“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
melati?
Pagi itu udara terasa begitu segar. Langit cerah, dan matahari bersinar lembut menerpa wajah Rani. Ia melangkah dengan semangat menuju pabrik—kali ini bukan lagi Rani yang lesu dan murung seperti dulu. Ia memakai kemeja putih rapi yang baru dibelinya kemarin, dipadukan dengan celana kain hitam dan sepatu kerja bersih. Wajahnya segar dengan sedikit pulasan bedak tipis dan lip tint natural.
Begitu tiba di halaman pabrik, suasana terasa berbeda dari biasanya. Banyak pegawai sudah berbaris rapi di depan gedung utama. Ada spanduk bertuliskan “Selamat Datang Pemilik Baru”, beberapa atasan juga berdiri dengan raut wajah serius.
Rani melirik ke arah Nadia yang berdiri tak jauh darinya.
“Nad, kok rame banget? Biasanya kan nggak begini,” bisiknya.
Nadia mengangkat bahu. “Iya, aku juga kaget. Katanya pemilik baru ini bakal langsung datang hari ini buat perkenalan sama semua karyawan.”
Beberapa menit kemudian, suara mikrofon terdengar. Salah satu kepala bagian memberikan aba-aba agar semua pegawai berdiri lebih rapi. Deru mobil mewah terdengar dari kejauhan. Semua mata tertuju ke arah gerbang.
Sebuah mobil hitam elegan meluncur masuk perlahan. Begitu pintu terbuka, seorang pria berjas abu-abu turun dengan langkah tegap dan penuh wibawa. Rambutnya hitam rapi, kulitnya bersih, dan senyum tipis menghiasi wajahnya.
Rani membeku. Matanya melebar tak percaya.
“D-Dion…” gumamnya lirih.
Ya, pria itu adalah Dion Rajendra, sahabat lamanya yang sempat ia temui di café beberapa waktu lalu. Pria yang dulu selalu mendukungnya ketika Rani masih kuliah—dan kini, tanpa Rani sangka sedikit pun, ia adalah pemilik baru pabrik tempat Rani bekerja.
“Selamat pagi semuanya!” suara Dion terdengar lantang dan tenang. “Mulai hari ini, saya resmi mengambil alih kepemilikan pabrik ini. Saya berharap kita semua bisa bekerja sama dengan baik dan membangun tempat ini menjadi lebih besar dan nyaman untuk semua karyawan.”
Pegawai bertepuk tangan. Tapi Rani masih berdiri terpaku di tempat, jantungnya berdetak kencang. Dunia terasa berputar lebih cepat dari biasanya.
Dion kemudian berjalan menyusuri barisan karyawan, menyapa satu per satu dengan ramah. Saat langkahnya sampai di depan Rani, ia berhenti. Pandangan matanya langsung mengenali wajah Rani.
“Rani…?” ucap Dion pelan, seolah tak percaya.
Rani tersenyum canggung. “Iya, Dion… lama nggak ketemu.”
Dion tersenyum lebar, sorot matanya berubah hangat. “Ternyata kita bertemu lagi di sini… dalam situasi yang sama sekali nggak aku sangka.”
Nadia yang berdiri di sebelah Rani hampir meloncat kegirangan melihat ekspresi keduanya. Ia tahu, dari cara Dion menatap, pria itu jelas punya perhatian lebih pada Rani.
Dion menoleh ke kepala bagian. “Orang ini… boleh saya ajak bicara sebentar?”
Semua pegawai terdiam, sedikit terkejut, termasuk Rani sendiri. Kepala bagian hanya mengangguk setuju. Dion lalu memberi isyarat lembut pada Rani untuk mengikutinya ke ruangannya.
Saat Rani melangkah mengikuti Dion, Nadia menahan senyum lebar.
“Aduh Ran… hidup kamu bakal mulai makin seru kayaknya,” gumam Nadia pelan sambil melirik barisan pegawai lain yang mulai berbisik-bisik penuh rasa penasaran.
