NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:830
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wisuda Tanpa Orang Tua

Man Jadda Wa Jada

Wamalladzatu Illa Ba’dat Ta’bi

(Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dapatlah ia. Tiada suatu kenikmatan kecuali setelah kepayahan.)

POV Haisya

Tanggal 5 November 2028, alhamdulillah aku bisa menyelesaikan studi S1-ku di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hari itu adalah penanda berakhirnya sebuah babak perjuangan. Memang benar, bahwasanya Allah SWT selalu ada bersama kita, orang-orang yang mau berusaha dan berikhtiar tanpa berputus asa. Dia selalu menunjukkan jalan yang benar, meskipun terkadang terasa sangat berliku.

Meskipun ada sedikit rasa berat di hati, karena ini adalah wisuda pertamaku tanpa kehadiran kedua orang tuaku dan juga anggota keluargaku yang lain. Sebuah momen yang seharusnya diisi dengan pelukan hangat dan bangga dari mereka. Tapi tak apa, aku bersyukur karena alhamdulillah perjuanganku kini membuahkan hasil yang manis. Rasanya lega, sekaligus haru.

Kata seorang teman, "Kuliah di Kairo itu menyenangkan sekaligus menantang." Kita bisa memilih dan menjadi apa saja yang kita inginkan, mengembangkan diri di berbagai bidang. Dosen-dosen hampir tak pernah libur, sehingga kita bisa mengikuti kuliah setiap hari, memperkaya ilmu tanpa henti. Ruwaq-ruwaq (serambi) di Masjid Al-Azhar selalu nyaman untuk menenangkan suasana hati, menjadi tempat bernaung dari hiruk pikuk kota. Banyak organisasi kemahasiswaan yang dapat kita ikuti untuk mengisi waktu luang, ada banyak sekali kegiatan yang dapat kita kerjakan, mulai dari kajian keagamaan hingga kegiatan sosial.

Jika mau kajian ilmiah setiap hari, kelompok diskusi selalu ada, siap menampung setiap pertanyaan dan perdebatan. Kuliah paket cepat juga bisa kita pilih untuk menyingkat waktu studi, meskipun itu berarti usaha yang berlipat ganda. Bahkan, sebagian mahasiswa Kairo memilih kuliah sambil bekerja, mencari pengalaman dan penghasilan tambahan.

Kami tidak pernah bingung karena tidak ada acara atau kegiatan, karena ruwaq-ruwaq Azhar masih terbuka lebar dan safnya masih longgar untuk beribadah dan belajar. Kami tak pernah bingung untuk mencari bahan bacaan, karena perpustakaan dan toko buku masih menumpuk buku-buku baru yang selalu diperbarui setiap pekannya. Lingkungan ini adalah surga bagi para pencari ilmu.

POV Haisya Off

***

Musim Dingin Kairo dan Misi Kepulangan

Marhaban, bulan Desember telah tiba, dan Kairo semakin dingin. Suhu udara menurun drastis, menusuk tulang. Haisya mempertebal lapisannya dengan selimut yang tebal saat tidur, mengenakan jaket berlapis, dan syal tebal saat keluar. Tak lupa, ia selalu berteman baik dengan sepasang kaos kaki woolnya. Pahlawan-pahlawan kecil ini selalu ia siapkan untuk menghadapi kerasnya musim dingin yang membekukan.

Hasil sensus masisir (mahasiswa/i Mesir) pada bulan Desember 2028 menunjukkan ada sekitar 3.000-an masisir laki-laki, dan 800-an masisir perempuan. Angka-angka ini menunjukkan betapa banyak pelajar Indonesia yang merantau di negeri ini. Dari sekian banyak itu, sekitar 2.200 masisir masih setia berpacaran dengan muqarrar (diktat kuliah), kitab turats (kitab klasik), dan kitab kontemporer yang selalu mereka ajak "kencan" setiap hari, menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan memahami isinya.

