Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Suara monitor detak jantung di kamar VIP rumah sakit berdentum monoton. Cahaya lampu remang menyinari ruangan mahal yang dipenuhi aroma antiseptik dan wangi bunga segar dari vas di sudut ruangan.
Lalu tiba-tiba—
“JANGAN!!!”
Kevin terlonjak dari ranjangnya. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya memburu seperti orang yang baru diseret keluar dari neraka. Peluh dingin membasahi keningnya. Mata yang biasanya penuh kesombongan kini liar, dipenuhi ketakutan.
“As—Asisten!” Kevin menoleh cepat, suaranya parau.
Seorang pria muda dengan jas rapi langsung mendekat. Wajahnya panik. “Tuan muda! Tenang, saya di sini! Anda bermimpi buruk?”
“Mimpi buruk?” Kevin terbahak singkat, suaranya pecah. “Andai saja itu mimpi buruk… Tapi aku masih bisa merasakan! Tekanan itu, tatapan itu! Seolah aku hanyalah serangga!”
Ia meremas kepalanya dengan kedua tangan, kuku menancap ke kulitnya sendiri. Giginya bergemeletuk menahan amarah dan malu yang bercampur. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan karena sakit fisik, melainkan luka di harga dirinya.
“Aku… diinjak,” desisnya, matanya merah. “Aku yang selalu berdiri di atas orang lain… diinjak oleh seorang GELANDANGAN!”
Asistennya menelan ludah. Ia sudah lama mendampingi Kevin, melihat sisi kejam, sombong, sekaligus ambisinya. Tapi ini? Kevin tampak seperti binatang terluka, hampir gila karena rasa malu.
“Sial… sial… sial!” Kevin meraung, kepalan tangannya menghantam kasur. “Aku tidak terima! Sangat tidak terima! Aku bisa gila jika terus memikirkan kejadian memalukan itu!”
Suara raungannya membuat seluruh tubuh asisten gemetar. Ia mencoba bicara dengan hati-hati. “Tu-tuan muda… tenangkan diri dulu, nanti kondisi Anda memburuk—”
“DIAM!” Kevin menoleh dengan tatapan buas. “Hubungi ayah sekarang juga! Aku tidak peduli apa pun alasannya, aku ingin ayah datang!”
Asisten itu membuka mulut, ragu-ragu. “A-ayah anda… Tuan Besar… beliau sedang dalam perjalanan kemari, Tuan muda.”
BRAK—!
Pintu kamar terbuka keras.
Seorang pria paruh baya dengan jas hitam elegan melangkah masuk tergesa. Wajahnya penuh kharisma, rahangnya tegas, matanya tajam, auranya penuh tekanan. Ia adalah Leonard Han, salah satu Vice Chairman Asosiasi Hunter Amerika, sekaligus salah satu orang paling berpengaruh dalam dunia perburuan.
“Nak!” serunya, langsung menghampiri Kevin. “Apa yang terjadi padamu? Siapa orang bodoh yang berani membuatmu seperti ini!”
Kevin terdiam sejenak, lalu menunduk. Seluruh egonya menolak untuk mengaku. Tapi trauma itu masih jelas. Genggaman tangannya bergetar, lalu ia mengangkat wajahnya, matanya dipenuhi amarah bercampur aib.
“Seorang… gelandangan, Ayah.”
Hening seketika menyelimuti ruangan.
“…Apa?” Leonard menatap tidak percaya. “Katakan sekali lagi.”
“Seorang gelandangan,” Kevin mengulang, rahangnya mengeras. “Dia menyamar… atau mungkin benar-benar hidup sebagai gelandangan. Tapi kekuatannya… sangat kuat. Dia… menekanku, Ayah. Aku tidak berdaya di hadapannya!”
Wajah Leonard menggelap. Aura kemarahannya seperti menyelimuti ruangan. “Apakah dia gila? Berani-beraninya menyentuh anakku!”
Kevin menambahkan, “Dia juga melukai banyak bawahanku. Bahkan mereka yang Rank A sekalipun tidak bisa menahannya.”
Leonard menatap dalam ke mata Kevin. “Deskripsikan dia padaku.”
