“Sudahlah, jangan banyak alasan kalau miskin ya miskin jangan hidup nyusahin orang lain.” Ucap istri dari saudara suamiku dengan sombong.
“Pak…Bu…Rafa dan Rara akan berusaha agar keluarga kita tidak diinjak lagi. Alhamdulillah Rafa ada kerjaan jadi editor dan Rara juga berkerja sebagai Penulis. Jadi, keluarga kita tidak akan kekurangan lagi Bu… Pak, pelan-pelan kita bisa Renovasi rumah juga.” Ucap sang anak sulung, menenangkan hati orang tuanya, yang sudah mulai keriput.
“Pah? Kenapa mereka bisa beli makanan enak mulu? Sama hidupnya makin makmur. Padahal nggak kerja, istrinya juga berhenti jadi buruh cuci di rumah kita. Pasti mereka pakai ilmu hitam tu pah, biar kaya.” Ucap istri dari saudara suaminya, yang mulai kelihatan panas, melihat keluarga Rafa mulai maju.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Adi bangkrut
Lastri lantas membeku, matanya terbelalak. Adi menatap Herman dengan marah yang di tahan. Sementara Bu Sri memejamkan matanya tidak percaya.
Herman mendengus, lalu bersidekap. “Kenapa? Kenapa malah diam saja? Aku tahu, mas Adi memang serakah, gila dunia, mas Adi lebih memilih uang dan kekayaan mas Adi daripada aku yang berubah menjadi lebih baik.” Ucapnya.
Bu Sri menoleh ke arah Adi, begitupun dengan Adi dia menatap ke arah Ibunya. “Mas…” lirih Lastri, mas Adi langsung menoleh ke arah istrinya dengan lemas.
“Kamu masih tega meminta tanah ku di situasi seperti ini?” Tanya Adi dengan nada pelan, nafasnya sudah memburu tapi dia tetap tenang karena dia berusaha tau tempat.
“Iya, tega. Kenapa mas? Lagian itu menurutku hal yang sepele. Setelah kamu memberikan aku tanah itu. Kamu bisa beli lagi kan? Perternakan ayammu masih banyak!! Masak sama adik sendiri kamu seperti itu mas?” Ujarnya tanpa rasa bersalah.
Bu Sri yang masih berbaring, mencoba untuk duduk di bantu oleh Lastri. “Nak, kasih saja adikmu. Benar kata Herman, kamu bisa beli tanah lagi dengan usaha ternak. Biar adikmu saja yang mengolah tanah itu, agar dia bisa mandiri seperti kamu. Dia itu bukan orang lain nak, dia adik kandungmu.” Ujar sang ibu.
Adi terdiam, suara di kepalanya berperang. Antara hati kecilnya yang merasa seperti ikut bimbang. Adi menatap istrinya Lastri.” Tanah itu aku beli untuk masa depan istri dan anak-anakku. Tapi, Herman juga adikku, aku jika dengan tanah itu dia bisa menjadi lebih baik. Aku ikhlaskan, kandungan Lastri masih sangat muda, mungkin sebelum anak dalam kandungan lastri tumbuh dewasa. Aku sudah bisa membeli tanah lagi.” Gumamnya dalam hati.
Bu Lasti menepuk pundak suaminya tegar. Rasanya di ingin ikut campur dalam urusan ini, tapi tanah itu dibeli Adi sebelum mereka menikah. Dan Lastri, tidak terlalu berani untuk ikut campur lebih dalam. “Mas, jangan ragukan aku. Apapun keputusan kamu akan aku dukung.” Ucap Lastri.
Adi menatap istrinya tidak percaya, dia mendapatkan wanita yang tulus dan selalu mendukungnya. “Aku janji akan membahagiakan mu Lastri.” Gumamnya tersenyum getir.
“Baiklah, aku akan memberikan tanah itu pada Herman. Dengan syarat, kamu harus memenuhi janjimu, dan tidak akan menyakiti Ibu lagi.” Ucap Adi dengan tegas, walau dirinya masih kelu untuk melihat kenyataannya.
Bu Sri langsung tersenyum ke arah putra pertamanya itu. “Alhamdulillah, setelah ini kamu beli lagi tanah dengan hasil perternakan kamu.” Ucap Ibu santai, namun menyesakan di telinga Adi.
“Rasanya, Ibu tidak paham dengan perjuangan ku selama ini. Siang malam aku berada di perternakan. Apa, seberangnya Ibu menghargai ku atau tidak? Yang aku tahu, hanya Lastri yang setia mendukung ku, dan menghargai setiap langkah ku.” Gumamnya sendiri.
Herman tersenyum lebar, bahkan wajahnya tidak nampak seperti orang yang baru saja menerima bantuan. “Wahh, mas, aku nggak bakalan nyia-nyiain tanah ini. Nanti sore kita urus tanah ini mas, aku ada kenalan orang.” Ucap Herman tanpa mengucapkan terimakasih.
