NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15 Panen telur Panen Rahasia

Pagi pun tiba di Pesantren Nurul Hikmah. Suara alarm sederhana dari jam weker milik pengurus asrama berbunyi nyaring, disusul ketukan keras di pintu.

“Bangun, bangun! Subuh!” suara ustadzah terdengar tegas.

Para santriwati mulai bangun dengan wajah setengah sadar, beberapa langsung ke kamar mandi, sebagian lagi masih malas-malasan di kasur.

Maya, tentu saja, bangun dengan gaya dramatis. Ia menguap lebar sambil menatap Zahra.

“Ra… sumpah, kayaknya mimpi gue semalem tuh nyata banget. Gue mimpi video call sama artis terkenal.”

Zahra yang masih ngantuk hanya mendengus. “Astaga, itu mah beneran, May. Bukan mimpi. Kamu beneran video call sama temen dan adik kamu kan.”

Maya nyengir, “Yaudah makin valid lah, berarti gue cocok jadi bintang. Bahkan mimpi aja support gue buat jadi selebriti pondok.”

Sinta melempar bantal kecil ke arah Maya. “Udah cepetan wudhu, nanti ustadzah keburu marah lagi.”

Maya sempat cemberut tapi akhirnya menurut. Saat ia melangkah keluar asrama, angin subuh menyapa wajahnya. Ada perasaan aneh berdesir di dadanya, campuran antara rindu pada dunia luar dan kenyamanan baru yang mulai tumbuh di dalam pesantren.

Di barisan wudhu, Dewi memperhatikan Maya yang bercermin di kaca kecil. “May, lo sadar nggak sih? Lo sekarang lebih sering senyum ketimbang ngomel.”

Maya tertegun sebentar, lalu buru-buru menutupi dengan gaya lebay. “Halah, jangan-jangan lo jatuh cinta sama gue, wi. Gue ngerti kok, aura gue emang bikin susah move on.”

Rara sampai geleng-geleng kepala sambil tertawa. “Kamu nggak berubah ya, May. Tetep drama queen.”

Setelah shalat subuh berjamaah, kegiatan dilanjutkan dengan pengajian pagi. Maya duduk di shaf santriwati, tapi pikirannya melayang. Sesekali ia melirik kitab di tangannya, sesekali melamun membayangkan Alin dan Mika datang menjenguk.

......................

Setelah mandi dan sarapan bersama di ruang makan sederhana, para santriwati diarahkan menuju lapangan utama. Udara pagi masih segar, matahari baru saja menanjak, menyinari wajah-wajah mereka yang berbaris dengan rapi.

Seorang ustadzah berdiri di depan membawa papan catatan, membacakan jadwal tugas kerja bakti.

"Assalamualaikum semuanya, hari ini seperti biasa kita akan melaksanakan kerja bakti rutin,untuk para santri laki-laki silahkan ikut dengan ustadz Azzam dan ustadz Seno, dan untuk santriwati kalian dengan saya", terang sang ustadzah .

Maya dan yang lainnya tampak maju, mendengarkan dengan seksama. Maya yang telah kesal menunggu itu,menggerutu pelan.

"Yaelah, mau ngumumin beginian aja lama banget dah, bisa-bisa kaki gue cedera serius nih," gumamnya lirih.

Rara yang berdiri disamping nya, langsung menyikut tangan Maya pelan. Beberapa teman lainnya juga terlihat melotot memberi peringatan.

Maya langsung cemberut, "santai aja kali, gue becanda ini pada sensi amat," wajahnya dibuat se tengil mungkin.

Akhirnya pembagian tugas pun dilaksanakan, ada yang menyapu halaman, membersihkan masjid dan WC ada juga yang bertugas memanen hasil peternakan ayam dan ikan.

Kebetulan kali ini giliran asrama tempat Maya dan teman-teman nya yang mendapatkan tugas memanen telur ayam. Pesantren Nurul Hikmah memang mendirikan peternakan guna menutupi segala pengeluaran pesantren.

Karna kebanyakan Santri-santri yang bersekolah disini adalah santri kurang mampu.

Sinta dan Zahra datang membawa beberapa keranjang telur. Lalu menyerahkan satu persatu kepada teman satu kelompok nya.

Maya mencebik pelan, keranjang ia pegang dengan malas-malasan." Ahhh....duniaa ga adil banget deh, masa iya seorang miss internasional disuruh jadi tukang panen telur ayam, bisa-bisa aura artis gue luntur lagi," ucapnya dramatis.

Teman-teman nya saling pandang, lalu berusaha menahan tawa yang hampir meledak.

Sinta menghampiri lalu merangkul bahu Maya, "Tenang aja May, nanti kalo aura artis kamu luntur kita cat ulang aja."

"Kalau perlu kita akan buat penyambutan di depan pintu kandang, sebuah rekor dunia seorang miss internasional banting tulang jadi peternak ayam," tambah Zahra mengikuti gaya bicara Maya.

