Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tekat gila mengakhiri segalanya.
***
Dalam sekejap, pandangan Bryan kembali berubah. Ia kini sudah berdiri di lereng gunung yang dingin, angin menusuk tulang, kabut turun tebal. Sebuah gubuk reyot berdiri di antara pepohonan tua, seolah terasing dari dunia manusia.
Di situlah Lanang mengasingkan diri. Rambutnya mulai panjang, sorot matanya tajam, namun wajahnya penuh letih. Bryan bisa merasakan bagaimana ia sengaja menjauh dari keramaian, agar tak lagi menjadi ancaman bagi siapa pun. Namun entitas kelam itu… tetap bersemayam dalam dirinya, tak mau mati, tak mau tenang, tetap tak bisa di puaskan.
Beberapa waktu kemudian, Bryan melihat sosok yang tak asing baginya.
Saloka datang ke gubuk pengasingan itu, entah untuk yang keberapa kalinya dalam pekan itu.
Tubuh pemuda bangsawan itu kini berbeda jauh dari pertama kali Bryan menyaksikannya. Pundaknya merosot, kulitnya pucat, tubuhnya kurus kering seakan dimakan penyakit. Namun matanya… tetap memancarkan tekad.
Saloka menyeret seorang lelaki desa yang meronta-ronta, matanya merah, suaranya meraung seperti binatang. “Lanang… aku bawakan satu orang lagi,” katanya lirih, nyaris kehilangan tenaga.
Lanang melihatnya dengan wajah muram. Ia tahu apa yang harus dilakukan, membiarkan entitas dalam dirinya menyerap energi kotor dari orang yang kerasukan itu.
Ritual itu berlangsung cepat. Tubuh si lelaki berhenti mendadak dan tenang. Orang yang di tolong langsung pingsan dan terbebas dari kerasukan. Tapi sebaliknya, Bryan melihat tubuh Saloka terguncang keras, matanya mendelik, napasnya memburu.
Seolah energi hitam itu kerap menjadikan Saloka sebagai pintu masuk, meski hanya sesaat. Tubuhnya menanggung beban berat setiap kali ritual dilakukan.
Lanang segera menolongnya, mendudukkannya di lantai gubuk. “Saloka, kenapa kau terus memaksakan diri? Tubuhmu sudah tak kuat. Kau bisa mati kalau terus begini!”
Saloka tersenyum pahit, bibirnya pecah-pecah. “Aku tahu… tapi aku harus tetap di sini.”
Lanang terdiam, hatinya tercabik. "Kenapa kau terus melakukan ini? Padahal kau tau resikonya, dan bukannya kau dulu selalu membenci cara yang aku pilih?"
Saloka menatapnya, tatapannya penuh kesungguhan. “Kau tahu, Lanang… aku yang salah. Semua tragedi ini… terjadi karena aku tak ada di sisi yang sama denganmu waktu itu. Saat kau melawan Belanda seorang diri… aku malah menuruti perintah Bopoku. Aku pengecut. Aku biarkan kau menanggung semuanya sendirian.” ucap Saloka kecut.
"Tapi... aku tak pantas, aku manusia yang terlalu hina, dan sangat rendah. Kenapa kau mau berkorban?"
Saloka mencengkram bahu Lanang dengan tangan kurusnya. “Kau masih manusia, Lanang. Dan masih Lanang yang dulu, tetap sahabatku. Justru karena itu aku tetap di sini. Aku tak mau sahabatku hilang ditelan kegelapan seorang diri.”
Bryan merasakan getaran hangat dari persahabatan yang retak, tetapi juga begitu tulus. Dan saat itu ia mulai paham… bahwa kekuatan besar Lanang lahir bukan hanya dari kegelapan, tapi juga dari pengorbanan seorang sahabat sejati yang rela menyerahkan dirinya perlahan-lahan ke jurang kehancuran.
.
.
.
Lalu... Bryan merasakan dunia di sekelilingnya kembali berputar. Kabut gunung perlahan berganti, kini ia melihat Lanang duduk bersila dalam gelap, dikelilingi aroma dupa yang pekat. Nafasnya berat, peluh membasahi wajahnya. Seolah ia sedang bertarung, bukan dengan musuh di luar, melainkan dengan dirinya sendiri.
Di dalam keheningan itu, Bryan ikut merasakan… ada sesuatu yang menyusup ke dalam benak Lanang. Sebuah bisikan purba kala dengan aura yang terlalu berat. Lalu terdengarlah suara batin yang menggema kencang, seakan berasal dari langit yang tak terlihat. Suara itu berkata...
"Hanya api kemarahan dan kebencian musuhmu… yang dapat memutus ikatanmu dengan entitas ini sebagai Karma."
Kalimat itu bergema, menancap dalam-dalam. Membuat Bryan terhenyak. Lanang juga. Ia tersadar akan makna wangsit itu,
Yaitu jalan keluar dari semua masalah ini memang ada, tetapi harga yang harus dibayar adalah kematian dirinya sendiri. Ia harus terbakar dalam api kebencian orang yang menganggapnya musuh.