Adi menatap Herman sekali lagi, sorot matanya penuh peringatan. “Aku sudah lakukan apa yang kamu mau, sekarang tinggal kamu melakukan apa yang sudah kamu janjikan tadi!!” Ucap Adi dengan tegas.
Herman mengangguk cepat, “Elehh mas, tenang saja. Mulai besok aku bukan lagi Herman yang dulu!” Ucap Herman dengan senyum sumringah.
................... ...
Adi pulang dengan wajah yang letih. Dia duduk di kursi kayu teras rumahnya. Wajahnya tidak menampakkan rasa senang sama sekali, setelah tanahnya sudah resmi jatuh ke tangan adiknya Herman.
“Mas Adi sudah pulang mas? Aku, baru saja selesai masak mas, mau makan sekarang? Mumpung masih hangat.” Ucap Lastri, Adi langsung mengangguk dan mengikuti langkah istrinya masuk ke dalam rumah.
“Alhamdulillah, pas banget perut mas keroncongan.” Ucap mas Adi, dia tidak mau terlihat sedih di depan Lastri. Karena dia tidak mau istrinya ikut kepikiran melihatnya.
Lastri menata piring untuk suaminya, menu kali ini ikan goreng. “Ibu gimana? Ibu sudah mendingan?” Tanya Adi, sembari memakan masakan istrinya yang sangat lezat.
“Alhamdulillah, Ibu tadi mau makan dengan lahap. Wajah Ibu juga tidak sepucat kemarin, kata ibu lukanya sudah tidak terlalu sakit. Sekarang, Ibu sudah tidur mas.” Jawab Lastri, dia ikut duduk menikmati makanan dengan Adi.
“Kamu makan yang banyak ya, agar anak kita tumbuh sehat.” Ucap Adi, dia menaruh ikan paling besar di piring istrinya. “Terimakasih mas.” Ucap Lastri mengangguk, mereka pun makan dengan nikmat.
Usai makan, Adi sibuk mencuci piring. Dia melarang istrinya melakukan itu agar tidak kelelahan. Jadinya, Lastri diminta untuk beristirahat di kamar sembari mengolesi kakinya dengan minyak hangat.
Di tengah sepinya rumah, tiba-tiba suara ketukan pintu yang amat keras mengagetkan seisi rumah. Pak Adi yang mendengarnya, lantas berlari menuju pintu depan.
DUG!! DUG!! DUG!!
Pintu rumahnya di gedor keras, suara teriakan panik menyusul dari arah luar. “Adi!! Adi!! Assalamualaikum!! Adi!! Cepat keluar Adi!! Kandang ayammu!! Kebakaran!!!”
Adi sontak terjolak kaget, saat membuka pintu rumahnya. “APA???” Wajahnya memucat seketika. “Iya Adi!! Cepat kesana, apinya sudah mulai besar!!” Ucap orang itu semakin panik.
Lastri yang tadi ikut mengekor suaminya pun terkejut juga. “Astaghfirullah, Ya Allah mass!! Cepat lihat kesan mass!!! Biar aku, yang jaga Ibu…mas hati-hati mas!!”
Tanpa pikir panjang, Adi langsung berlari ke luar rumah. Nafasnya memburu, dia semakin panik saat langkah kakinya semakin dekat dengan lahan perternakannya. Dari kejauhan, dia sudah melihat warga yang tengah bahu membahu membawa air.
“Astaghfirullah, mas Adi!! Lihat mas, kandang ayamnya kebakaran.” Teriak salah satu warga yang tengah membawa air, saat Adi sudah sampai di lokasi.
Api melahap semua didingin bambu, tumpukan jerami yang ada disana juga mempercepat api membesar. Asap hitam mengepul ke langit, ayam-ayamnya berlarian panik, ada pula yang sudah mati terbakar.
Adi terpaku sejenak menatap kandangnya. “ Ya Allah, kandang ku…” lirih pak adi, air matanya membasahi wajah tapi dia tetap dengan gesit berusaha memadamkan api dengan ember.
Rasanya sudah terlalu terlambat, api tidak bisa dipadamkan dengan cepat. Sebagian warga mundur karena panas yang menyengat. Bangunan kayunya pun ambruk. Hingga satu jam kemudian, yang tersisa hanya tanah yang rata dengan abu hitam.
Kandang ayam yang menjadi sumber penghasilan Adi lenyap seketika. Ada sekitar, beberapa ayam yang berhasil kabur dan diselamatkan warga, mereka mengembalikannya pada Adi, namun, Adi menolak dan memberikannya pada warga yang berhasil menangkap ayamnya. Dengan ikhlas.
Dari kejauhan empat pasang mata menatapnya. Dengan raut wajah yang sangat keji. “Rasain tuh Adi, bangkrut kan kamu sekarang. Emang enak si Lastri? Sekarang, hidupnya pasti bakalan miskin!!kinn…kin…” ucapnya sembari tertawa keji.