NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:27k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Di Pandang Rendah

Aisyah menatap putranya—mata itu berkaca-kaca, tapi bukan karena amarah. Melainkan karena rasa yang tak bisa disangkal lagi: sayang, kecewa, dan harapan yang nyaris padam.

Lalu, Aisyah menoleh ke arah Kanya. Jemarinya yang sejak tadi menggenggam gamis, kini mulai mengendur.

“Kanya,” ucap Aisyah lembut. “Kau tidak salah karena ingin tahu apakah kau berarti. Itu adalah hakmu sebagai istri. Dan sebagai manusia.”

Keynan mengangguk kecil. Wajahnya masih datar, tapi sorot matanya melunak.

“Kamu pernah datang ke sini. Kami tak pernah tahu semua ini,” ucap Keynan perlahan. “Tapi kami akan mendengarkan sekarang.”

Kanya menatap mereka berdua—sepasang orang tua yang kini tak lagi menjadi tembok yang harus ditembus, melainkan tempat untuk berpulang.

“Apa... kau masih ingin bersama Kian?” tanya Aisyah lirih.

Pertanyaan itu menggema lebih dalam daripada yang tampak.

Kanya menoleh, menatap pria di sampingnya. Pria yang dulu mengucapkan akad di rumah sakit dengan suara lirih, nyaris tanpa getar. Pria yang malam ini mengulang kalimat yang sama—di hadapan ratusan orang—dengan suara bulat dan mantap… tanpa keraguan.

Dan kini, pria itu duduk di sampingnya—wajahnya lelah, matanya jujur.

Tapi ada kegelisahan samar di sana.

Dalam hati Kian:

“Seharusnya Kanya pergi…

Agar aku tak harus terus berpura-pura dalam pernikahan ini.

Agar aku bisa melangkah ke masa depan—bersama Friska, wanita yang kupilih.”

Tapi harapan itu tak setegas yang ia bayangkan.

Terutama setelah melihat Kanya duduk di sana, setelah melihat bagaimana orang tuanya menerimanya…

Dan rumah ini, simbol dari status dan kemapanan keluarganya, kini justru membuat Kian merasa… terperangkap.

Dalam hatinya: “Mungkin setelah melihat semua ini, Kanya akan berpikir dua kali untuk pergi. Bukan karena aku. Tapi karena semua yang kupunya.”

Kanya menarik napas panjang.

“Aku percaya… pernikahan adalah janji suci,” ucapnya pelan. “Meskipun aku merasa Kian tidak mencintaiku, aku punya kewajiban menjaga kehormatan sebagai istri. Apalagi… Ayahku meninggal beberapa menit setelah menikahkan kami. Itu wasiat terakhirnya.”

Matanya berkaca. Suaranya tetap stabil.

“Jika aku meninggalkan pernikahan ini… itu sama saja mengkhianati permintaan terakhir beliau. Jadi, aku akan tetap bersama Kian.”

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu: itu bukan satu-satunya alasan.

Bukan hanya karena ayahnya. Bukan hanya karena ikrar suci.

Tapi karena dirinya sendiri.

Kanya pincang. Traumanya belum usai. Ia ditabrak oleh pria yang kemudian menjadi suaminya. Jika ia pergi sekarang… apa yang akan dunia lihat darinya?

Seorang istri yang ditinggal. Seorang perempuan “cacat” yang ditolak.

Tidak. Ia tak bisa membiarkan satu-satunya harga diri yang tersisa ikut runtuh.

Bertahan adalah perjuangan. Diam adalah bentuk perlawanan.

Dan… ia pun sadar, ia punya salah: meninggalkan Kian selama dua tahun tanpa jejak. Ia ingin menebusnya. Dengan caranya sendiri.

Kian tersenyum samar—senyum yang sulit diartikan. Bukan karena lega, bukan pula bahagia. Tapi karena pikirannya mulai menyusun simpul-simpul dugaan yang ia anggap logis.

“Dugaan awalku benar,” pikirnya dingin. “Dia bicara seolah tak peduli dengan status sosialku. Tapi siapa yang rela melepaskan semua ini begitu saja? Terutama dia—seorang gadis pincang, yang bahkan tak mau memperlihatkan wajahnya pada suaminya sendiri, meski kami telah sah di hadapan agama."

Tatapannya turun perlahan pada tangan Kanya yang mengepal di pangkuan.

Wajah itu tegar. Ucapannya jujur. Tapi di mata Kian—semua itu hanya tameng dari luka yang tak ingin ditertawakan dunia.

“Siapa yang mau menikahi gadis seperti dia? Kakinya pincang, dan tak akan pernah bisa disembuhkan. Dan harga dirinya…? Sudah lama remuk. Dia tak akan pernah melepaskanku. Sial… beginikah nasibku?”

Ia menarik napas dalam-dalam.

Yang tak ia tahu—dan mungkin belum siap untuk tahu—adalah kenyataan bahwa Kanya telah menolak lebih dari satu lamaran. Bukan dari pria sembarangan. Tapi dari lelaki yang punya nama, harta, dan masa depan yang menjanjikan.

Dan yang membuat semua lamaran itu ditolak, hanya satu hal:

Kanya masih menjadi istrinya.

Jika Kian tahu, apakah ia akan merasa dihargai? Atau justru cemburu? Atau… takut menghadapi kenyataan bahwa mungkin, gadis yang ia pandang rendah itu—ternyata jauh lebih setia dari yang bisa ia bayangkan? Bahwa Kanya bukan sekadar perempuan yang tersisa... melainkan perempuan yang justru diperebutkan. Yang dinilai berharga… oleh pria-pria lain.

Keynan dan Aisyah saling bertukar pandang sejenak. Lalu pria itu membuka suara, mantap dan penuh wibawa.

"Bagus kalau kamu berpikir seperti itu. Pernikahan adalah ikatan suci—karena janji yang kita ucapkan bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Allah. Dan aku menghargai pendirianmu. Kau perempuan yang berprinsip. Karena itu, mulai hari ini… kau adalah bagian dari keluarga kami."

Kanya menatap Keynan dengan mata membulat. Campuran rasa terkejut, hormat, syukur, dan ketidakpercayaan mewarnai sorot matanya.

Sementara itu, Kian hanya menghela napas pelan. Mau tak mau, ia harus menelan kenyataan yang terasa pahit—kenyataan yang kini tak bisa lagi ia tolak.

Keynan lalu menoleh pada istrinya. "Ma, tolong antar Kanya ke kamar Kian. Dia pasti lelah. Aku ingin bicara empat mata dengan anak kita ini."

Aisyah mengangguk penuh pengertian, lalu bangkit dan menghampiri Kanya.

"Ayo, Nak. Mama antar ke kamarmu," ucapnya lembut. Tangannya terulur, menggenggam lengan Kanya dengan kehangatan seorang ibu.

"Terima kasih, Ma..." jawab Kanya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Ini pertama kalinya ia memanggil seseorang 'Mama'—dan entah kenapa, ada rasa asing yang menghangatkan hatinya.

Setelah langkah mereka menjauh, Keynan menatap putranya lurus-lurus.

"Papa kecewa padamu." Suaranya pelan, namun tegas dan penuh luka. "Demi posisi CEO, kau tega mempermainkan perasaan seorang ayah yang sekarat… dan gadis polos yang tak tahu apa-apa. Papa tak pernah mengajarkanmu menjadi laki-laki seperti itu."

Tatapan Keynan menajam. “Kau tak mencintai Kanya, 'kan? Papa bisa melihatnya."

Kian menunduk. Tak sanggup membalas.

Keynan menghela napas berat. “Baiklah. Tak ada gunanya Papa marah. Tapi dengarkan ini baik-baik—karena kau sudah menikahinya, maka perlakukan dia sebagaimana mestinya. Hormati dia. Lindungi dia. Dan jangan buat Papa kecewa untuk kedua kalinya."

Kata-katanya tak panjang, tapi terasa menghantam dalam-dalam.

Kian hanya mengangguk pelan. “Aku mengerti, Pa…”

Namun, siapa yang tahu isi hati Kian?

Ia pernah dipermalukan Hasan karena mas kawin, dan tadi dipermalukan Kanya dengan menggagalkan pernikahan, belum lagi merasa dipermainkan karena Kanya sengaja menghilang darinya lalu muncul menghancurkan pernikahannya.

Ia tak hanya merasa dipermalukan, tapi juga dikhianati. Seolah selama ini Kanya menyusun skenario sendiri, memutuskan pergi seenaknya, lalu datang di saat yang paling menghancurkan.

Apa yang tersisa dari harga dirinya?

Kian melangkah pelan menuju kamarnya—langkah yang berat, malas, karena tahu bahwa di balik pintu itu… ada kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Tempat paling privat miliknya kini harus ia bagi dengan seorang wanita. Bukan wanita yang ia pilih. Bukan yang ia cintai. Tapi wanita yang telah mempermalukannya di hadapan banyak pasang mata.

Tangannya memutar kenop pintu.

Klik.

Pintu terbuka. Dan di sana, tepat di tengah kamar, Kanya berdiri. Ia baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaian bersih—bukan miliknya, tapi milik Aisyah. Wajahnya masih tertutup cadar. Diam. Tenang. Tidak salah. Tapi cukup untuk membuat dada Kian mendidih oleh banyak rasa yang sulit dijelaskan.

Kian menutup pintu kasar.

Suara itu menggema dalam ruang yang sunyi.

“Kita perlu bicara,” ucapnya dingin. Tanpa menatap Kanya, ia berjalan menuju sofa panjang di sisi jendela. Duduk. Bersandar. Menatap kosong ke depan.

Kanya melangkah pelan. Duduk di ujung sofa. Jarak di antara mereka lebih dari sekadar ruang—itu dinding tak kasatmata yang sudah lama berdiri.

Kian melirik, tersenyum miring.

“Kau bilang ingin tetap bersamaku…” Suaranya rendah, namun tajam. “Tapi bahkan di kamar ini—yang hanya ada aku dan kamu—kau masih menutup wajahmu.”

Kanya menoleh perlahan. “Kita sudah sepakat. Aku tidak akan—”

“Sudahlah,” potong Kian cepat, datar. “Aku tak butuh pengulangan.”

Ia bersandar, lalu menunduk, menatap jemarinya yang bertaut di atas lutut. Napasnya pelan, tapi penuh tekanan.

“Aku hanya ingin bicara langsung ke intinya.”

Ia menoleh, mata itu tajam dan jujur—untuk pertama kali malam itu.

“Dulu, aku pernah mencoba. Menerimamu sebagai istriku. Menjalankan kewajiban. Menjaga amanah ayahmu. Tapi apa yang kau lakukan, Kanya?”

Matanya tak berkedip.

“Kau pergi. Kau hilang tanpa kabar. Dan kau kembali sesukamu—dengan cara yang menghancurkan semuanya. Termasuk… harga diriku.”

Kanya terdiam. Sorot matanya bergeser, pelan, menghindari tatapan itu.

Kian menghela napas, seperti menyiapkan peluru terakhir.

“Dan sekarang… aku akan jujur satu kali lagi.”

Ia menatap Kanya lurus.

“Aku mencintai Friska. Dan aku rasa… aku tak bisa mencintaimu.”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
hati Lo aja masih gamang berharap hak n kewajiban adeh pak ustad ketawa euyy ....pak ustad yeh pak ustad kian butuh ceramah nih
asih
lahhh kamu aja belum bisa menata hati mu kenapa buru buru minta jatah,Hak kewajiban kanya sebagai istri

kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian

seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Anitha Ramto
oo iyaaa,siapakah dua pasang mata yang memperhatikan Kian dan Friska..
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
Anitha Ramto
Kasihan juga Friska...,yang hancur karena gagal menikah dengan Kian

jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
sabar Kanya... hurmm.. wajah mu itu tidak harus kau sembunyikan di balik cadar mu..buka lah cadar mu... berikan saja apa yg suami kamu inginkan.. tawakkal kepada Allah SWT..soal tidak tidak mau menyentuhmu itu hak dia..asal kamu sudah izin menjalani kewajipan mu sebagai isteri
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
lebih baik terpegang anjing dari memegang seorang wanita yang haram di sentuh walaupun menyentuh wanita mahram tidak perlu di sertu..kian Kian 😬 kawal nafsu mu
Sri Hendrayani
kasian kanya
Felycia R. Fernandez
kamu aja blom jadi suami yang baik apa yang mau diharapkan...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
Puji Hastuti
Sabar kian, waktunya setaun, ini belum seberapa
Dek Sri
lanjut
Felycia R. Fernandez
waaah ternyata Friska pelakor nya disini...
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Siti Jumiati
lalu apa yang bias aku harapkan dari pernikahan ini,sabar kian coba kamu terima tawaran Kanya bahwa kamu mau membuka hati dan belajar mencintai Kanya.
septiana
lanjut kak semangat 💪🥰
Fadillah Ahmad
Huh,kalau Sama Pak Buntala,kau mungkin Sudah Tiada Kian. 😁😁😁 dan Kau tak akan bisa hidup nyaman,karena Pak Buntala akan Menfhantuimu sampai ke alam mimpi 😁😁😁
Fadillah Ahmad
"Angkat Kaki?" Apa Maksudnya itu Kak Nana? Apa Kakinya di angkat sebelah untuk berjalan? Padahal dia punya dua kaki?
Fadillah Ahmad: Terima Kasih Kak, ata jawabannya 🙏🙏🙏 Aku Baru Tahu loh Bahwa IGD Dan UGD 8tu Berbeda... Selama ini Aku mengira IGD Dan UGD itu sama Kak Nana... Terima Kasih Banyak loh Kak Nana,ini Menambah Wawasan aku kak... Sekali lagi Terima Kasih Banyak Ya Kak 🙏🙏🙏
🌠Naπa Kiarra🍁: Wah, pertanyaannya luar biasa out of the box! 🤣🔥

Langsung aja kita bahas satu-satu, Kak!

🏥 UGD vs IGD

UGD (Unit Gawat Darurat)

Biasanya ada di rumah sakit kecil atau puskesmas. Dokternya biasanya dokter umum, dan fasilitasnya standar. Fungsinya lebih fokus pada penanganan darurat awal, sebelum pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika diperlukan.

IGD (Instalasi Gawat Darurat)

Ini versi “sultan”-nya UGD 😎 Biasanya di rumah sakit besar, dengan fasilitas lengkap dan dokter spesialis standby. Siap tangani kondisi berat kayak serangan jantung, stroke, atau kecelakaan serius.

Jadi bisa dibilang:

UGD = standar emergency

IGD = VIP emergency lounge
total 2 replies
Fadillah Ahmad
F8sioterapi Itu Apa Kak Nana?
Fadillah Ahmad
Apa Bedanya UGD Dan IGD Kak Nana?
anonim
Kian jangan kasar kau sama istri - setidaknya pakai bahasa yang baik. Jiiiaaaahhh Kian - istri mana yang senang suaminya berbagi dengan wanita lain. Kian menantang Kanya nih...minta haknya sebagai suami - sekarang. Disambutlah permintaan Kian - kesanggupan Kanya untuk memberikan kewajibannya sebagai istri - sekarang - dengan dua syarat. SKAKMATT !
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Fadillah Ahmad
Ternyata Wajah Wan8ta di balik Cadar itu Sangat Cantik ya kan? Seperti Wajah Wanita,vietnam,korea atau Tiongkok kan,cantik Banget nggk tuh ternyata. gimana dong Kian?

Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
abimasta
benarkan kian ketemu friska?meski hanya membantunya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!