Sementara teman-temannya sibuk dengan rutinitas itu, Haisya sedang mengurus misi kepulangannya ke Indonesia. Semua prosedur administratif telah ia selesaikan. Tiket pesawat telah dipesan jauh-jauh hari, dan masalah packing-nya, ia dibantu oleh dua sahabat karibnya, Carlysca dan Fani, yang setia mendampingi. Tawa dan canda mengisi proses packing, meski ada sedikit kesedihan di baliknya.

Keesokan harinya, setelah persiapan yang matang, Haisya selesai berpamitan dengan orang-orang yang ia kenal di Mesir. Sebuah perpisahan yang mungkin butuh waktu lama untuk dirinya bisa bertemu kembali dengan mereka nanti. Setelah pengalaman berpisah dengan teman-teman di Yordania, Sudan, Sarajevo, dan Alexandria dalam perjalanan sebelumnya, kini giliran Haisya berpamitan dengan sahabat-sahabatnya di Mesir yang tentunya akan sangat ia rindukan. Suasana haru tak terelakkan. Pecahlah tangis Carlysca, gadis berwajah blasteran Indonesia-Prancis itu. Ia tak kuasa menahan air matanya untuk melepas kepergian Haisya, sahabat yang sudah seperti saudara baginya.

"Sha, anti tadzhab sur’ah jiddan." (Haisya, kamu pergi terlalu cepat.) Carlysca terisak. "Ba’da ana abki ilayki kaifa? Hiks, hiks…" (Setelah ini, bagaimana aku akan menangisimu?) Suaranya tercekat.

"Kalam, laa tabkii! Ana sarji, fii ayyi waqtin idzhabi ilaa baytii! Na’am!" (Sudahlah, jangan menangis! Aku akan kembali, kapan saja aku akan pulang! Iya, kan?) Haisya mencoba menenangkan Carlysca, mengusap air matanya.

"Na’am, insya Allah," Carlysca mengangguk, berusaha menahan tangisnya. (Iya, insya Allah.)

"Ilal liqa!" (Sampai jumpa!)

"Ma’as salamah," Haisya berpelukan erat dengan Carlysca, sebuah pelukan perpisahan yang sarat makna. (Sampai jumpa.)

"Ukhty… hiks, hiks… jangan lupain aku ya… kapan-kapan kalau aku pulang ke Bandung, aku main deh ke Cilacap," Fani ikut memeluk Haisya dengan erat, air matanya juga mulai menetes. Kemudian Carlysca melepas pelukan mereka bertiga, dan secara perlahan, mereka sudah kembali tenang dan bisa mengobrol seperti biasa tanpa tangisan lagi, mencoba menikmati sisa waktu yang ada.

"Ya sudah, nanti aku antar kamu ke bandara ya!" ucap Carlysca.

"Oke, aku ikut juga ya," Fani menambahi, ingin memberikan dukungan terakhir. Kini mereka sudah kembali tenang dan bisa mengobrol seperti biasa tanpa tangisan lagi, menatap kepergian Haisya dengan harapan akan pertemuan di masa depan.

***

Kejutan Perpisahan dari Rifa'i

Ting tong… ting tong…

Suara bel apartemen Haisya berdering, memecah keheningan sore itu. Haisya membuka pintu, dan di sana berdiri seseorang dengan pakaian begitu rapi, bukan Carlysca atau Fani. Belum sempat Haisya bertanya, pria berwajah kearab-araban ini langsung masuk tanpa permisi dan tanpa basa-basi langsung menenteng koper-koper besar yang akan Haisya bawa pulang.

"Eeeh, mau dibawa kemana koperku?!" Haisya berseru kaget. "Datang-datang main masuk aja, sudah gitu sembarangan bawa barang orang lagi, memangnya kamu kira ini apartemen milik nenek buyutmu?!" Haisya ngomel-ngomel, merasa tidak terima dengan sikap Rifa'i yang seenaknya.

Tapi Fa’i tetap diam tak menjawab, malah melanjutkan aksinya itu, membawa koper-koper Haisya keluar dari apartemen.

"Muhammad Rifa’i…!" Haisya berteriak, suaranya naik satu oktaf, dan wajahnya semakin memerah karena marah. Raut wajahnya terlihat menakutkan, namun Rifa'i justru terlihat santai.

Fa’i berbalik badan, senyum jahil terukir di bibirnya. "Sudah marah-marahnya, Mbak? Ha ha ha, lucu kalau marah, bukannya nakutin malah bikin gemas," Fa’i berkata seperti itu dengan santainya, menikmati ekspresi kesal Haisya.

(Kamu tetap cantik walaupun sedang marah, Sha, batin Fa’i.)

"Kamu apa-apaan sih, nggak sopan banget deh," Haisya masih menekuk wajahnya, kesal karena Rifa'i tak menunjukkan rasa bersalah.

"Haisya, Haisya… sudah mau jauh juga, masih saja kaya gitu sama saya," Rifa'i menggeleng-gelengkan kepala. "Sekali-kali bersikap manis kek ke saya, panggil yang halus, kalau perlu pakai sayang hehehe, terus nggak usah marah-marah juga. Kan saya selalu baik ke kamu, ini juga mau anterin kamu ke bandara!"

"Oh, berarti selama ini nggak ikhlas?" Haisya menyahut cepat, dengan nada menantang. "Ya sudah kalau gitu, ngapain kamu baik ke saya? Sini kopernya!" Haisya merebut kopernya dari tangan Fa’i, pura-pura marah.

"Idih… sensi amat sih jadi cewek, pastinya saya ikhlas lah kan saya…" Fa’i menggantungkan kalimatnya, matanya menatap Haisya dengan makna tersembunyi.

"Saya apa, hah! Kenapa nggak diterusin?" Haisya mendesak, penasaran sekaligus kesal.

"Saya sayang kamu," Fa’i mengucapkannya lirih, tepat di samping telinga Haisya, hampir seperti bisikan.

Haisya diam mematung, seolah-olah jantungnya berhenti berdetak, dan darah tidak mengalir dalam tubuhnya. Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi karena terkejut dan malu. Pernyataan itu begitu mendadak dan tak terduga. Dan itu berlangsung hingga beberapa menit, ia terlarut dalam pikirannya.

"Ha ha ha, bercanda kok… serius banget sih nanggepinnya," tawa Fa’i yang renyah menyadarkan lamunan Haisya, membuatnya kembali ke dunia nyata.

"Iiiiiih, sebel…," Haisya memukul-mukul lengan Fa’i dengan ujung syalnya, melampiaskan kekesalannya karena telah dikerjai.

Fa’i dan Haisya akhirnya memasuki mobil Rifa'i, dan Rifa'i mulai melajukan mobilnya ke bandara, meninggalkan apartemen.

"Emangnya dikira beneran ya?" Fa'i bertanya, masih mencoba menggoda Haisya.

"Tahu ah," Haisya memajukan bibirnya dan menekuk kedua tangannya di depan dada, lalu memalingkan wajahnya dari Fa’i, pura-pura merajuk. Sementara Fa’i tetap menyetir, sesekali melirik Haisya dengan senyum tipis.

"Tapi kalau saya beneran sayang kamu gimana?" Fa’i bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius, berharap Haisya berbalik dan menatapnya. Namun Haisya tetap tidak menoleh dan masih diam dalam posisinya bahkan setelah mereka tiba di bandara dan keluar dari mobil.

"Saya beneran sayang kamu, Sha… Ana uhibbuki," Fa’i berjalan ke depan Haisya, menghalangi jalannya, menatapnya dalam-dalam, berharap Haisya merasakan ketulusannya. Tapi Haisya masih saja tidak peduli dan bersikap acuh, meskipun hatinya berdesir.

Tak lama kemudian, Haisya melangkahkan kakinya, berjalan pergi meninggalkan Fa’i, menuju area check-in.

"Sha, tunggu dulu… dengerin saya dulu!" Fa’i mengikuti Haisya, mensejajarkan langkahnya, tidak menyerah begitu saja.

"Maaf, I… sudah ada hati yang kujaga," akhirnya Haisya berbicara, suaranya lembut namun penuh kepastian. Sebuah kalimat yang menusuk hati Rifa'i.

"Apa? Mana mungkin? Selama ini tidak ada laki-laki yang dekat denganmu kecuali saya, kan?" Fa’i tidak percaya dengan perkataan Haisya, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Kamu pasti bercanda."

"Tidak, I… saya tidak bercanda, memang benar sudah ada seseorang yang berhasil mengambil hatiku sebelum kamu," Haisya menjelaskan, menghindari tatapan Rifa'i.

"Tapi siapa, Sha?" Rifa'i mendesak, ingin tahu siapa yang berhasil merebut hati Haisya.

"Teman lamaku di Indonesia," jawab Haisya singkat, lalu mempercepat langkahnya.

Fa’i seketika berhenti dan tidak melanjutkan langkahnya. Kakinya terasa kaku, terpaku di tempat. Kini Haisya benar-benar sudah jauh darinya dan ia tak berkeinginan untuk mengejarnya lagi. Hatinya hancur.

"Oke, I’m fine…," gumam Fa’i, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Akhirnya, Fa’i juga berbalik pergi, berjalan ke arah berlawanan dengan Haisya, meninggalkan bandara dengan hati yang berat.

***

Sebuah mobil BMW X silver melaju dengan kecepatan penuh di jalanan Kairo yang sepi dini hari itu. Pengendara di dalamnya, Muhammad Rifa’i, tampak mengacak-acak rambutnya yang cepak, melampiaskan kekesalan dan patah hati yang mendalam.

"Aaargh… kenapa sih cintaku ditolak? Kenapa aku bisa menyukai wanita yang hatinya telah dimiliki lelaki lain? Aaargh… astaghfirullahal adzim… ikhlas… ikhlas…!" Fa’i bermonolog sendiri, mencoba menenangkan jiwanya yang bergejolak.

Street! Hampir saja mobil Rifa’i menabrak seorang anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan. Ia menginjak rem mendadak. Dengan jantung berdegup kencang, ia turun dari mobil dan meminta maaf kepada anak itu dan orang tuanya. Setelah dipastikan anak itu tidak apa-apa, Fa’i kembali mengemudikan mobilnya. Kali ini, Fa’i tidak pulang ke rumah kakek dan neneknya, ia memilih untuk menginap di apartemen salah satu temannya, butuh tempat untuk menenangkan diri.

Setibanya di depan apartemen temannya, ia mengetuk pintu.

"Assalamualaikum…"

"Wa’alaikumussalam. Maadza wajhuka? (Ada apa dengan wajahmu?)" suara temannya terdengar khawatir begitu melihat Rifa'i.

"Laa ba’sa, asta’dzin sa naum huna, na’am!" (Tidak apa-apa, izin saya tidur di sini, ya!) jawab Rifa'i, mencoba menyembunyikan kesedihannya.

"Tafadhol!" (Silakan!)

"Syukron katsiran." (Terima kasih banyak.)

"Afwan." (Sama-sama.)

Setelah masuk ke dalam apartemen, Rifa’i langsung menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa empuk milik si pemilik apartemen. Ia memejamkan mata.

"Aah… at'ab jiddan." (Ah, capek sekali.) Ia mendesah.

"Antum limadza? Huna, takallam ma’i!" (Kamu kenapa? Sini, bicara denganku!) Temannya mendesak, tahu ada yang tidak beres.

"Mafi syai’an." (Tidak ada apa-apa.) Rifa'i mengelak, belum siap bercerita.

"Kadzib." (Bohong.)

"Laa." (Tidak.) Rifa'i masih berusaha menutupi perasaannya, meskipun jelas terlihat ia sedang tidak baik-baik saja.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!