Kevin menutup mata sejenak, mengingat dengan jelas. “Tampangnya… kumal, rambut acak-acakan, pakaian robek. Tapi matanya… matanya seperti… jurang. Seakan menelan segala sesuatu yang menatapnya.” Ia menggertakkan gigi, suara tercekat. “Kalau tidak salah… aku melihat Hunter rendahan bernama Ethan membawa keluar gelandangan itu. Tangkap saja Ethan! Suruh dia buka mulutnya!”
Leonard mengangguk tegas. Ia merogoh ponselnya, menelepon seseorang dengan nada tajam.
“Cari Hunter bernama Ethan. Aku tidak peduli bagaimana caranya, malam ini juga aku ingin dia di hadapanku.”
Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Tatapannya beralih kembali pada Kevin. “Nak, seberapa kuat menurutmu pria itu?”
Kevin menarik napas, mencoba menstabilkan suaranya. “Mungkin… setara Rank A. Bahkan bisa lebih. Bawahanku yang Rank A berpengalaman dibuat tak berdaya di depannya. Aku sendiri… tidak bisa melawannya.”
Leonard mengangguk perlahan. Matanya menyipit. “Kalau begitu… dia bukan orang sembarangan. Bisa jadi sesuatu yang lebih berbahaya.”
Kevin menggenggam selimut erat-erat. “Ayah… kau harus membunuhnya. Aku tidak akan pernah bisa hidup tenang kalau dia masih berkeliaran.”
Leonard menepuk bahu putranya dengan penuh wibawa. “Tenanglah, anakku. Aku akan meminta seseorang untuk menangani ini. Orang yang tidak akan pernah gagal.”
Mata Kevin berbinar. “Apa maksud ayah… Hunter itu?”
Leonard mengangguk. “Ya. Sponsoree Ayah. Hunter Rank S.”
Darah Kevin seolah mendidih. “Hunter Rank S… ayah… kau serius? Kau akan menurunkannya hanya untuk seorang gelandangan?”
“Kalau dia berani mempermalukan darah dagingku,” Leonard menatap tajam, penuh amarah, “dia harus mengerti harga yang harus dibayar.”
Kevin hampir tertawa, rasa sakit hatinya perlahan terbalut oleh rasa puas. “Bagus… sangat bagus! Dengan begitu, dia akan tahu… apa artinya menantang keluarga Han!”
Leonard menambahkan dingin, “Namun, Sponsoree-ku masih di dalam gate sekarang. Begitu selesai, aku akan segera memerintahkannya. Percayalah, nak. Gelandangan itu tidak akan melihat matahari lagi setelah ini.”
Kevin memejamkan mata, senyum tipis muncul di wajahnya. Dalam kepalanya, ia bisa membayangkan gelandangan itu berlutut, tubuhnya terkoyak oleh kekuatan seorang Rank S. Semua rasa takut dan trauma tadi perlahan berganti dengan gairah balas dendam.
Di sisi lain kota, di gedung tinggi bercahaya neon, suasana ramai memenuhi Pusat Penukaran Hasil Gate. Para Hunter keluar masuk dengan wajah lelah bercampur puas, menenteng koper penuh kristal dan material monster.
Di antara kerumunan itu, seorang pria muda melangkah keluar dengan langkah ringan. Ethan. Senyum lebar merekah di wajahnya saat menatap saldo di layar ponselnya. Angka itu berkilau jelas— 600 ribu dollar.
“Haah… ini gila,” gumamnya, setengah tidak percaya. “Meski sudah dibagi rata dengan yang lainnya, aku masih pegang sebanyak ini.”
Ia mengepalkan tangannya, perasaan lega membuncah. “Aku harus berterima kasih pada Tuan Jinwoo… kalau bukan karena kristal Goblin King yang dia berikan, aku tidak akan pernah merasakan angka sebesar ini.”
Pikirannya langsung melayang pada sosok adiknya yang terbaring di rumah sakit kecil di daerah kumuh. Wajah polos itu, mata yang selalu berusaha tersenyum meski tubuhnya lemah. Ethan merasakan matanya panas, lalu cepat menghapusnya dengan punggung tangan.