Di dalam ruangan kantor utama yang megah dan ber-AC dingin itu, Rani duduk berhadapan langsung dengan Dion. Suasana ruangan begitu nyaman, dindingnya berwarna putih bersih dengan sentuhan modern minimalis. Di atas meja kayu elegan, ada dua cangkir kopi panas yang baru saja disajikan oleh resepsionis.
Dion menyandarkan punggungnya santai di kursi, masih dengan senyum kecil yang tak pernah hilang sejak melihat Rani tadi pagi.
“Jujur, aku nggak nyangka banget bisa ketemu kamu di sini, Ran,” katanya pelan.
Rani tertawa kecil, sedikit gugup. “Aku juga nggak nyangka, Dion. Dunia ini sempit banget ya.”
Dion mengangguk pelan. Tatapannya lembut, tapi penuh makna. “Aku masih inget kamu dulu waktu kuliah—perempuan yang paling rajin, kuat, dan nggak gampang nyerah. Sekarang… kamu kerja di sini, di pabrikku sendiri. Kayak takdir yang ngatur kita buat ketemu lagi.”
Pipi Rani memanas mendengar kalimat itu, tapi ia mencoba bersikap tenang. “Aku cuma karyawan biasa, Dion. Hidupku juga belakangan ini… agak rumit.”
Dion menatapnya serius. “Justru karena itu, aku pengin bantu kamu, Ran. Aku butuh orang yang aku percaya di posisi penting di sini. Bagaimana kalau kamu jadi HRD… atau bahkan manager produksi? Aku tahu kemampuan kamu lebih dari cukup buat posisi itu.”
Rani terbelalak, tak menyangka akan mendapat tawaran sebesar itu. Tangannya refleks mengepal di pangkuan.
“Dion, tawaran kamu terlalu besar buat aku. Aku… aku belum pantas. Aku cuma lulusan biasa, pekerja biasa juga. Aku nggak punya pengalaman mimpin orang.”
Dion menggeleng pelan. “Kamu salah. Kamu punya pengalaman hidup yang keras, dan itu lebih berharga daripada sekadar gelar atau jabatan. Kamu perempuan kuat, Ran. Aku percaya kamu bisa.”
Rani menunduk, tersenyum kecil. Hatinya hangat mendengar kepercayaan itu, tapi ia tetap menggelengkan kepala pelan.
“Terima kasih, Dion. Aku benar-benar terharu… tapi untuk sekarang, biarkan aku tetap di posisi ini dulu ya. Aku masih pengin belajar banyak.”
Dion menarik napas panjang, lalu mengangguk penuh pengertian. “Oke… aku nggak akan maksa. Tapi tawaran ini tetap terbuka kapan pun kamu siap, Ran.”
Suasana hening sesaat, tapi bukan hening yang canggung. Justru ada keakraban lama yang perlahan kembali.
Rani berdiri perlahan, merapikan bajunya. “Aku harus balik kerja sekarang. Kalau enggak, nanti aku malah dimarahi mandor,” katanya sambil tersenyum.
Dion ikut berdiri. “Yaudah, kerja yang semangat. Tapi ingat, sekarang bos kamu aku,” ujarnya setengah bercanda.
Rani tertawa pelan, “Iya, Pak Bos.”
Dion menatapnya dalam, lalu tersenyum. “Senang banget bisa ketemu kamu lagi, Ran.”
“Aku juga, Dion.” Rani melangkah keluar dari ruangan itu dengan perasaan aneh yang menyenangkan—perasaan ringan yang sudah lama tak ia rasakan.
Dan di balik kaca ruangannya, Dion masih menatap kepergian Rani sambil menyunggingkan senyum tipis.
“Aku nggak akan biarin kamu terluka lagi, Ran…” gumamnya pelan, seolah membuat janji pada dirinya sendiri.
