Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15•
Malam itu, jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 02:57 dini hari. Hujan lebat di luar menggedor-gedor jendela kaca, menciptakan simfoni menakutkan yang menyelimuti rumah tua ini. Aku, Arya, merasa bulu kudukku merinding, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi juga karena kegelisahan yang tak bisa kujelaskan. Sejak kecil, aku selalu diberitahu tentang mitos Boneka Pukul Tiga. Katanya, setiap kali jam berdentang tiga kali di tengah malam, boneka kayu tua yang diwariskan turun-temurun di keluarga kami akan hidup. Omong kosong, tentu saja. Tapi malam ini, entah kenapa, rasanya berbeda.
Boneka itu, bernama Lily, teronggok di sudut ruang tamu, matanya yang terbuat dari kancing hitam tampak menatap kosong ke arahku. Wajahnya retak-retak, sisa catnya mengelupas, dan rambut pirangnya yang dulu indah kini kusut masai. Usianya mungkin sudah lebih dari satu abad. Nenek selalu bercerita, boneka itu adalah hadiah dari seorang pengrajin misterius yang muncul di desa kami bertahun-tahun silam. Nenek bilang, boneka itu membawa keberuntungan, tapi aku selalu merasa ada aura gelap yang menyelimutinya.
Aku mencoba mengabaikan pikiranku yang kalut dan melanjutkan membaca buku yang sedang kutekuni, sebuah novel detektif yang seharusnya bisa mengalihkan perhatianku. Tapi setiap kata seolah terpantul kembali, pikiranku terus saja tertuju pada Lily. Suara hujan semakin deras, dan sesekali terdengar guntur yang menggelegar, membuat jantungku berdegup kencang. Aku melirik jam lagi. 02:59. Satu menit lagi. Konyol sekali, aku membiarkan diriku terbawa suasana seperti ini. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, sebuah suara denting yang samar terdengar. "Denting... denting... denting..."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Ini bukan suara jam dindingku. Suara itu berasal dari sudut ruangan, dari tempat Lily berada. Aku membuka mata lebar-lebar. Jam dinding masih menunjukkan pukul 02:59. Tapi suara itu... Aku yakin mendengarnya.
Aku menelan ludah, tenggorokanku kering. Mungkin hanya imajinasiku. Aku mencoba meyakinkan diriku. Tapi kemudian, aku melihatnya. Mata kancing hitam Lily, yang tadinya kosong, kini seperti memancarkan kilau redup. Dan aku bersumpah, aku melihatnya bergeser, sedikit saja, seolah-olah ia berkedip.
"Tidak mungkin," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar.
Aku bangkit perlahan, melangkah mendekati boneka itu. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menahanku. Semakin dekat aku, semakin kuat perasaan aneh itu. Aroma kayu lapuk dan debu yang tadinya samar, kini seperti bercampur dengan bau aneh, bau tanah basah dan sesuatu yang manis, tapi memuakkan.
Aku berhenti di depan Lily, berjarak sekitar satu meter. Matanya masih menatapku, dan kali ini, kilau itu lebih jelas. Seolah-olah ada kehidupan di dalamnya. Aku mengulurkan tanganku, ragu-ragu, ingin menyentuhnya, ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah delusi.
Tepat saat ujung jariku hampir menyentuh permukaannya yang kasar, jam dinding di ruang tamu berdentang tiga kali, keras dan menggema di kesunyian malam. "Tiga!"
Bersamaan dengan dentangan itu, sesuatu terjadi.
Kepala Lily miring sedikit ke samping, seolah-olah ia sedang memperhatikanku. Sebuah senyuman tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya yang retak. Senyum itu bukan senyum boneka. Itu adalah senyum yang mengerikan, penuh rahasia dan niat jahat.
Aku terkesiap, mundur satu langkah. "Lily?" suaraku bergetar.
Kemudian, suara tawa kecil yang kering, seperti gemerisik daun kering yang terbawa angin, terdengar dari dalam boneka itu. Tawa itu perlahan semakin keras, berubah menjadi kekehan serak yang memenuhi ruangan. Tubuhku terasa dingin, darahku serasa membeku.
"Kau datang juga, Arya," suara itu, parau dan berbisik, keluar dari mulut Lily. "Aku sudah menunggumu."
Aku tidak bisa bergerak. Ketakutan melumpuhkanku. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Boneka itu hidup.
"Apa... apa maumu?" tanyaku, suaraku serak.
"Aku hanya ingin bermain," jawab Lily, dan kali ini, kepalanya miring lagi, menampakkan sisi lain dari wajahnya yang rusak. "Permainan kita belum selesai, bukan?"
Permainan? Permainan apa? Aku tidak pernah bermain dengan boneka ini. Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya sejak aku kecil, karena aku selalu merasakan ketidaknyamanan yang mendalam di dekatnya.
Lily mengangkat tangannya yang kecil, terbuat dari kayu yang aus, dan menunjuk ke arah cermin besar yang terpasang di dinding. "Lihatlah, Arya. Kita berdua. Sama-sama sendiri."
Aku menatap cermin, dan di sana, pantulanku tampak pucat pasi, mataku terbelalak ketakutan. Tapi bukan hanya aku yang ada di cermin. Di belakangku, bayangan Lily terlihat lebih besar, lebih menyeramkan, dan di tangannya, ia memegang sebilah pisau kecil yang berkilat-kilat.
"Tidak!" teriakku, menoleh cepat ke arah boneka itu. Tapi Lily masih berdiri di tempatnya, tidak bergerak, dan tidak ada pisau di tangannya. Aku melihat kembali ke cermin, dan pisau itu juga menghilang.
"Kau berhalusinasi, Arya," kata Lily, tawanya kembali terdengar. "Itu hanya ilusi."
Aku tahu itu bukan ilusi. Aku yakin melihatnya. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku harus lari. Aku harus keluar dari rumah ini.
"Kau tidak bisa pergi," bisik Lily, seolah membaca pikiranku. "Kita punya takdir yang terikat."
Tiba-tiba, matanya yang kancing hitam melebar, dan dari kedalamannya, muncul kilatan cahaya merah. Cahaya itu menyebar, memenuhi seluruh ruangan, dan aku merasa tubuhku ditarik ke dalam suatu kekuatan tak terlihat. Aku berteriak, tapi suaraku teredam, seolah-olah aku terperangkap di dalam air. Pandanganku kabur, dan satu-satunya hal yang bisa kulihat adalah mata merah Lily yang terus menatapku.
Ketika kesadaran perlahan kembali, aku merasakan dinginnya lantai kayu di pipiku. Aku membuka mata. Ruangan itu tampak sama, remang-remang oleh cahaya bulan yang samar menembus jendela. Hujan sudah reda. Jam dinding masih menunjukkan pukul 03:00.
Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terasa lemas, seperti semua tenagaku terkuras habis. Aku memegang kepalaku yang terasa pusing. Lalu, aku melihat ke sudut ruangan.
Lily masih di sana, duduk di tempatnya semula. Matanya yang kancing hitam kini kembali kosong, tanpa kilau. Wajahnya yang retak tampak tak bernyawa. Seperti boneka tua biasa.
"Hanya mimpi," bisikku lega. Hanya mimpi buruk yang mengerikan. Aku terlalu memikirkan mitos konyol itu. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungku yang masih berdebar kencang.
Aku merangkak ke sofa, bersandar lelah. Aku meraih ponselku yang tergeletak di meja dan menyalakan layarnya. Saat layarnya menyala, aku melihat pantulanku di sana.
Aku menatapnya, dan jantungku sekali lagi serasa berhenti.
Bukan pantulanku yang kulihat. Itu adalah wajah Lily. Matanya yang kancing hitam menatapku dari layar ponselku, dan di bibirnya yang retak, terukir senyuman yang mengerikan. Senyuman itu seolah-olah berkata, "Permainan baru saja dimulai."
Dan di sudut kiri atas layar, di samping ikon jam, ada tulisan kecil yang berkedip-kedip: "Terhubung dengan Lily."
Aku menjatuhkan ponselku, dan suaranya berdebam keras di lantai. Aku menatap tanganku, lalu meraba wajahku. Ini bukan wajahku. Ini wajah Lily. Kulitku terasa kaku dan dingin, seperti kayu. Rambutku terasa seperti serabut kering.
Aku berlari ke cermin. Apa yang kulihat di sana membuatku menjerit, namun suara yang keluar bukanlah suaraku, melainkan kekehan serak yang sama persis dengan tawa Lily.
Di cermin, terpantul boneka kayu tua, dengan mata kancing hitam dan wajah retak. Itu adalah aku. Aku adalah Lily.
Dan di sudut ruangan, di mana Lily seharusnya duduk, kini ada seorang anak laki-laki pucat, tergeletak tak berdaya. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke arah boneka yang dulu adalah dirinya.
Pukul Tiga. Mitos itu bukan tentang boneka yang hidup. Mitos itu tentang boneka yang mengambil hidup. Dan aku, Arya, baru saja menjadi koleksi terbarunya. Tawa serak kembali memenuhi ruangan, kali ini, tawa itu berasal dari bibir retakku sendiri. Lily, dalam wujudku yang baru, tersenyum. Permainan telah berakhir. Dan aku telah kalah.