Rara, Dewi, dan Sinta terlihat menahan tawa, sementara Maya masih dengan gaya lebaynya.

Tiba-tiba ustadzah mendekat sambil memberi arahan, “Baik, untuk panen kali ini, kalian dibagi berpasangan. Sinta sama santriwati dari asrama dua, Zahra dengan santriwati dari asrama tiga. Rara, kamu satu tim dengan Maya, dan Dewi ikut membantu penyusunan bersama kelompok yang lain di gudang.”

“Loh, kok gue dipisahin sama geng sendiri?” protes Maya sambil manyun.

Sinta menepuk bahunya, “Yaudah, May. Anggep aja ini momen latihan kalau kamu jadi artis beneran, pasti nanti partnernya gonta-ganti.”

Zahra ikut nimbrung sambil nyengir, “Iya, May. Lagian siapa tau partner baru kamu bisa jadi fans pertama yang beneran loyal.”

Rara menoleh ke Maya dengan tatapan geli. “Udahlah, jangan banyak drama. Kita satu tim, jangan bikin malu di depan ayam-ayam.”

Maya terperangah, lalu langsung mengibaskan rambut imajiner. “Excuse me, Ra. Justru ayam-ayam ini yang bakal dapat kehormatan besar, karena disapa langsung oleh Miss Internasional Nurul Hikmah.”

Rara tertawa sambil memegangi keranjang. “Astaga, May. Kalo ayam bisa ketawa, mungkin sekarang udah pada jatuh dari kandangnya.”

Sementara itu, Dewi sudah sibuk di gudang bersama beberapa santriwati lain, menyusun telur hasil panen ke rak penyimpanan. Ia terlihat teliti, memastikan tidak ada telur yang pecah. Sesekali ia melirik ke arah Maya yang masih sibuk berakting, lalu menggeleng sambil tersenyum.

Di kandang ayam, Maya dan Rara mulai memungut telur. Rara dengan cekatan memasukkan telur satu per satu ke keranjang. Maya, di sisi lain, malah sibuk memilih posisi foto terbaik seolah sedang difoto.

“May, itu telur bukan properti catwalk,” celetuk Rara.

Maya langsung mengangkat telur di tangannya tinggi-tinggi. “Inilah… mahkota kejayaan! Persembahan langsung dari ayam-ayam pondok tercinta!”

Santriwati lain yang mendengar spontan tertawa, sementara Rara cuma bisa menghela napas panjang.

“Demi Allah, aku nggak nyesel satu tim sama kamu, May. Hiburan gratis banget,” ucap Rara, setengah pasrah setengah terhibur.

Maya tak menggubrisnya ia malah sibuk menyentuh telur dengan ujung jarinya memastikan tidak ada kotoran menempel disana.

Kini keduanya sibuk bertugas, di lorong itu hanya ada Rara dan Maya. Suasana hening terasa,lalu Maya terdengar membuka suara, "Ra, kan nih pesantren keliatan nya kaya ya, kok gue liat bangunan disini malah kayak gak keurus gitu si."

Rara menghela napas panjang sebelum menjawab, “Pesantren ini itu, May, dari dulu memang mengandalkan santunan para donatur. Kiai Bahar nggak pernah mematok harga tinggi buat para santri. Jadi biaya pembangunan, perbaikan, bahkan sebagian kebutuhan sehari-hari itu ya nunggu dari bantuan. Selain itu, hasil peternakan juga jadi pemasukan tetap.”

Maya mendengarkan dengan raut penasaran. “Oh… pantes aja keliatan seadanya. Kirain sengaja biar vibes-nya tradisional gitu.”

Rara tersenyum tipis. “Enggak, May. Malah sekarang lebih berat, soalnya banyak donatur yang mundur. Ada isu, katanya mereka ngajak kerja sama bisnis ke kiai, tapi kiai Bahar nolak. Menurut beliau, bisnis itu melenceng dari syariat Islam. Dari situ, banyak yang akhirnya berhenti nyumbang.”

Maya terdiam. Ada sesuatu yang menggelitik dalam hatinya. “Terus… pesantren ini masih bisa jalan karena apa?”

Rara meletakkan telur ke dalam keranjang, lalu menatap Maya serius. “Untungnya masih ada satu orang yang nggak pernah berhenti ngasih bantuan. Dia sahabat kiai Bahar dari kota. Namanya… kalo gak salah itu pak Arman Wicaksono.”

Deg!

Telur yang ada di tangan Maya hampir terjatuh. Matanya langsung melebar, wajahnya berubah drastis.

Ia berbicara dalam hati, 'What!, gue gak salah denger nih,orang yang paling gue benci itu, orang yang selalu ngekang anaknya sendiri justru jadi pahlawan buat anak lainnya,' tangannya bergetar pelan.

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Rian Ardiansyah
di tunggu part selanjutnya kak👍
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
wowww amazing
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!