★★★★
Sore itu, langit mulai menguning keemasan. Di rumah kecil yang dulu dikuasai oleh Bu Marni, suasana mendadak menjadi tegang. Bu Marni yang tengah duduk di kursi ruang tamu mendadak tersentak kaget ketika suara ketukan pintu terdengar keras—berulang kali dan tergesa.
“Ibu Marni! Ibu Marni! Keluar bu, ini masalah penting!” teriak salah satu tetangga dari luar pagar.
Dengan wajah heran, Bu Marni berdiri dan membuka pintu. Di luar, dua tetangga, Bu Lastri dan Pak Rudi, berdiri dengan napas memburu dan ekspresi serius.
“Ada apa sih teriak-teriak kayak kebakaran?” tanya Bu Marni ketus.
Bu Lastri menatapnya tajam. “Bu… anak perempuan ibu itu lho… si Melati. Dia digerebek warga di rumah juragan tanah… lagi berduaan, Bu! Malu satu kampung!”
Tubuh Bu Marni seketika kaku. “A-apa? Kamu jangan sembarangan ngomong, Lastri!” suaranya meninggi, namun terdengar gemetar.
Pak Rudi ikut menimpali, “Ini bukan fitnah, Bu. Warga rame ngumpul di rumahnya Pak Surya—juragan tanah itu. Melati ketahuan masuk lewat pintu belakang dan… yah, Bu pasti bisa nebak sendiri. Dia sama Pak Surya.”
“Pak Surya?” Bu Marni hampir tak percaya. Pak Surya adalah juragan kaya yang sudah punya tiga istri dan dikenal playboy tua di kampung itu. Nama Melati kini jadi bahan gunjingan besar.
“Iya, Bu. Warga semua udah ngelihat langsung. Udah rame banget sekarang. Ibu harus ke sana!” kata Bu Lastri lagi dengan nada yang sedikit sinis.
Tanpa pikir panjang, Bu Marni langsung menyambar kerudung dan berlari menuju rumah Pak Surya. Begitu sampai, benar saja—puluhan warga sudah berkumpul di depan rumah besar bercat hijau itu. Suara teriakan, umpatan, dan cibiran terdengar di mana-mana.
Melati berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi, rambutnya kusut, pakaiannya acak-acakan. Di sampingnya, Pak Surya—lelaki paruh baya perut buncit dengan sarung—berusaha berbicara dengan ketua RT, namun jelas suasana sudah kacau.
“Melati! Astagaaaaaa… anak setan! Apa yang kamu lakukan!” teriak Bu Marni sambil menarik tangan anaknya dengan kasar.
Warga mulai bergumam:
> “Iya tuh, pantes aja ibunya nyolot terus…”
“Padahal katanya kuliah… eh ujung-ujungnya begini.”
“Ngincer harta juragan, kali.”
Wajah Bu Marni merah padam, bukan hanya karena amarah, tapi juga malu besar. “Kamu bikin malu keluarga! Malu aku sama orang sekampung!” bentaknya di depan semua orang.
Melati hanya menunduk ketakutan, air matanya mengalir deras. Ketua RT mencoba menengahi. “Bu Marni, tolong tenang. Ini masalah besar, tapi jangan ribut di depan semua orang. Kita selesaikan di balai RT saja.”
Tapi sebelum Bu Marni sempat menjawab, salah satu warga nyeletuk lantang:
“Pantes aja ibunya galak dan matre, anaknya aja nggak jauh beda!”
Tawa sinis beberapa warga terdengar. Bu Marni ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Reputasinya, harga dirinya, semua tercoreng dalam sekejap.
Dan di tengah kerumunan itu—gosip dan cibiran mulai menyebar lebih cepat dari api yang menyambar rumput kering. Nama keluarga Bu Marni kini jadi bahan olok-olok seluruh warga sekitar.
Dalam hati kecilnya, Bu Marni tahu… semua ini bukan cuma aib, tapi juga pukulan telak untuk dirinya sendiri.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .