NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Agen rahasia?

Restoran itu berdinding kaca tinggi dengan pemandangan kota. Suasana elegan, alunan musik jazz pelan mengisi ruangan. Audy duduk di hadapan Aldrich, menatap daftar menu dengan wajah cemberut.

Audy berbisik sambil menunduk, “Bapak… bilangnya hanya makan siang, ternyata menculik ku ke restoran fancy seperti ini. Suka sekali membuatmu orang salah paham.”

Aldrich mengangkat alis, pura-pura serius, “Aku bisa pesan makanan paling mahal di sini, jika kau masih protes.”

Audy langsung menatapnya tajam, “Apa hubungannya protes dengan makanan paling mahal? Lagipula saya makan disini karena di culik Bapak, itu dompet Bapak, bukan dompet saya.”

Aldrich senyum menyeringai, “Tapi kau yang duduk di depanku. Jadi otomatis, semua mata di sini melihat kita seperti pasangan.”

Audy hampir tersedak ludah sendiri. Ia buru-buru menutup daftar menu dengan keras. “Pak Aldrich! Please, jangan asal bicara yang membuat orang berpikir macam-macam.”

Aldrich bersandar santai di kursinya, menatap Audy lekat-lekat, “Aku tidak asal bicara, Audy. Lihat saja, pasangan di sebelah sudah menyangka kita sedang kencan.”

Audy melirik, dan benar, pasangan di meja samping sempat menoleh dengan senyum menggoda. Audy spontan menunduk, pipinya memanas.

Audy mendesah, “Ya ampun… Bapak ini bisa tidak sih sekali saja bersikap normal, tanpa drama seperti ini?”

Aldrich menyandarkan dagu di tangannya, nada bicaranya rendah, “Normal itu membosankan. Aku lebih suka melihatmu salah tingkah.”

.....

Pelayan datang membawa hidangan yang Aldrich pesan. Steak medium rare untuk Aldrich, salmon grilled untuk Audy. Saat makanan ditaruh, Aldrich kembali dengan tingkah tengilnya.

Aldrich menggeser gelas wine ke arah Audy, “Coba ini. Cocok dengan salmonmu.”

Audy menggeleng cepat, “Pak, saya ini sedang bekerja. Saya tidak bisa minum.”

Aldrich menyeringai, pelan, “Kau duduk di sini bukan sekadar pegawai. Kau asistenku. Jadi ikuti aturan baruku: saar makan siang bersamaku, kau harus rileks.”

Audy menghela napas panjang, menatap makanan dengan pasrah. Ingin rasanya ia berkata 'kenapa tidak sekalian saja kau buka jasa pijat'. Dalam hati, ia berjanji akan membalas pria ini suatu hari.

Setelah beberapa menit makan dengan suasana absurd penuh komentar Aldrich yang membuat Audy gregetan, tiba-tiba tatapan Audy terpaku ke arah meja jauh di seberang. Dadanya langsung berdegup kencang.

Sosok yang amat dikenalnya—dengan jas sederhana namun berwibawa—duduk sendiri, ditemani dokumen dan secangkir kopi hitam.

David Sinclair.

Audy nyaris menjatuhkan garpunya. Nalurinya ingin berdiri, ingin menyapa. Tapi otaknya lebih cepat: “Jangan bodoh, Audy! Aldrich bisa tahu bahwa aku putrinya.”

Dengan panik namun tetap terkendali, Audy menatap sang Daddy. Dari kejauhan, mereka beradu pandang. Ada bahasa diam di antara mereka: tolong jangan tunjukkan bahwa kita keluarga.

Daddynya yang seakan mengerti, hanya memberi anggukan kecil, lalu kembali menunduk membaca dokumen.

Audy berusaha mengatur napas. Namun saat ia mengangkat wajah, ia mendapati sepasang mata lain—lebih tajam, lebih penuh tanda tanya—menatapnya.

Aldrich.

Ia tidak berkata apapun. Tidak bertanya. Hanya menatap Audy selama beberapa detik, lalu kembali menyuapkan steak dengan ekspresi santai, seolah tak ada yang terjadi.

Namun Audy bisa merasakan, dalam diam itu, Aldrich sedang membaca setiap geraknya.

Audy mendesis pelan, nyaris tanpa suara. “Ya Tuhan, jangan sampai dia curiga…”

.....

Mereka berjalan keluar restoran, udara siang kota langsung menyergap. Audy berusaha menenangkan diri—berulang kali menarik napas panjang—lega karena Daddy-nya tidak sampai menghampiri atau membuat situasi menjadi runyam.

Namun tentu saja, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Aldrich berjalan di sampingnya dengan langkah santai, satu tangan masuk ke saku celana, senyuman tipis yang Audy kenal baik: senyum tengil penuh niat usil.