“Dengan begini… biaya pengobatannya pasti tertutup.” Ia menatap ponselnya erat, seolah menggenggam harapan itu. “Dan mungkin… sisanya bisa kubelikan mainan kesukaannya. Atau makanan yang sudah lama dia rindukan.”
Senyumnya melebar semakin tulus. “Tunggu, adikku. Kakak akan segera pulang. Kali ini kakak benar-benar menepati janji.”
Ia melangkah keluar gedung, mengangkat tangan memanggil taksi. Sebuah sedan kuning berhenti di tepi jalan. Ethan membuka pintu dan masuk dengan wajah penuh semangat.
“Pak, tolong ke District 17, Block C,” ucapnya, menyebut sebuah daerah kumuh di pinggiran Amerika, tempat adiknya dirawat.
Sopir itu menatapnya sebentar melalui kaca spion. Mata yang gelap dan tajam. Ia tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, lalu tanpa sepatah kata langsung menginjak pedal gas.
Mobil melaju. Lampu-lampu kota berkelebat cepat melewati jendela. Ethan bersandar di kursi, hatinya hangat membayangkan senyum adiknya ketika melihat hadiah. Ia bahkan sudah merencanakan kejutan— masuk dengan diam-diam, lalu menaruh mainan di samping bantal.
Namun, semakin lama perjalanan, senyumnya perlahan memudar. Jalanan mulai asing. Ia melihat keluar jendela, wajahnya mengernyit.
“Hei, pak… sepertinya ini bukan jalan menuju District 17.”
Tidak ada jawaban. Hanya suara mesin dan ban yang melibas aspal.
Ethan menegakkan tubuh, nadanya lebih tegas. “Pak, apakah Anda lupa jalan? Setahuku… jalurnya harus lewat persimpangan barat, bukan ke arah pelabuhan.”
Kali ini, sopir itu berbicara. Suaranya dingin, tanpa emosi.
“Tujuanku memang bukan ke sana.”
Ethan membeku. Jantungnya berdegup keras. Aura berbahaya langsung terasa. Ia segera meraih gagang pintu, siap menerobos keluar—
Namun sopir itu bergerak lebih cepat.
Dengan gerakan kilat, ia meraih sesuatu dari saku dan melemparkannya ke arah Ethan. Sebuah jarum tipis berkilau meluncur lurus.
“Apa—!?”
Tusukannya tepat mengenai leher Ethan. Sensasi dingin menjalar cepat. Tubuhnya mendadak lemas, matanya kabur.
Sopir itu menoleh sebentar, menatap wajah Ethan yang berusaha bertahan dengan pandangan samar. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Tidurlah sebentar.”
Ethan berusaha melawan. Dalam hati, ia menjerit. Tidak! Aku harus pulang! Adikku menungguku! Aku… tidak boleh berhenti di sini!
Namun racun pelumpuh itu terlalu kuat. Kelopak matanya berat, seluruh tubuhnya menyerah. Kesadaran gelap menelannya bulat-bulat.
Sopir itu menghela napas pendek. Ia merogoh ponsel dari dasbor, lalu menekan nomor tertentu.
“Target sudah ditemukan,” ucapnya singkat, dingin, tanpa intonasi. “Sekarang dalam perjalanan menuju titik yang ditentukan.”
Suara dari seberang menjawab pelan namun tajam, “Pastikan tidak ada yang melihat. Dia harus sampai dengan selamat—meski hanya untuk sementara.”
Sopir itu mematikan telepon, wajahnya tetap datar. Ia melirik Ethan yang terkulai tak berdaya di kursi belakang.
“Maaf, anak muda,” gumamnya, suaranya nyaris seperti bisikan. “Dunia ini bukan tempat bagi orang polos sepertimu. Kau hanya bidak dalam permainan yang lebih besar.”
Mobil itu terus melaju menembus malam, meninggalkan jalanan kota yang ramai. Lampu neon menghilang, digantikan kegelapan jalan sepi menuju lokasi rahasia.
Di kursi belakang, tangan Ethan jatuh terkulai, ponselnya tergelincir dari genggaman. Layar masih menyala, memperlihatkan wallpaper seorang gadis kecil tersenyum lemah sambil memegang boneka usang.