis yang entah kenapa membuat napasnya tercekat.
“Udah deh, Nay,” gumamnya sambil menepuk pipinya sendiri di depan cermin, “lo tuh harus normal lagi. Jangan mikirin hal aneh-aneh.”
Ia mengikat rambutnya, mengambil tas, lalu berjalan ke sekolah.
Jalanan basah sisa hujan semalam, aroma rumput basah menyeruak dari sisi jalan.
Langkahnya cepat, berusaha mengalihkan pikiran dengan mengulang-ulang hafalan pelajaran.
Tapi begitu melewati gerbang sekolah, suara yang sangat ia kenal terdengar dari arah mobil hitam yang terparkir di seberang.
“Nayara.”
Suara itu rendah, berat, dan jelas-jelas tak salah lagi.
Nayara refleks menoleh — dan di sana, di balik kaca jendela yang terbuka sedikit, Alaric duduk santai.
Satu tangan di kemudi, satu lagi memegang ponsel, tapi tatapannya jelas tertuju padanya.
“K–Kak Alaric?” suaranya nyaris tercekat.
“Ng… ngapain di sini?”
Alaric hanya tersenyum, lalu menurunkan kaca jendela sepenuhnya.
“Lewat aja. Tapi aneh, ya? Setiap lewat sini, rasanya selalu liat kamu.”
Nada bicaranya datar, tapi ada sesuatu di baliknya — sesuatu yang membuat Nayara ingin mundur satu langkah.
“Kebetulan aja, kali,” jawab Nayara buru-buru.
“Aku udah telat, Kak.”
Ia berbalik cepat, tapi langkahnya tertahan oleh suara Alaric yang kembali memanggil, kali ini lebih pelan tapi menusuk.
“Jangan terus sembunyi, Nayara. Kadang yang kamu hindari justru hal yang paling kamu pengen temuin.”
Nayara berhenti sejenak, tapi tak menoleh.
Ia menggigit bibir, lalu berjalan cepat masuk ke halaman sekolah.
Napasnya tersengal, bukan karena berlari, tapi karena dada yang terasa terlalu penuh.
Sepanjang hari itu, ia tidak bisa fokus.
Setiap kali menatap papan tulis, pikirannya justru kembali ke parkiran tadi.
Bagaimana mungkin pria itu bisa muncul di sana, di waktu yang tepat, dengan cara yang membuatnya yakin kalau itu bukan kebetulan?
Ketika bel terakhir berbunyi, Nayara menarik napas panjang.
Ia ingin pulang cepat, tapi begitu keluar gerbang sekolah, langkahnya kembali terhenti.
Mobil hitam itu masih di sana.
Mesinnya mati, tapi jendelanya sedikit terbuka — seolah pemiliknya ingin menegaskan bahwa ia memang menunggu.
Nayara menelan ludah, lalu menunduk.
Ia memilih jalan lain, memutar lewat gang sempit.
Namun, entah kenapa, setiap langkah terasa diawasi.
Dan di ujung gang, suara mesin mobil kembali terdengar… pelan, seperti mengikuti dari kejauhan.
“Kamu pikir bisa kabur selamanya, Nayara?”
“Kalau aku yang nyari, aku pasti nemuin kamu.”
Nayara berhenti, memejamkan mata.