Dan ia tahu, musuh itu sudah ada: keluarga saudagar kaya yang kehilangan putra semata wayang dalam ritual pembalikan waktu itu. Korban pertama dan terakhir dari kalangan Pribumi.
Anak itu mati dengan cara mengerikan… tapi mereka tak tahu bahwa entitas yang merasukinya adalah sisa energi kotor Lanang. Selama ini, mereka tak bisa menyalahkan siapa pun. Tapi… Lanang akan datang sendiri untuk mengakui semuanya.
Bryan melihat Lanang membuka mata, sorotnya muram namun penuh tekad.
Ia menatap tajam ke arah tubuh Saloka yang terbaring lemah di sisi gubuk seakan menjadi pengingat. Setiap tarikan napas sahabatnya itu seperti benang yang hampir putus, dan semua itu demi dirinya.
Lanang tahu, jika ia terus membiarkan entitas itu hidup dalam dirinya, maka Saloka akan benar-benar hancur lebih dulu.
"Sudah cukup," gumamnya lirih.
Namun ketika Saloka terbangun, Lanang tersenyum samar. Ia menyembunyikan kegelisahannya di balik kata-kata bohong.
“Saloka… aku menemukan jalan keluar. Aku bisa mengusir entitas ini.”
Saloka menatapnya, matanya berbinar, meski tubuhnya rapuh. “Benarkah? Bagaimana caranya?”
Lanang berpura-pura meyakinkan, seolah ia hanya perlu mencari ramuan terlarang. “Aku butuh ramuan dari tulang anak kecil. Itu syaratnya. Jika berhasil… tubuhku akan bersih. Dan kau tak perlu lagi menderita.”
Bryan bisa melihat jelas, hati Lanang hancur karena harus membohongi sahabatnya sendiri. Tapi ia memilih jalan itu, karena jika Saloka tahu kebenarannya, bahwa ia berniat menyerahkan diri untuk dibakar hidup-hidup, Saloka pasti akan mencegah dengan seluruh tenaga yang tersisa.
.
.
Hari berikutnya Bryan merasakan langkah kaki berat. Ia seperti ikut berjalan bersama Lanang, menuruni jalan setapak menuju kota raja. Tekadnya jelas, untuk menyerahkan diri. Mengaku sebagai biang kerok kematian anak saudagar kaya itu.
Namun begitu ia tiba, bukan hanya keluarga saudagar yang menunggunya di sana. Puluhan orang sudah berkumpul, seolah tahu ia akan datang. Bisik-bisik kebencian memenuhi udara. Dan di antara kerumunan itu, Bryan melihat bendera asing berkibar dengan Agungnya. Warnanya Merah, Putih, dan Biru?
Itu bendera Serdadu Belanda!
Langkah Lanang langsung terhenti. Dadanya sesak menatap bendera penjajah berkibar lagi di Bumi Pertiwi. Bryan bisa merasakan gelombang amarah yang meledak seketika dalam dirinya. Kebencian lama yang selama ini ia tekan bangkit kembali begitu melihat wajah-wajah serdadu itu yang penuh kesombongan, angkuh, dan senyum palsu. Mereka bergaya elegan, seakan pahlawan penyelamat, padahal merekalah pengadu domba dan penindas tanah ini.
Sebelum Lanang sempat bicara, terdengar suara berat yang membuat Bryan ikut merinding. Dari arah balairung, seorang pria berjubah kebesaran muncul.
Dia adalah Adipati Sengkala Dana, boponya Saloka. Sang Adipati pengkhianat, yang selama ini menjilat orang-orang kulit putih.
“Lanang Jagad Segara!” suaranya menggema, penuh murka. “Kau menyeret putraku ke jalan sesat! Putra yang dulu penurut, kini membangkang! Semua karena kau!”
Bryan melihat tatapan Lanang menegang, tapi juga penuh luka. Ia balas menatap Adipati itu dengan sinis.
“Itu bukan salahku,” ucapnya tegas. “Saloka memilih jalannya sendiri. Ia muak melihat ayahnya jadi budak Belanda.”
Wajah Adipati mengeras, penuh amarah. “Kembalikan dia padaku! Sekarang juga!”
Lanang terdiam. Bryan bisa merasakan dilema yang menghantamnya. Ia ingin melindungi Saloka, tapi ia juga tahu kondisi sahabatnya yang makin lemah. Dengan suara berat, ia akhirnya mengalah.
“Dia ada di gunung. Dalam gubukku. Jika kau masih peduli, pergilah! Ambil dia.”
Rombongan Adipati pun segera bergerak. Lanang hanya menatap punggung mereka menjauh, lalu mengalihkan pandangannya kembali pada serdadu-serdadu Belanda yang masih berdiri penuh gengsi. Bibirnya melengkung sinis.
“Ternyata aku masih punya alasan untuk hidup… dan aku datang di waktu yang tepat.” gumamnya meringis ngeri... seolah siap bertarung secara terbuka.
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya