NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seven Years Ago

Perpustakaan Saint Clair High School, Paris. Menjelang senja.

Cahaya sore masuk lewat jendela tinggi perpustakaan. Suasananya tenang. Beberapa siswa masih duduk membaca, ada yang mengetik tugas, dan sesekali terdengar suara halaman dibalik atau kursi yang digeser pelan. Jam pelajaran sudah selesai, tapi sebagian memilih tinggal lebih lama sebelum pulang.

Sara duduk bersandar di dekat jendela besar.

Buku tebal terbuka di pangkuannya, tapi sudah beberapa menit terakhir halaman yang sama tak bergerak.

Langkah ringan terdengar mendekat. Clara muncul dari balik rak sejarah dunia, masih mengunyah sisa permen mint yang ia ambil dari kantin kecil di bawah.

“Kau nggak bisa nolak lagi, Sara. Malam ini kita keluar. Titik.”

Sara hanya mengangkat alis pelan, lalu menutup bukunya dengan suara halus.

“Clara… itu sudah jadi kalimat ancaman keberapa minggu ini?”

Clara duduk di seberangnya, menyodorkan sebotol teh lemon dingin, dan sebungkus madeleine.

“Bukan ancaman. Ini penyelamatan. Kau butuh udara malam, lampu kota, dan ya, mungkin sedikit musik live dan sepiring pasta.”

Sara membuka bungkus madeleine nya pelan, mencubit ujung kue dan mencicipi sedikit sambil menatap Clara datar.

“Aku butuh tidur Clar.”

Clara membuka ritsleting tas dan mengambil lip balm seolah bersiap keluar.

“Kau bisa tidur saat kau tua. Sekarang, pakai sepatu boot-mu yang kece itu, dan mari kita berpura-pura hidup kita tidak membosankan.”

Sara tersenyum tipis.

“Siapa yang pernah bilang hidupku membosankan?, hidupku menenangkan Clara.”

Clara berdecak. “Menenangkan? Kau sudah tiga minggu tak keluar malam. Itu bukan tenang. Kau seperti pertapa .”

Sara menatap jendela sebentar, memandangi cahaya senja yang makin redup. Lalu, dengan gerakan malas, ia mulai membereskan bukunya ke tas. “Oke, tapi kalau aku tertidur di meja, kau yang bayar kopi-ku.”

Clara berdiri sambil merenggangkan tangan seperti baru menang lotre.

“Deal. Tapi hanya kalau aku bisa pesan crème brûlée dua kali.”

“Kau nggak pernah butuh alasan untuk makan pencuci mulut dua kali.”Sara menutup resleting tas, berdiri pelan.

Clara mendengarnya mengedip nakal “Begitulah caraku bertahan dari kerasnya hidup dan kerasnya dirimu.”

Sara tertawa pelan

“Sial. Kau menang.”

Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong perpustakaan yang mulai kosong. Suara langkah kaki mereka berpadu dengan denting samar jam tua di dinding.

Sebelum keluar, Clara bersandar ke pintu dan berbisik,

“Oh—dan aku juga nyeret Vivienne buat ikut. Jadi jangan kaget kalau nanti dia muncul dengan eyeliner tebalnya."

Sara memutar badan, menatap Clara dengan dagu terangkat sedikit.

“Vivienne?”

Clara menahan tawa “Dia bilang ‘aku pikir-pikir dulu’, tapi kita tahu itu artinya ‘aku udah pilih outfit’.”

Sara menggeleng pelan

“Kalian berdua serius konspirasi.”

“Konspirasi cinta dan crème brûlée.”

Pintu perpustakaan berderit saat mereka keluar, disambut udara sore yang mulai dingin dan suara samar lonceng sepeda dari kejauhan. Cahaya senja menyelimuti sekolah dengan nuansa melankolis yang hangat. Tapi langkah Sara sedikit lebih ringan, seolah tawanya barusan membuka celah kecil dalam hari-harinya yang tertutup rapat.

Clara dan Sara melangkah pelan menuju salah satu bangku panjang dari kayu yang menghadap halaman utama. Tempat itu cukup tersembunyi di bawah pohon maple besar, tapi masih bisa melihat jalan setapak yang biasa dilalui siswa. Mereka duduk sebentar, menikmati udara. Tak banyak siswa yang tersisa sore ini kebanyakan kegiatan tambahan sudah berakhir sejak satu jam lalu.

Sara menyandarkan punggung ke sandaran bangku, mengusap pelan jemarinya yang dingin. Obrolan ringan mereka sempat membuatnya merasa sedikit lebih baik. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.

Langkah pelan terdengar mendekat. Clara menoleh lebih dulu, dan langsung mengenali sosok yang tak asing.

Nathaniel.

Kakak kelas akhir. Tubuhnya tegap dalam setelan abu muda. Rambutnya tersisir rapi, dan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata.

Di tangannya, sebotol lemonade dingin.

“Sara,” sapanya singkat.

“Hai, Clara,” tambahnya. Clara membalas dengan anggukan singkat, lalu langsung berdiri seperti baru teringat sesuatu.

“Eh, sepertinya Vivienne masih nunggu aku di ruang seni. Ada… sketsa penting. Aku tunggu kau disana ya Sara” katanya cepat sambil menyambar tasnya.

Ia menatap Sara sejenak, ekspresinya menyiratkan: Dia datang lagi. Aku kasih kau waktu.

Sara hanya mengangguk kecil.

Bangku itu sekarang hanya milik mereka berdua.

Nathaniel menarik kursi lipat kecil yang ada di ujung meja taman, lalu duduk di hadapan Sara. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka berubah.

“Masih betah di sini tiap sore?” tanyanya sambil meletakkan botol lemonade di meja.

Sara menatap botol itu. Embunnya turun pelan, membentuk garis bening. Ia menarik napas. “Nathaniel... ini lagi.”

Nada suaranya terdengar lelah, tapi tidak dingin.

Nathaniel hanya tersenyum tipis, lalu menatapnya diam-diam. Matanya menelusuri wajah Sara, tapi bukan dengan pandangan yang ingin menaklukkan. Lebih seperti seseorang yang sedang mencoba mengingat, dan mempertahankan sesuatu yang hampir hilang.

“Aku kira kau bakal bosan datang ke sini terus,” ucap Sara sambil menunduk lagi ke majalah.

Nathaniel bersandar ke kursi, matanya tetap menempel pada gadis di hadapannya.

“Belum. Belum bosan.”

“Kau tahu aku jarang minum lemonade yang kamu bawa.”

Sara menatap Nathaniel sejenak, nadanya datar, sedikit lelah.

“Aku tahu,” jawab Nathaniel tenang. “Tapi kau juga tak pernah membuangnya. Itu cukup buatku.”

Sara terdiam. Jemarinya menggenggam sedikit ujung bajunya. Satu gerakan kecil, tapi menunjukkan kalau ia mulai gelisah.

Nathaniel tidak menyentuhnya. Tidak mendekat. Ia tahu, Sara bukan tipe yang bisa dipaksa atau dipikat dengan cara yang biasa.

Mungkin itulah alasan ia bertahan.

Di mata semua orang, Nathaniel adalah pria paling sulit disentuh sekaligus paling mudah didapatkan. Sering gonta-ganti pasangan, suka menggoda tapi tak pernah benar-benar menetap. Tapi hanya satu yang tak pernah bisa ia sentuh.

Sara Elowen.

Gadis yang lembut, cantik tanpa mencolok, sedikit pendiam tapi selalu menyenangkan diajak bicara. Tidak mencolok. Tapi justru itu yang membedakannya.

Sara bukan teka-teki. Tapi kejujurannya membuat siapa pun ingin tinggal lebih lama.

“Ada pesta besok malam. Di Hôtel Étoile Blanche. Kelulusan sekaligus ulang tahun kecil-kecilan,” kata Nathaniel, suaranya sedikit lebih rendah.

Sara menatapnya. “Untukmu?”

Nathaniel mengangguk. “Clara dan Vivienne juga datang. Tapi aku juga ingin kau di sana.”

“Aku usahakan.”

“Bukan itu yang aku mau dengar.”

Sara menunduk, lalu mengangkat wajah dengan pandangan lebih tajam. “Aku bukan bagian dari permainanmu, Nathaniel.”

Ia kira Nathaniel akan tersenyum sinis. Tapi laki-laki itu justru menatapnya dalam-dalam. Kali ini tanpa topeng.

“Aku tahu. Kalau kamu bagian dari permainan, aku udah menang dari dulu Sara.”

Sara menahan napas. Kalimat itu… terlalu jujur.

Nathaniel berdiri. Ia membenahi kemeja, lalu menatap Sara sekali lagi. “Lemonade itu... buang saja kalau kau mau. Tapi aku cuma ingin kau tahu, Sara. Aku satu-satunya playboy di sekolah ini yang bersedia berhenti jadi dirinya, asal kamu kasih satu kesempatan.”

Ia melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di balik pagar kecil menuju jalan setapak, ia sempat menoleh lagi.

“Dari semua hal yang pernah bikin aku jatuh... kau yang paling bikin aku gak bisa bangun.”

Dan dia pergi.

Sara tetap diam. Masih duduk di bangku kayu yang sama, dengan botol lemonade dingin di depannya, dan kata-kata Nathaniel yang menggema lebih lama dari yang ia harapkan.

Sara menatap botol lemonade di atas meja. Embunnya mulai mengering. Tangannya bergerak pelan, menyentuh tutupnya dengan jari.

Tak dibuka. Tak dibuang.

Hanya disentuh. Seperti menyentuh kenangan yang tak pernah diundang, tapi datang juga.

Lalu, bayangan lain muncul. Suara di kepala yang selama ini ia hindari.

Rayden.

Seseorang yang dulu,adalah tempat pulang.

Yang duduk bersamanya di taman sekolah. Yang selalu menanyakan mimpi-mimpi kecilnya. Yang tertawa pada hal-hal bodoh. Yang membuat dunia terasa ringan.

Mereka pernah berjanji hal-hal konyol, membuka toko buku di Paris, melukis atap rumah, menanam lavender di Prancis selatan.

Sekarang... semua itu hanya tinggal sisa.

Ia tahu pria dengan senyum cerah itu pergi bukan karena ingin meninggalkannya, tapi karena ada sesuatu yang lebih penting.

Sesuatu yang lebih besar dari kenangan remaja atau perasaan yang masih samar.

Dan Sara tak pernah menyesal memintanya pergi.

Karena dengan ia yang memilih menjauh, Rayden bisa fokus mengejar mimpi yang dulu sering mereka bicarakan di taman belakang sekolah, di antara suara daun, dan matahari sore yang hangat di kulit. Mimpi tentang menjadi seseorang yang bisa menjaga, melindungi.

Rayden punya tujuan. Dan Sara ingin ia sampai ke sana tanpa harus terbebani oleh jarak, rindu, atau rasa bersalah.

Ia tahu, cinta kadang bukan tentang bertahan. Tapi tentang memberi ruang.

Dan kali ini, ruang itu adalah kepergiannya sendiri.

Dan yang lebih menyakitkan, ia rindu.

Rindu suaranya. Tatapannya. Caranya mendengarkan.

Tapi itu hanya kenangan.

Dan Nathaniel, datang bukan untuk menggantikannya. Tapi seperti mengingatkan bahwa dunia nyata tidak menyediakan tempat untuk mimpi yang terlalu rapuh.

Sara membuka mata. Dadanya berat.

Ia mengambil tas. Berdiri perlahan.

Botol lemonade itu masih di meja. Tetap dingin.

Dan ia biarkan begitu.

Karena ada hal-hal yang memang tidak untuk dimiliki.

Cukup disimpan. Diam-diam.

Di tempat yang tak seorang pun tahu.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!