“Kau terlihat tegang sekali tadi.” ucap Aldrich.

Audy pura-pura sibuk dengan ponselnya, “Tegang bagaimana, Pak? Saya hanya lapar, makanya buru-buru makan.”

Aldrich mencondongkan wajah mendekat sedikit, nada suaranya rendah, “Lapar? Atau… gugup gara-gara tatapanmu dengan seseorang di pojok restoran?”

Audy langsung tersedak udara. Ia berhenti sejenak, menoleh dengan wajah polos—polos versi darurat.

Seketika Audy memasang ekspresi kebingungan, dahinya mengernyit, “Seseorang? Hah? Saya tidak mengerti, Pak.”

Aldrich mengangkat alis, tajam tapi tetap santai, “Jangan pura-pura. Aku lihat sendiri. Kau nyaris menjatuhkan garpu. Tatapanmu… seperti ada kode rahasia dengan orang itu.”

Audy cepat-cepat melangkah lebih cepat, setengah lari kecil menuju mobil, yang sialnya Audy lupa bahwa itu mobil Aldrich, jadi mau tak mau ia berhenti melangkah, menunggu Aldrich membuka pintu.

Audy kembali menatap bosnya, “Pak,… mungkin Bapak salah lihat. Lagipula siapa juga yang mau buat kode rahasia di restoran? seperti film spionase saja.”

Senyum licik Aldrich muncul, “Hmm… bisa jadi memang seperti film spionase. Dan kau… agen rahasia yang menyamar di kantorku?”

Audy berhenti, menatap Aldrich sambil mendengus keras.

“Pak Aldrich, jika saya agen rahasia sungguha , bapak sudah saya culik dari kemarin. Saya tidak ada waktu menemani bapak makan steak.”

Aldrich terdiam sebentar, lalu tawa kecil lolos dari bibirnya. Senyum nakal itu kembali muncul, tapi kali ini matanya masih menyimpan rasa penasaran.

“Kau selalu punya jawaban, ya? Padahal jelas-jelas ada yang aneh.”

Audy menghela napas, setelah memasuki mobil, “Jika bapak merasa aneh, mungkin perut bapak yang aneh. Terlalu banyak makan steak.”

Aldrich hanya terkekeh, membiarkan Audy “menang” kali ini. Namun tatapannya jelas mengatakan: permainan ini belum selesai.

_____

Mereka akhirnya kembali ke kantor. Audy masuk lebih dulu, menampilkan senyum setenang mungkin saat beberapa rekan kerja menyapa. Sementara Aldrich menyusul dengan wibawa khasnya, menyembunyikan rasa penasaran yang semakin menumpuk tentang gadis Sinclair itu.

Di ruangannya yang sepi, Aldrich duduk bersandar di kursi kulit hitamnya. Kedua jarinya mengetuk meja pelan, tatapannya kosong menembus kaca jendela tinggi. Bayangan Audy terus melintas di kepalanya: ekspresi gugup di restoran, tatapan penuh rahasia, juga gaya sok beraninya saat menjawab pertanyaan jebakan.

Bibirnya melengkung tipis. Aldrich membatin, “Kau terlalu lihai menyembunyikan sesuatu, Audy. Tapi aku juga bukan orang yang mudah dikelabui.”

Ia menekan tombol interkom di mejanya. Tak lama kemudian, seorang staf kepercayaannya masuk. Seorang pria paruh baya, tenang, terbiasa dengan instruksi-instruksi “aneh” dari bosnya.

“Ada satu hal kecil yang harus kau lakukan.”

Staf itu sedikit ragu, “Perintah apa, Pak?”

Aldrich mencondongkan tubuh, suaranya datar tapi dingin, “Hatchback sederhana… yang diparkir di area karyawan. Plat nomor… ini.” (ia menuliskan cepat di secarik kertas dan menyerahkannya)

Staf itu mengangguk, membaca cepat, “Apa yang harus saya lakukan dengan mobil itu, Pak?”

Aldrich tersenyum tipis, “Pastikan ban mobilnya kempes saat jam pulang nanti.”

Staf itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk patuh. “Baik, Pak. Akan segera saya atur.”

Aldrich kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, memejamkan mata sesaat. Ia bisa membayangkan wajah panik Audy nanti ketika melihat ban mobilnya tak bisa dipakai. Dan saat itu terjadi, ia akan masuk sebagai “pahlawan”—menawarkan tumpangan.

Aldrich membatin lagi, “Kau bisa menolak makan siang denganku, bisa berdebat dengan mulut cerewetmu itu… tapi sore ini, Audy, kau tetap akan pulang bersamaku.”

Tatapan matanya menajam, senyum setengah mengembang. Sebuah permainan baru telah dimulai, dan Aldrich menikmati setiap langkahnya.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!